Kumpulan Cerita Silat

03/11/2007

Pahlawan Padang Rumput: Bagian 04

Filed under: Liang Yu Sheng, Pahlawan Padang Rumput — Tags: — ceritasilat @ 10:59 pm

Pahlawan Padang Rumput: Bagian 04
Oleh Liang Yu Sheng

“Hui-ang-kin, kenapa sedikitpun tidak percaya padaku, kau orang yang bijaksana, coba kaupikir, ayahmu adalah kepala suku bangsa kita, tentara Boan menyerbu pada waktu malam, tentu tujuannya hendak menangkap ayahmu terlebih dahulu, ” katanya dengan suara memelas. “Aku tidak mati bersamanya itulah salahku, kau hendak marah, hendak memaksakan diriku orang yang tak berguna dan pengecut, sedikitpun aku tidak akan melawan, tetapi kalau kau bilang aku yang mencelakai ayahmu, sungguh aku sangat penasaran! Kau tahu para Kiai kita itu semua tidak suka pada diriku, mereka hendak memfitnahku, maka aku tak berani pulang, tetapi waktu kau datang menangkapku, bukankah aku sendiri telah menemuimu? O, Hui-ang-kin, janganlah kau menggiring aku mengantar kematian!”

Rupanya hati Hui-ang-kin tergerak, suaranya pun berubah halus.

“Abu, ” katanya kemudian dengan suara lirih, “Menurut Pak Kiai, mereka mempunyai bukti-bukti cukup, kita kembali saja kesana, jika mereka hanya salah paham, aku yang akan meminta mereka mengamnpunimu.

“Bukti-bukti apa yang dipunyai Pak Kiai yang menyatakan aku telah mencelakai kepala suku kita ?” tanya Abu kepada Hui-ang-kin.

“Waktu kau terkepung, ” tutur Hui-ang-kin, ” Aku tengah menuju Timal untuk mencari hubungan, sebelum aku kembali di tempat kita, aku sudah menerima berita Pak Kiai yang minta aku menangkapmu.”

“Kalau begitu, kau pun belum melihat apa yang dinamakan bukti-bukti itu,” kata Abu pula. “Ai, Hui-ang-kin, lepaskanlah diriku! Atau kalau tidak, biarlah kau dan aku bersama-sama mengembara menuju padang rumput yang luas, setiap malam aku akan bernyanyi untukmu.”

“Kiai kita adalah orang yang bijaksana dan jujur. Bagaimanapun kau harus kembali kesana untuk dihadapkan pada mereka!” jawab Hui-ang-kin.

Sekalipun begitu perkataannya, namun suaranya sudah berubah lebih halus dan ramah lagi.

Kemudian Abu mengeluarkan serulingnya lagi, lalu meniupnya.

“Hui-ang-kin masih cintakah kau padaku ?” tanyanya perlahan setelah habis meniup satu lagu.

Dalam malan itu, Nyo Hun-cong mendengarkan dengan terkesima, tiba-tiba ia mendengar dari luar kubu sana seperti ada suara langkah kaki orang.

Mata telinga Nyo Hun-cong begitu tajam, ia tidak perlu mendengarkan lagi, ia berdiri dan memandang keluar sana, terlihat olehnya ada empat sosok bayangan orang telah mendekati kubu kuno ini.

Sementara itu, di bawah agaknya Hui-ang-kin sepertinya sudah mengetahuinya.

“Abu, kau tidak boleh sembarangan bergerak, aku akan melihat siapa yang berani merunduk kemari!” bentaknya sambil tertawa dingin.

Ke empat orang pendatang itu sedang mendekati rumah panggung itu, mendadak terlihat pintu kubu dibuka lebarm di tengah malam yang sunyi sepotong selendang sutera berkibar tertiup angin hingga tampak sangat menarik.

Tangan kiri Hui-ang-kin memegang cambuk kuda yang panjang, tangan kanan memegang sebatang pedang terhunus, tanpa mengeluarkan sepatah kata ia berdiri tegak di ambang pintu, persis seperti patung dewi kuno yang angker.

Sementara Nyo Hun-cong tetap mendekam diatas atap dan mengintip ke bawah.

“Biarlah kulihat dulu seberapa tinggi kungfu Hui-ang-kin,” begitu pikirnya.

Dalam pada itu ketika mendadak melihat Hui-ang-kin menampakan diri dengan menghunus pedang, ke empat orang tadi menjadi gugup dan seketika tidak berani turun tangan.

Hui-ang-kin tertawa dingin, tangan kirinya bergerak, “tar!”, begitu cambuk berbunyi tertampak satu diantara keempat orang itu telah terbelit oleh cambuk. Hui-ang-kin mengayunkan cambuknya dan orang itu kontan terlempar beberapa depa dengan kepala mengalirkan darah.

“Pengkhianat! Biarlah kuberekan kau lebih dulu!” demikian ia mendamprat.

“Ternyata orang itu adalah bangsa Lopuh, ketiga orang yang lain adalah jago pengawal pasukan Boan, begitu melihat mereka Hui-ang-kin lantas tahu bahwa orang itulah yang membawa jago pengawal Boan untuk menangkap dirinya.

Gerakan Hui-ang-kin tadi begitu cepat laksana sinar kilat, ketiga orang itu terkejut, lekas mereka mengeluarkan senjata masing-masing dan maju mengepung.

Diantara tertawa dingin, Hui-ang-kin dengan tangan kiri memegang cambuk dan tangan kanan menghunus pedang, ia berputar, seorang diri menghadapi tiga jago pengawal, ia sama sekali tidak menunjukan rasa gentar.

Ketiga jago pengawal ini ternyata tidak cetek ilmu silatnya, yang satu menggunakan golok, satu lagi bertongkat, sedang yang lain menggunakan senjata aneh. ‘Houw-thau-kauw’ atau senjata berbentuk ganco, mereka merangsek berbareng dan mundur teratur, serang mereka juga cukup rapi dan lihai.

Namun Hui-ang-kin terlebih lihai daripada mereka, yang dekat ditusuk dengan pedang sedang yang jauh disabet dengan cambuk, tiap-tiap gerakannya merupakan serangan berbahaya.

Nyo Hun-cong kagum sekali dan heran pula, sungguh Hui-ang-kin tidak mengecewakan dan sesuai dengan namanya yang tersohor, boleh dikata dialah satu-satunya wanita gagah di padang luas ini.

Sesaat kemudian, serangan Hui-ang-kin makin menghebat, sinar pedangnya gemerlapan membungkus dirinya yang maju menyerang, cambuknya lebih-lebih lagi seperti ular naga menari di angkasa, ketiga lawan dibuat bingung olehnya dan terpaksa berputar-putar di sekelilingnya, sekalipun sudah mengeluarkan segenap kepandaian mereka tetap tidak bisa mendesak maju dalam jarak beberapa meter.

Selagi Hui-ang-kin sudah berada di atas angin, mendadak selendang merahnya bergerak,

“Hendak kabur kemana kau?” bentaknya tiba-tiba.

Ternyata Abu secara diam-diam seperti pencuri hendak menggeluyur pergi.

Dengan sekali putar dan menggeser kaki, cambuknya yang panjang segera ditarik dan berbalik menyabet ke belakang.

“Aduuh!”, begitu terdengar suara jeritan, ternyata Abu telah kena di sabet oleh pucuk cambuk dan jatuh tersungkur diatas tanah.

Masih mendingan baginya, Hui-ang-kin hanya menggunakan seperempat tenaga dan hanya sedikit menyabetnya, kalau tidak, mana bisa dia hidup lebih lama lagi.

“Lekas kembali ke dalam, kalau tidaj segera aku akan menyabet kau lagi!” bentak Hui-ang-kin.

“Hui-ang-kin mengapa kau begitu kejam ! Aku keluar justru ingin membantumu, kenapa maksudku yang baik kau anggap jelek”, kata Abu sambil merintih kesakitan.

Hui-ang-kin tidak memperdulikan ucapannya, pedangnya bergerak sambil membalikkan badan untuk menandingi serangan senjata musuh pula.

Tatkala memutar madan meladeni Abu, ketiga jago pengawal tadi mengira ada kesempatan baik, yang menggunakan senjada ganco segera menerjang dari samping, dengan jurus ‘Jing-liong-jut-hai’ atau naga hijau keluar dari lautan, membacok dada Hui-ang-kin.

Hui-ang-kin menangkis dengan pedangnya, maka terdengarlah suara, “Krak”, gigi ganco musuh tertabas putus.

Lawan yang memakai tongkat dan golok saat itupun berbareng menyerang dari arah tengah, pedang Hui-ang-kin yang digunakan untuk menangkis ganco masih ada sisa cukup kekuatan untuk membuat golok dan tongkat terpental tertangkis olehnya.

Jago pengawal yang memakai ganco masih ngotot dan belum mau mundur, senjatanya bergerak lagi, ia mengarah pinggang Hui-ang-kin.

Hui-ang-kin menjadi gusar, cambuk di tangan kiri menyabet lurus ke depan sambil membentak, “Lepas!” maka ganco musuh kontan terbang ke udara.

Mendadak Hui-ang-kin menubruk maju dan pedang ditusukkan , tanpa ampun lagi jago pengawal itu tertusuk tembus dan mati seketika.

Kepandaian orang yang memakai ganco ini diantara ketiga jago pengawal itu termasuk yang paling tinggi, tetapi baru berdekatan dan dalam dua gebrakan saja sudah mampus, tentu saja kedua orang yang lain menjadi keder, mana berani mereka mendasak lagi, segera mereka berpencar berjajar, tongkat menghantam dan golok membacok dari samping, menyerang sambil mundur dan berulang-ulang bersuit sedang memanggil bala bantuan.

Nyo Hun-cong yang menonton di atas rumah kubu bisa melihat dengan jelas, ia melihat dari kejauhan dua bayangan orang dengan kecepatan bagaikan terbang sedang mendatangi tempat itu, setelah diperhatikan ternyata mereka menggunakan ilmu mengentengkan tubuh tingkat tinggi, ‘Pat-poh-kan-sian’ (delapan langkah memburu burung), ia merasa heran dan juga curiga, di tengah padang luas ini dan ditengah malam begini ternyata ada orang pandai yang mengunjungi tempat ini, apakah mereka itu pembantu jago pengawal tadi? Begitu pikirnya dalam hati.

Tapi dalam pengetahuannya, jago silat dari Kwan-gwa (di luar tembok besar) yang mahir ilmu pedang dan menunggang kuda cukup banyak, namun dalam hal meringankan tubuh bagaimanapun juga tidak dapat mencapai tingkat setinggi itu., yang memiliki kepandaian semacam ini terang adalah ahli dari golongan bangsa Han, tetapi cara bagaimana orang yang mempunyai kepandaian setinggi ini mau mengekor pada pihak Boan?”

Agaknya Hui-ang-kin juga dapat melihat datangnya dua bayangan tadi, gerakannya segera dipergencar, cambuk panjangnya diayunkan dengan cepat dan kedua musuh segera terbelit, di bawah sinar pedang dan bayangan cambuk terdengar suara nyaring. Hui-ang-kin mendadak meloncat, dengan gerakan ‘Oh-liong-koh-hai’ atau naga hitam mengaduk laut, pedangnya menusuk orang yang menggunakan golok tadi, melihat jelas saja belum dadanya sudah terkena tusukan pedang dan roboh tersungkur.

Melihat gelagat jelek, jado pengawal yang memakai tongkat segera mengayunkan tongkatnya secara tak teratur dan berniat hendak kabur, tetapi sudah tidak keburu lagi, cambuk panjang Hui-ang-kin sudah disabetkan, tongkat orang itupun segera terlepas dari tangan, dat sabetan cambuk itu masih cukup membuat batok kepala jago pengawal itu terpukul pecah, dengan suara jeritan yang mengerikan, otaknya berhamburan di atas tanah.

Sementara itu, kedua bayangan orang tadi kini sudah datang mendekat. Nyo Hun-cong sangat terkejut, karena orang yang di sebelah depan ternyata bukan lain daripada Sutenya, Coh Ciau-lam.

“Coh Ciau-lam ternyata juga dapat menyelamatkan diri waktu terjadi angin topan di padang pasir, dan kini ia datang kemari dengan tujuan apa ?” demikian pikir Nyo Hun-cong dalam hati. “Aku ingin tahu ada hubungan apakah antara dia dengan Hui-ang-kin?”

Sementara itu Hui-ang-kin sudah bisa membinasakan tiga jago pengawal dan seorang pengkhianat, rasanya sangat lega dan senang, tetapi ketika melihat Coh Ciau-lam datang dengan tiba-tiba, air mukanya segera berubah juga.

“Coh Ciau-lam, kiranya kau!” ia berkata sambil menuding dengan cambuknya.

“Betul nona Hui-ang-kin,” jawab Coh Ciau-lam, “kita tidak berjumpa hampir tiga tahun lamanya, syukurlah kau masih ingat diriku.”

Hui-ang-kin tertawa menghina.

“Kudengar kau sudah takluk pada bangsa Boan, kabarnya kau banyak memperoleh kesenangan ikut dalam pasukan Boan,” ejeknya.

Muka Coh Ciau-lam berubah merah dan merasa malu.

“Hui-ang-kin, kau selalu tidak memahami pikiranku, bukankah semua itu kulakukan demi dirimu?” sahutnya dengan tertawa-tawa.

Tiba – tiba Hui-ang-kin mengirim satu sabetan dengan cambuknya.

“Ngaco belo,” ia mendamprat, “Kalau kau sudah menyerah pada bangsa Boan, berarti kau juga adalah musushku!”

Coh Ciau-lam melompat menghindari sambaran cambuk Hui-ang-kin.

“Biduan kekasihmu itu kalau dibandingkan denganku jelas masih kalah jauh, ia ingin takluk ke sana pun orang hanya menganggap sebagai peran kecil,” sindirnya.

Alis mata Hui-ang-kin seakan menegak gusar mendengar ejekan orang.

“Orang hina yang menjadi pengkhianat, tidak perlu banyak bacot,” bentaknya, berbareng, “ser-ser-ser”, cambuk panjangnya diayunkan pula dan pedangnya membabat.

Mendengat kata – kata Hui-ang-kin tadi, Nyo Hun Cong merasa sangat heran, pikirnya, “Ternyata Coh Ciau-lam dan Hui-ang-kin adalah kenalan lama, dari ucapannya tadi agaknya seperti telah terjadi apa-apa diantara mereka. Barangkali Coh Ciau-lam menaruh hati pada Hui-ang-kin, tetapi Hui-ang-kin sebaliknya mencintai si biduan itu.

Sesaat itu Hun-cong seperti merasa sayang akan harga diri Hui-ang-kin, seorang pahlawan wanita besar di gurun luas ini, orang yang mencintainya dan orang yang dia cintai ternyata adalah manusia-manusia yang rendah dan kotor semuanya.

Sementara Coh Ciau-lam beruntun telah berkelit beberapa kali, sebaliknya Hui-ang-kin menyerang dengan semakin cepat.

Coh Ciau-lam hilang kesabarannya, pedang “Yu-liong-kiam” segera dikeluarkan.

“Hui-ang-kin, kausendiri yang memaksa aku harus turun tangan!” teriaknya.

Hui-ang-kin tidak peduli, “tar”, cambuknya menyabet pula.

Coh Ciau-lam sedikit menggeser badannya dan pedang ditangkiskan ke atas, begitu kedua senjata berbenturan segera pucuk cambuk terputus sebagian.

“Sekalipun kau mempunyai pedang pusaka, tidak nanti kutakut padamu,” teriak Hui-ang-kin dengan gusar.

Dengan memainkan cambuk ditangan kanan dan pedang ditangan kiri, Hui-ang-kin menyerang dengan jurus yang lihai dan cepat, ia ternyata dapat menandingi Coh Ciau-lam dengan sama kuat.

Tiba-tiba Coh Ciau-lam bersuit panjang, serangan pedangnya berubah secepat kilat, ia merangsek maju diantara sinar pedang dan bayangan cambuk lawan.

Hui-ang-kin pun membentak dengan suara nyaring, cambuk menyabet dan pedang berputar, dua macam senjata ternyata bisa bekerja sama dengan rapat sekali.

Sekalipun Coh Ciau-lam mempunyai ilmu pedang dari Thian-san-pay yang hebat sekali, tetapi Hui-ang-kin ternyata juga sangat lihai, setelah bertempur dengan seru beberapa puluh jurus masih belum juga diketahui siapa yang unggul atau asor.

Nyo Hun-cong yang menyaksikan semua itu dari atas menjadi sangat kagum.

Tadi ia melihat Hui-ang-kin mengalahkan ketiga jago pengawal dari pasukan Boan, walaupun ia mengagumi ilmu silatnya, namun masih belum merasakan ada jurus serangan yang istimewa, kini melihat cara Hui-ang-kin menandingi ilmu pedang Coh Ciau-lam yang hebat itu masih dapat bergerak sesukanya, barulah ia tahu sesungguhnya Hui-ang-kin mempunyai kepandaian ilmu silat yang lain dari pada yang lain.

Tangan kiri dan kanan Hui-ang-kin bisa memakai dua jenis senjata yang berlainan, hanya ini saja di kalangan jado silat kelas tinggi sudah sukar dicari tandingannya. Tetapi Coh Ciau-lam tampak lebih ulet, bertempur lebih lama lagi mungkin Hui-ang-kin tak akan tahan.

Hui-ang-kin menempur Coh Ciau-lam dengan sepenuh tenaga dan segenap perhatiannya, ia tidak sempat melihat ke arah lain.

Orang yang tadi datang bersama Coh Ciau-lam ternyata sudah masuk ke dalam kubu kuno itu dan membawa keluar Abu.

Abu tadi mendapat sabetan cambuk Hui-ang-kin, ia hanya menderita luka lecet kulit dagingnya dan tidak parah, setelah keluar dari kubu kuno itu segera hendak kabur bersama orang itu.

Hui-ang-kin menjadi gusar, ia hendak mengejar, tetapi segera terkurung oleh sinar pedang Coh Ciau-lam dan tak dapat melepaskan diri, bahkan karena kelengahan ini malah memberi kesempatan pada Coh Ciau-lam untuk menyerang terlebih kencang dan bertubi-tubi.

Hui-ang-kin terpaksa mengumpulkan seluruh perhatiannya untuk menjaga diri, karena itulah kedua orang tadi sempat lolos lewat di sampingnya.

Pada saat itulah sesosok bayangan hitam tiba-tiba menubruk dari atas kubu kuno seperti seekor burung raksasa melayang turun.

Abu yang sedang berlari pergi, sekonyong-konyong merasakan pundaknya seperti dicengkeram oleh kaitan besi dan sakitnya sampai pesaruk ke tulang, baru sempat ia berteriak minta tolong, tiba-tiba di bawah iganya sudah tertutuk oleh jari tangan orangm segera ia merasa seluruh badan lemas lunglai dan tergeletak tanpa bisa berkutik lagi.

Orang yang menerjang turun kebawah ini adalah Nyo Hun-cong, setelah ia membereskan Abu, kedua telapak tangannya terpentang dan segera memapak kawan Coh Ciau-lam, orang ini bernama Lo Tai-hong, dulu adalah begal tunggal di daerah Kwan-lwe, setelah Turkun, itu panglima Boan memasuki daerah Tiongkok dengan pasukannya dan mengumpulkan jagoan silat dari golongan Boan dan Han, Lo Tai-hong termasuk salah satu diantara mereka. Waktu Nilan Siu-kiat menggerakkan pasukan ke Sinkiang, ia diminta untuk ikut di bawahnya dan kini ia adalah pembantu Coh Ciau-lam.

Lo Tai-hong sedang membawa lari Abu ketika tiba-tiba mendengar suara panggilan di belakang, baru saja ia berpaling, tahu-tahu terlihat sang kawan sudah terkapar di tanah.

Ia kaget dan gusar, toya ‘Tin-coa-pang’ segera dimainkan denan satu putaran yang membawa angin santar, langsung toyanya menyapu ke pinggang Nyo Hun-cong.

Nyo Hun-cong hanya sedikit membungkuk badan, toya musuh menyambar lewat di atas kepala, berbareng itu dengan cepat sekali selagi toya musuh belum keburu ditarik Nyo Hun-cong sudah lantas menubruk k edepan lawan. Lo Tai-hong masih sempat memukul dengan ujung toyanya, akan tetapi sambil menggentak keras tangan Nyo Hun-cong sudah mengcengkeram, dengan ‘Kim-na-jiu’ atau ilmu menangkap dan mencengkeram, tahu-tahu pergelangan tangan musuh sudah terpegang, jari Nyo Hun-cong memencet dengan keras dan segera terdengar jeritan ngeri Lo Tai-hong, seluruh badan tidka bertenaga lagi, ia telah kena diangkat oleh Nyo Hun-cong dan lantas dilemparkan sekenanya tanpa memperdulikan mati hidupnya, terus di tanggal pergi menolong Hui-ang-kin.

Waktu itu sedang dalam keadaan genting, ia mendengar suara panggilan dan teriakan, tetapi tidak sempat memandang ke sana lagi.

Leave a Comment »

No comments yet.

RSS feed for comments on this post. TrackBack URI

Leave a comment

Blog at WordPress.com.