Kumpulan Cerita Silat

18/11/2007

Pendekar Budiman: Bagian 20

Filed under: Gu Long, Pendekar Budiman — Tags: — ceritasilat @ 10:51 pm

Pendekar Budiman: Bagian 20
Oleh Gu Long

“Ada orang mohon bertemu dengan Pangcu,” lapor orang di luar.

“Siapa dia?”
(more…)

16/11/2007

Pendekar Budiman: Bagian 18

Filed under: Gu Long, Pendekar Budiman — Tags: — ceritasilat @ 10:51 pm

Pendekar Budiman: Bagian 18
Oleh Gu Long

Di dalam rumah berduduk belasan orang perempuan, mereka sama duduk di lantai, sebab kursi betapa besar pun tidak muat tubuh mereka, seumpama dapat diduduki juga kursinya pasti akan runtuh, maklum, tubuh mereka terlalu gemuk.

Namun siapa pun tidak dapat membandingkan mereka sebagai segemuk babi, sebab babi segemuk mereka pun jarang terlihat di dunia ini, apalagi babi juga tidak makan serakus dan sebanyak mereka.
(more…)

15/11/2007

Pendekar Budiman: Bagian 17

Filed under: Gu Long, Pendekar Budiman — Tags: — ceritasilat @ 10:51 pm

Pendekar Budiman: Bagian 17
Oleh Gu Long

“Sudah waktunya, apakah Kwe Ko-yang sudah mulai duel dengan Siangkoan Kim-hong dan Hing Bu-bing? Mati-hidupnya mungkin akan ditentukan dalam sedetik saja, tapi aku malah berbaring di sini dengan adem ayem tanpa berbuat sesuatu baginya?” berpikir sampai di sini, hati Li Sun-hoan serasa mau meledak.

Sekonyong-konyong bergema suara orang naik tangga. Suaranya sangat perlahan, tapi sekali dengar segera Sun-hoan tahu ada dua orang telah datang sekaligus, bahkan Kungfu keduanya tidak lemah.
(more…)

14/11/2007

Pendekar Budiman: Bagian 16

Filed under: Gu Long, Pendekar Budiman — Tags: — ceritasilat @ 10:51 pm

Pendekar Budiman: Bagian 16
Oleh Gu Long

Sungguh tak tersangka olehnya bahwa orang yang keluar dari vila ini ialah Kwe Ko-yang.

Terlihat dari balik pintu terjulur sebuah tangan yang putih menarik tangan Kwe Ko-yang dan terdengar bisik-bisik yang mesra, seperti lagi memberi pesan dan berharap semoga berjumpa pula.
(more…)

13/11/2007

Pendekar Budiman: Bagian 15

Filed under: Gu Long, Pendekar Budiman — Tags: — ceritasilat @ 10:47 pm

Pendekar Budiman: Bagian 15
Oleh Gu Long

Orang yang di depan bertangan kosong tidak membawa sesuatu senjata. Sedangkan pinggang orang di belakang terselip sebilah pedang yang sudah terhunus dari sarungnya.

Tiba-tiba Sun-hoan merasa cara orang ini menyelipkan pedang pada tali pinggangnya serupa benar dengan A Fei, bedanya cuma A Fei suka menyelipkan pedangnya pada bagian tengah tali pinggang dengan gagang pedang mengarah ke kanan, sebaliknya orang ini menyelipkan pedang di sisi kanan tali pinggang dengan gagang pedang mengarah ke kiri.
(more…)

12/11/2007

Pendekar Budiman: Bagian 14

Filed under: Gu Long, Pendekar Budiman — Tags: — ceritasilat @ 10:47 pm

Pendekar Budiman: Bagian 14
Oleh Gu Long

Mestinya Sun-hoan ingin tanya lagi mengapa orang harus ke luar kota dan siapa yang akan dipapaknya? Jika pergi memapak orang, mengapa engkau tidak ikut pergi?

Namun biasanya Li Sun-hoan bisa melihat gelagat, ia pun tidak suka dipandang orang sebagai lelaki yang cerewet. Apalagi berada bersama Sun Sio-ang, hakikatnya tidak ada kesempatan baginya untuk banyak omong.
(more…)

11/11/2007

Pendekar Budiman: Bagian 13

Filed under: Gu Long, Pendekar Budiman — Tags: — ceritasilat @ 10:47 pm

Pendekar Budiman: Bagian 13
Oleh Gu Long

Sesaat sebelum subuh tiba selalu sangat gelap. Tapi kegelapan juga ada waktunya berlalu, di ufuk timur sudah muncul cahaya terang, bersama dengan itu kabut malam juga buyar.

Dari balik pohon waru di depan loteng kecil itu perlahan muncul sesosok bayangan. Dia berdiri tegak di situ, rambut dan bajunya hampir basah kuyup oleh air embun.
(more…)

10/11/2007

Pendekar Budiman: Bagian 12

Filed under: Gu Long, Pendekar Budiman — Tags: — ceritasilat @ 10:47 pm

Pendekar Budiman: Bagian 12
Oleh Gu Long

“Lim Sian-ji?” si nona berkucir menegas. “Apakah nona Lim yang termasyhur sebagai wanita cantik nomor satu di dunia itu!”

“Betul,” jawab si kakek.
(more…)

09/11/2007

Pendekar Budiman: Bagian 11

Filed under: Gu Long, Pendekar Budiman — Tags: — ceritasilat @ 10:47 pm

Pendekar Budiman: Bagian 11
Oleh Gu Long

Sun-hoan memejamkan mata, lalu berkata pula dengan perlahan, “Beberapa tahun yang lalu pernah kulihat seorang yang mati diracun olehnya, baru sebentar saja orang itu keracunan sekujur badannya lantas berubah hitam, kutinggalkan sejenak, waktu kembali lagi, kulihat kulit daging orang itu sudah lenyap dan tersisa kerangka jerangkong saja, jerangkong hitam.”

Sim-si memandang jenazah Sim-bi, ucapnya, “Tapi sudah beberapa hari Jisuheng keracunan.”
(more…)

08/11/2007

Pendekar Budiman: Bagian 10

Filed under: Gu Long, Pendekar Budiman — Tags: — ceritasilat @ 10:47 pm

Pendekar Budiman: Bagian 10
Oleh Gu Long

“Jadi yang dikisahkan kakek sekarang adalah mengenai mereka berdua?” tanya si nona berkucir.

“Betul,” jawab kakek Sun.
(more…)

07/11/2007

Pendekar Budiman: Bagian 09

Filed under: Gu Long, Pendekar Budiman — Tags: — ceritasilat @ 10:38 pm

Pendekar Budiman: Bagian 09
Oleh Gu Long

Sim-bi Taysu tampak gelisah. “Sekarang bukan waktunya sok gagah, tenagamu belum pulih, engkau pasti bukan tandingan Ngo-tok-tongcu, apabila dia datang, tentu kau ….”

Mendadak terdengar kuda penarik kereta meringkik kaget, si kusir juga menjerit, kereta terus menerjang ke samping dan “blang”, menumbuk pohon di tepi jalan.
(more…)

06/11/2007

Pendekar Budiman: Bagian 08

Filed under: Gu Long, Pendekar Budiman — Tags: — ceritasilat @ 10:38 pm

Pendekar Budiman: Bagian 08
Oleh Gu Long

“Tapi kau pun tidak mati sebab kau benar telah mengalah tiga jurus padaku dan tidak ingkar janji,” kata A Fei pula. Tiba-tiba ia tertawa dan menyambung, “Sedikitnya engkau terlebih hebat daripada Sim-bi Hwesio.”

Seperti diketahui, Sim-bi menyatakan takkan melukai A Fei asalkan anak muda itu mampu menerjang keluar kepungan Lo-han-tin, tapi akhirnya A Fei toh dilukainya juga. Pelajaran ini takkan dilupakan A Fei untuk selamanya.
(more…)

05/11/2007

Pendekar Budiman: Bagian 07

Filed under: Gu Long, Pendekar Budiman — Tags: — ceritasilat @ 10:37 pm

Pendekar Budiman: Bagian 07
Oleh Gu Long

Dengan sendirinya ucapan Sun-hoan ini sengaja diperdengarkan kepada A Fei.

Kembali A Fei termenung sejenak, katanya kemudian dengan perlahan, “Mereka bilang engkau Bwe-hoa-cat, lantas benarkah engkau Bwe-hoa-cat?”
(more…)

04/11/2007

Pendekar Budiman: Bagian 06

Filed under: Gu Long, Pendekar Budiman — Tags: — ceritasilat @ 10:36 pm

<p align=”center”><strong>Pendekar Budiman: Bagian 06
Oleh Gu Long</strong>

Dengan sorot mata mencorong Yu Liong-sing berkata pula, “Kalau Li-heng seorang pencinta pedang, tentunya kau tahu meski pedang ini tidak dapat dibandingkan Hi-jong-kiam, tapi pedang ini pun cukup terkenal pada tiga ratus tahun yang lalu, namanya Toat-ceng-kiam (pedang perampas cinta), barangkali Li-heng belum tahu kisah pedang ini.”

“Coba ceritakan,” kata Sun-hoan.
<!–more–>
“Pedang ini milik Tik Bu-cu, seorang jago pedang zaman itu, sampai usianya sudah setengah baya dia baru jatuh cinta kepada seorang perempuan. Keduanya sudah mengikat janji, siapa tahu pada malam sebelum upacara nikah mereka berlangsung, nona ini ialah mengadakan pertemuan gelap dengan sahabat Tik Bu-cu sendiri yang bernama si golok sakti Pang Ging. Saking duka dan gemasnya, dengan pedang perampas cinta inilah Tik Bu-cu membunuh Pang Ging, sejak itu hidupnya melulu berkawan dengan pedang dan tidak pernah bicara tentang pernikahan lagi.”

Mendadak Yu Liong-sing menatap Sun-hoan lekat-lekat, katanya, “Mungkin Li-heng menganggap kisah ini sangat sederhana tanpa liku sehingga terasa tawar, tapi kisah ini adalah kisah nyata, bukan dongeng belaka.”

Sun-hoan tertawa, “Kurasa meski ilmu pedang Tik Bu-cu ini sangat tinggi, tapi jiwanya terlalu sempit. Mestinya dia tahu peribahasa yang mengatakan: sahabat laksana kaki dan tangan, istrinya serupa pakaian. Seorang lelaki sejati mana boleh mengingkari persahabatan hanya karena urusan perempuan?”

“Hm, justru kurasakan Tik-locianpwe ini adalah seorang kesatria besar yang gilang-gemilang, hanya kesatria besar demikian dapat mencintainya sedemikian mendalam dan sedemikian polos.”

“Jika demikian, jadi malam ini Anda ingin meniru Tik Bu-cu zaman dahulu?” tanya Sun-hoan dengan tersenyum.

Sorot mata Yu Liong-sing memancarkan cahaya dingin, jengeknya, “Untuk ini terserah kepada Li-heng apakah juga ingin menipu menjadi si golok sakti Pang Ging pada tiga ratus tahun yang lampau itu?”

“Ai, bulan seterang ini dan ada janji dengan si cantik, betapa romantisnya suasana demikian, kenapa Anda sengaja merusak keindahan?”

“Jadi malam ini Anda pasti akan hadir ke sana?” tanya Yu Liong-sing dengan bengis.

“Jika membiarkan nona Lim yang molek itu, menanti kasih secara sia-sia di bawah sinar bulan purnama, tidakkah aku akan menjadi kekasih yang berdosa?” ujar Sun-hoan dengan tersenyum.

Muka Yu Liong-sing yang pucat berubah menjadi merah padam, urat hijau sama menonjol di dahinya, ujung pedang berputar, “sret”, ditusukkannya lewat leher Li Sun-hoan.

Sun-hoan tetap mengulum senyum, ucapnya dengan tak acuh, “Dengan ilmu pedangmu rasanya masih selisih jauh jika ingin menjadi Tik Bu-cu.”

“Dengan ilmu pedang demikian sudah lebih dari cukup untuk membinasakan dirimu!” bentak Yu Liong-sing dengan murka, berbareng dia menusuk pula beberapa kali.

Terdengar desing angin yang keras dan cepat, poci teh di atas meja tersampuk pecah oleh angin pedang, air teh berceceran di atas meja dan mengalir ke lantai.

Beberapa kali tusukannya sungguh cepat luar biasa, namun Li Sun-hoan tetap berdiri di tempatnya, seakan-akan tidak bergeser sedikit pun, dan entah mengapa semua tusukan itu sama mengenai tempat kosong.

Yu Liong-sing menjadi geregetan, serangannya bertambah cepat. Dilihatnya Li Sun-hoan bertangan kosong, sebab itulah dia menggunakan serangan kilat agar Sun-hoan tidak sempat melolos pisaunya. Yang ditakutinya memang cuma “pisau kilat” si Li saja.

Siapa tahu Li Sun-hoan sama sekali tidak bermaksud menggunakan pisaunya, setelah semua serangan orang terhindar, tiba-tiba Sun-hoan tertawa dan berkata, “Dengan usiamu yang masih muda begini dan menguasai ilmu pedang setinggi ini, secara umum sudah terhitung sukar dicari. Tapi kalau dipandang dari perguruan dan keluargamu, jika kau gunakan ilmu pedang demikian untuk berkecimpung di dunia Kangouw, cukup dalam waktu dua-tiga tahun saja papan merek orang tua dan gurumu mungkin harus dicopot.”

Di tengah sambaran pedang Li Sun-hoan dapat bicara dengan seenaknya, keruan Yu Liong-sing merasa gemas dan juga gelisah, namun apa daya, ujung pedangnya tetap tidak mampu menyentuh ujung baju orang.

Akhirnya Yu Liong-sing menjadi nekat, mendadak ia menusuk dada Li Sun-hoan, ia pikir sekali ini jangan harap dapat kau hindarkan lagi.

Tak terduga, kembali perhitungannya meleset, hanya sedikit Li Sun-hoan mengegos saja, tahu-tahu pedang Yu Liong-sing mengenai tempat kosong. Malahan terdengar suara “cring”, jari Li Sun-hoan yang kuat itu menjentik perlahan pada batang pedangnya, kontan Yu Liong-sing merasa tangan kesemutan, setengah badan terasa kaku, pedang tak dapat tergenggam lagi, terdengar suara mendering disertai berkelebatnya cahaya terang melayang keluar jendela.

Li Sun-hoan tetap berdiri di tempatnya tanpa bergeser, selangkah pun. Sebaliknya Yu Liong-sing merasa darah sekujur badan seakan-akan membanjir ke ubun-ubun kepala, lalu menurun kembali ke telapak kaki dan seluruh tubuh terasa dingin.

Perlahan Sun-hoan menepuk bahu Yu Liong-sing dengan tersenyum hambar, “Sayang pedang, lekas dijemput kembali.”

Dengan gemas Yu Liong-sing mengentak kaki, lalu berlari pergi, sampai di ambang pintu mendadak ia berhenti dan menoleh, serunya dengan agak gemetar, “Jika … jika berani, hendaknya tunggu setahun lagi, pasti akan kubalas sakit hati ini.”

“Setahun?” Sun-hoan menegas. “Kukira tidak cukup.”

Dengan tersenyum lalu ia sambung dengan perlahan, “Bakatmu memang lumayan, ilmu pedangmu juga tidak lemah, cuma sayang terlalu cepat naik darah, sebab itulah seranganmu cepat tapi kurang mantap. Maka begitu berhadapan dengan lawan yang lebih kuat, lebih dulu kau sendiri sudah bingung. Padahal kalau bisa bertindak tenang, bukan mustahil hari ini dapat kau jatuhkan diriku.”

Mencorong sinar mata Yu Liong-sing, tapi belum sempat dia bersuara, tiba-tiba Li Sun-hoan menyambung lagi, “Bicara sabar memang mudah, untuk melakukannya yang sukar. Sebab itulah apabila kau ingin mengalahkan aku sedikitnya kau perlu tekun bertapa tujuh tahun lebih dulu.”

Muka Yu Liong-sing sebentar merah sebentar pucat, tangan tergenggam hingga berkeriut saking gemasnya.

“Nah, pergilah sekarang,” ujar Sun-hoan dengan tertawa, “asalkan dapat kuhidup tujuh tahun lagi, silakan kau cari diriku untuk menuntut batas. Tujuh tahun tidak terlalu lama, apalagi seorang lelaki sejati, jika ingin menuntut batas, sepuluh tahun saja belum terlambat.”

*****

Jagat raya kembali sunyi senyap, hanya desir angin menerbitkan gemeresik daun bambu di luar.

Li Sun-hoan memandang cuaca malam di luar, ia berdiri termenung hingga lama, akhirnya menghela napas dan bergumam, “Anak muda, jangan kau dendam padaku Padahal tindakanku ini justru telah menyelamatkan dirimu. Jika kau masih terus tergila-gila kepada Lim Sian-ji, maka tamatlah hidupmu ini.”

Dia mengebaskan lengan baju dan hendak melangkah keluar. Ia tahu saat itu Lim Sian-ji sedang menantikan kedatangannya, bahkan pasti sudah menyiapkan kailnya. Tapi dia tidak gentar sedikit pun, bahkan merasa sangat tertarik.

Jika ikannya terlalu besar, mungkin pengailnya akan terpancing malah. Maka dengan tersenyum Sun-hoan bergumam pula, “Justru akan kulihat umpan macam apakah yang dipasang pada kailnya?”

Sebelum pergi tadi, dengan emosi Yu Liong-sing telah meraung terhadap Li Sun-hoan, “Jika kau pun menyukai Lim Sian-ji, cepat atau lambat kau pasti menyesal. Sudah lama dia menjadi milikku, dia … dia …. Untuk apa kau pakai sepatu bekas?”

Tapi dengan tertawa tak acuh Sun-hoan telah menjawab, “Sepatu bekas biasanya lebih enak dipakai daripada sepatu baru.”

Bila teringat kepada sikap Yu Liong-sing tadi, Sun-hoan lantas merasa geli dan juga kasihan. Tapi apakah Lim Sian-ji benar anak perempuan jenis sebagaimana dikatakan Yu Liong-sing itu?

Seorang lelaki jika menaksir seorang perempuan dan tidak berhasil, untuk menutupi rasa malunya dan juga untuk melampiaskan dongkolnya, biasanya dia suka menyiarkan berita bahwa perempuan itu sudah pernah mengadakan hubungan intim dengan dirinya dan sebagainya.

Itulah sifat kebanyakan lelaki, sifat yang lucu dan perlu dikasihani.

Perlahan Sun-hoan melangkah ke luar. Tiba-tiba dilihatnya dari depan sana ada cahaya lampu yang menyusuri pepohonan dan sedang menuju ke sini.

Kiranya dua pelayan cilik berbaju hijau dan menjinjing dua lentera berkerudung, sambil berjalan sambil berbicara dan bersenda gurau. Tapi begitu melihat Li Sun-hoan, seketika mereka tidak bicara dan juga tidak bersenda gurau lagi.

Sebaliknya Sun-hoan lantas menyapa dengan tersenyum, “Apakah kalian disuruh menjemput diriku oleh nona Lim?”

Pelayan yang sebelah kiri lebih tua satu-dua tahun, perawakannya lebih tinggi, dengan hormat ia menjawab, “Hujin yang menyuruh kami mengundang Li-siangkong ….”

“Hujin (nyonya)?” Sun-hoan menegas, seketika ia menjadi tegang, “Hujin yang mana?”

“Cengcu kami kan cuma mempunyai seorang Hujin saja,” jawab si pelayan tadi dengan tertawa.

Pelayan yang lain cepat menambahkan, “Hujin tahu Li-siangkong tidak suka diganggu urusan tetek bengek, maka sengaja menyiapkan beberapa macam santapan yang diolah Hujin sendiri di ruangan belakang, Li-siangkong diundang dahar dan sekadar berbincang-bincang di sana.”

Sun-hoan berdiri mematung, pikirannya melayang jauh melintasi hutan sana, terbang ke atas paviliun berloteng sana ….

Sepuluh tahun yang lalu, loteng itu adalah tempat yang sering dikunjunginya, ia masih ingat meja marmer itu selalu tersedia beberapa santapan yang menjadi kegemarannya.

Ia masih ingat ham goreng ayam dengan madu itu selalu tertaruh pada piring warna hijau pupus, tapi piring yang berisi sayur kailan cah udang dan taoge cah samcan selalu berwarna cokelat.

Di belakang meja marmer itu adalah sebuah pintu berkerai, kerai bersulam indah buah tangan si dia sendiri, terkadang juga diganti dengan kerai mutiara. Dan di balik kerai itulah kamar tidurnya.

Masih teringat olehnya waktu si dia muncul dari balik kerai, badannya selalu membawa semacam bau harum yang sedap. Selama sepuluh tahun ini, dia tidak berani lagi mengenangkan tempat ini, ia merasa bila memikirnya, baik terhadap si dia, terhadap Liong Siau-hun, boleh dikatakan semacam pikiran kotor yang tak terampunkan.

Begitulah Sun-hoan terus berjalan ke depan dengan linglung, waktu ia menengadah, tahu-tahu sudah berada di bawah loteng kecil itu.

Cahaya lampu di atas loteng masih sangat lembut, tampaknya tiada berbeda daripada sepuluh tahun yang lalu, bahkan salju yang tertimbun di atas rumah juga putih bersih dan menarik seperti masa lampau.

Tapi sepuluh tahun toh sudah berlalu. Sepuluh tahun yang cukup panjang itu sukar lagi disusul kembali oleh siapa pun.

Sun-hoan menjadi ragu, sungguh ia tidak mempunyai keberanian untuk naik ke atas loteng ini. Setelah peristiwa kemarin, ia tidak mengerti untuk apakah Si-im mengundangnya, sungguh ia merasa tidak berani menemuinya. Akan tetapi tidak bisa tidak dia harus naik ke atas. Entah apa maksud undangan Si-im padanya, tidak ada alasan baginya untuk menolak.

Di atas meja marmer itu telah tersedia beberapa porsi masakan menarik, yang terisi pada piring warna hijau adalah ham goreng ayam, piring warna cokelat berisi kailan cah udang dan seterusnya.

Baru saja Sun-hoan naik ke atas, seketika ia terkesima.

Sepuluh tahun yang panjang itu seolah-olah telah lenyap dalam sekejap itu, dia merasa seperti telah kembali pada keadaan sepuluh tahun yang lalu. Dipandangnya kerai yang terjulur itu, mendadak jantungnya berdebar keras, berdebar seperti remaja yang baru jatuh cinta. Terkenang kehangatan sepuluh tahun yang lalu, teringat impian masa lampau.

Sun-hoan tidak berani berpikir lagi, rasanya berdosa kepada Liong Siau-hun, juga bersalah terhadap dirinya sendiri. Hampir saja ia tidak tahan dan hendak lari pergi.

Tapi pada saat itulah terdengar kumandang suara si dia dari balik kerai sana, “Silakan duduk!”

Suaranya masih tetap lembut seperti sepuluh tahun yang lalu, tapi juga terasa begitu asing, begitu dingin, kalau tidak ada beberapa macam santapan di atas meja itu, sungguh sukar dipercaya bahwa orang di balik tirai adalah kenalan lama berpuluh tahun yang lalu itu.

Terpaksa ia duduk dan menjawab, “Terima kasih.”

Dan waktu tirai tersingkap, keluarlah satu orang.

Bernapas saja hampir berhenti Li Sun-hoan, tapi yang muncul ternyata bukan si dia melainkan anak itu, masih tetap memakai baju merah cerah, tapi mukanya pucat lesu.

Si dia masih berada di belakang tirai, terdengar dia berucap, “Jangan lupa pesan ibu tadi, lekas menyuguh arak kepada paman Li.”

Anak merah itu mengiakan. Dengan sangat hormat dia lantas menuangkan arak, katanya dengan menunduk, “Kalau ada yang salah, maka semuanya adalah kesalahan keponakan sendiri, untuk itu mohon paman Li sudi melupakannya. Budi paman terhadap keluarga Liong kami lebih tinggi daripada gunung, biarpun keponakan terbunuh juga pantas.”

Hati Sun-hoan seperti dipuntir-puntir dan tidak tahu apa yang harus diucapkannya, sekalipun ia yakin dirinya tidak bertindak salah, tapi melihat muka anak yang pucat ini, mau tak mau timbul semacam perasaan berdosa yang sukar dilukiskan.

“Si-im, O, Si-im, kau minta kedatanganku, apakah sengaja hendak kau siksa diriku?” demikian Sun-hoan berkeluh di dalam hati.

Arak ini mana sanggup diminumnya? Akan tetapi mana boleh tidak diminumnya? Ini bukan arak lagi, tapi kegetiran kehidupan, terpaksa harus diterimanya jika dirinya masih hidup.

“Selanjutnya Titji (keponakan) tidak dapat berlatih Kungfu lagi,” kata si anak merah, “tapi seorang anak lelaki tidak dapat bernaung di bawah orang tua selama hidup, maka mohon paman Li sudi mengingat hubungan baik pada masa lampau, ajarkanlah kepada keponakanmu ini semacam kepandaian membela diri agar kelak keponakan tidak diganggu orang.”

Diam-diam Sun-hoan menghela napas menyesal, tangan terjulur dan ujung jari sudah menjepit pisaunya.

Di balik tirai Si-im juga lantas berkata, “Selamanya paman Li tidak mengajarkan pisau terbangnya kepada siapa pun, bilamana memegang pisau itu, samalah kau dapatkan jimat pelindung badan. Ayolah lekas mengucapkan terima kasih kepada paman.”

Segera Ang-hay-ji atau anak merah itu menyembah dan mengucapkan terima kasih.

Sun-hoan tertawa, tapi diam-diam gegetun, katanya, “Cinta kasih seorang ibu sungguh tidak ada bandingannya, tetapi, bagaimana seorang anak terhadap ibunda ….”

Suasana menjadi hening sejenak. Anak itu telah dibawa pergi pelayan, tapi Lim Si-im masih berada di belakang tirai dan belum mau membiarkan Sun-hoan pergi. Mengapa dia menahannya di sini?

Sebenarnya Sun-hoan bukan seorang yang banyak tata adat, tapi berada di sini, tiba-tiba ia merasa kikuk seperti orang linglung.

Cinta memang sesuatu yang ajaib. Dia terkadang bisa membuat orang tolol menjadi mahapintar, sebaliknya juga bisa membuat orang pintar menjadi bodoh.

Sudah jauh malam.

Apakah Lim Sian-ji sedang menunggunya?

“Engkau ada … ada urusan?” tiba-tiba Si-im bertanya.

“Ti … tidak ada,” sahut Sun-hoan.

Si-im terdiam sejenak, “Kau pasti pernah bertemu dengan Sian-ji?”

“Ya, pernah bertemu satu-dua kali.”

“Dia seorang anak perempuan yang pantas dikasihani, kisah hidupnya sangat memilukan, jika kau pernah melihat ayahnya, tentu dapat kau bayangkan kemalangannya.”

“Oo?!” Sun-hoan intan tahu.

“Pernah satu kali kupergoki dia hendak terjun ke jurang, maka kutolong dia …. Apakah kau tahu sebab apa dia ingin membunuh diri?”

“Tidak tahu.”

“Justru lantaran penyakit ayahnya,” perlahan Si-im menghela napas, lalu menyambung pula. “Ayah begitu ternyata mempunyai anak perempuan begini, sungguh sukar untuk dipercaya orang. Selain kasihan padanya, aku pun kagum padanya. Dia cantik dan pintar, suka maju. Ia tahu asal-usul sendiri terlalu rendah, maka dalam segala hal dia bekerja terlebih giat, selalu khawatir dipandang hina orang lain.”

“Dan sekarang tentunya tak perlu lagi khawatir dipandang hina orang,” ujar Sun-hoan dengan tertawa.

“Itu juga hasil perjuangannya sendiri, cuma usianya memang masih terlalu muda, hatinya terlalu lunak, selalu kukhawatirkan dia akan tertipu orang.”

Diam-diam Sun-hoan membatin, untunglah bila orang lain tidak tertipu olehnya, masakah dia bakalan tertipu orang?

“Kuharapkan kelak dia akan mendapatkan jodoh yang baik dan jangan sampai tertipu sehingga menderita selama hidup,” demikian kata Si-im lebih lanjut.

Sun-hoan terdiam sejenak, katanya dengan perlahan, “Mengapa engkau bicara urusan ini denganku?”

Si-im juga berdiam sebentar, lalu menjawab, “Sebab apa kubicarakan urusan ini denganmu, memangnya belum lagi kau maklumi?”

Kembali Sun-hoan termenung sejenak, mendadak ia bergelak tertawa dan berseru, “Aha, tahulah aku … kutahu ….”

Dia memang tahu. Sebabnya Lim Si-im menahannya di sini, rupanya karena tidak menghendaki dia pergi memenuhi janji pertemuan dengan Lim Sian-ji, dengan sendirinya, soal janji pertemuan itu diketahuinya dari Yu Liong-sing.

“Apa pun juga,” kata Si-im pula, “kita kan sahabat lama, maka ingin kumohon sesuatu padamu.”

Pedih hati Sun-hoan, tapi dia malah tersenyum dan berucap, “Kau minta jangan kutemui Lim Sian-ji?”

“Betul,” jawab Si-im.

Sun-hoan menarik napas dalam-dalam, ucapnya, “Kau kira … kau kira kuincar dia?”

“Tidak kupedulikan bagaimana pendapatmu terhadap dia, cukup kau terima permohonanku,” kata Si-im.

Sun-hoan menenggak habis secawan arak di depannya, lalu bergumam, “Ya, aku ini memang petualang yang sukar diobati pula, jika kupergi mencari dia berarti akan membikin celaka dia ….”

“Jadi kau terima permintaanku?” tanya Si-im.

“Masa kau tidak tahu selama ini kusuka membikin susah orang?” sahut Sun-hoan dengan menggereget.

Sekonyong-konyong sebuah tangan terjulur keluar dan memegang tirai mutiara dengan erat. Sebuah tangan yang halus dan indah, tapi lantaran menggenggam dengan terlalu kencang sehingga urat hijau tampak menonjol pada punggung tangan yang putih mulus itu.

Untaian mutiara tirai sampai terputus dan mutiaranya berserakan di lantai menimbulkan suara gemerencing.

Sun-hoan memandangi tangan itu, perlahan ia berbangkit dan berkata, “Kumohon diri saja!”

Tangan Si-im tergenggam terlebih kencang, ucapnya dengan agak gemetar, “Setelah kau pergi, mengapa … mengapa kembali lagi? Hidup kami mestinya sangat tenang, meng … mengapa kau datang lagi untuk mengacau?”

Mulut Sun-hoan terkancing rapat, tapi kulit daging pada ujung mulutnya tampak berkejang ….

Mendadak Si-im menerjang keluar dari balik tirai dan berteriak dengan parau, “Belum cukupkah kau bikin celaka anakku? Dan sekarang hendak kau bikin susah dia pula?”

Mukanya tampak putih pucat dan begitu cantik.

Kerlingan matanya penuh emosi dan juga penuh derita batin.

Selamanya belum pernah dia bersikap kasar begini kepada siapa pun.

Apakah semua ini hanya untuk membela Lim Sian-ji? Masakah yang diperhatikannya cuma Lim Sian-ji saja!

Sun-hoan tidak berpaling. Ia tidak berani menoleh, tidak berani memandangnya.

Ia tahu bilamana sekarang ia memandangnya sekejap, mungkin akan timbul hal-hal yang dapat membuat kedua pihak menderita selamanya, hal ini tidak berani dibayangkannya, apalagi dipikirkannya ….

Dengan cepat ia turun dari loteng paviliun itu sambil berucap perlahan, “Padahal mestinya tidak perlu kau mohon padaku, sebab pada hakikatnya aku tidak pernah menaksir dia!”

Si-im memandangi bayangan punggungnya, mendadak ia jatuh terkulai di lantai.

Air kolam sudah beku, sebuah jembatan kecil melintang di atas air kolam.

Pada musim panas kolam ini penuh bunga teratai yang harum semerbak. Tapi sekarang yang ada cuma semilir angin yang dingin dan kesepian yang tak terhingga.

Sun-hoan duduk termangu-mangu di undakan batu jembatan kecil itu dan memandangi kolam yang sudah beku itu, hatinya juga serupa kolam teratai ini.

“Setelah kupergi, mengapa kukembali lagi ke sini? …. Mengapa kembali lagi? ….”

Terdengar suara kentungan berbunyi, sudah lewat tengah malam.

Dari jauh tertampak cahaya lampu pada paviliun Leng-hiang-siau-tiok sana. Apakah Lim Sian-ji masih menunggu kedatangannya?

Jelas diketahuinya Lim Sian-ji menghendaki kedatangannya malam ini, tentu ada maksud tujuan tertentu, jelas diketahuinya bilamana dia datang ke sana pasti akan terjadi macam-macam hal yang sangat mengejutkan dan juga sangat menarik.

Tapi dia tetap berduduk di sini, memandangi cahaya lampu yang agak guram itu dari kejauhan.

Salju yang menumpuk di undakan batu telah merembeskan rasa dingin ke hatinya. Dia terbatuk-batuk lagi tiada hentinya.

Sekonyong-konyong ada bayangan berkelebat di paviliun sana, cepat sekali bayangan itu melayang ke tempat gelap. Serentak Sun-hoan juga lantas melayang ke sana.

Kecepatannya sungguh sukar dilukiskan, tapi ketika dia mendekati paviliun itu, bayangan tadi sudah menghilang ditelan kegelapan.

“Apakah aku salah lihat?” Sun-hoan menjadi ragu sendiri.

Di bawah pantulan putih salju, tiba-tiba dilihatnya di atas timbunan salju di atap rumah ada bekas telapak kaki yang tidak lengkap. Tapi hanya sebelah bekas kaki ini saja tetap sukar baginya untuk memastikan ke mana menghilangnya orang tadi.

Sun-hoan melayang turun, dilihatnya cahaya lampu di balik jendela masih terang.

Ia mengetuk daun jendela perlahan dan memanggil, “Nona Lim!”

Tidak ada jawaban di dalam rumah.

Sun-hoan memanggil lagi dua kali, tetap tidak ada jawaban. Ia berkerut kening, mendadak ia membuka daun jendela, terlihat di atas meja kecil di dalam rumah juga tersedia beberapa macam santapan, malahan di atas anglo kecil terdapat pula poci arak yang masih panas.

Bau arak memenuhi ruangan, santapan di atas meja juga terdiri dari ham masak ayam dan sebagainya, namun Lim Sian-ji tidak kelihatan berada di situ.

Cepat Sun-hoan melompat ke dalam rumah, segera ditemukan lima buah cawan arak, semuanya ambles ke dalam permukaan meja, dipandang sepintas lalu seperti lukisan sekuntum bunga Bwe.

Bwe-hoa-cat, si maling kumbang bunga sakura!

Apakah mungkin Lim Sian-ji telah diculik oleh maling kumbang itu?

Sun-hoan menekan permukaan meja dan menyalurkan tenaga dalam, seketika kelima cawan arak yang terjepit di permukaan meja itu melenting keluar.

Kelima cawan arak masih tetap utuh seperti baru, cuma permukaan meja telah bertambah lima lubang.

Meja itu bukan meja batu, tapi untuk bisa membikin lima cawan arak ambles, jelas tenaga dalamnya sangat mengejutkan, bahkan Sun-hoan sendiri merasa tidak sanggup. Maka dapat dibayangkan betapa hebat Kungfu si maling kumbang itu.

Tangan Sun-hoan yang memegang cawan arak tanpa terasa berkeringat dingin.

Pada saat itulah, “crit”, mendadak api lilin di atas meja tertimpuk padam, menyusul terdengarlah kesiur angin yang mendesing memenuhi ruangan, entah betapa banyak, senjata rahasia berhamburan ke arah Li Sun-hoan.

Dari suara desing tajam ramai itu, jelas penyerangnya tergolong jago kelas tinggi, bilamana orang lain bukan mustahil dalam sekejap itu tubuhnya akan penuh senjata rahasia seperti badan landak, Akan tetapi senjata rahasia di seluruh jagat ini mana ada yang dapat menandingi pisau terbang si Li kecil?

Sekali Sun-hoan berputar, sekaligus belasan senjata rahasia dapat ditangkap kedua tangannya, menyusul ia terus mengapung ke atas, senjata rahasia yang tidak tertangkap olehnya sama menyambar lewat di bawah kakinya.

Pada saat itulah baru terdengar suara bentakan ramai di luar, “Ayo, maling kumbang, jangan harap akan bisa kabur lagi, lekas keluar menerima kematian!”

“Biarpun kepandaianmu setinggi langit juga sekarang akan kami mampuskan dirimu tanpa terkubur!”

“Supaya kau tahu, Dian-jitya dari Lokyang sekarang juga berada di sini, belum lagi Mo-in-jiu Kongsun-tayhiap, ditambah pula Tio-toaya, Liong-siya dan ….”

Di tengah teriakan itu mendadak seorang membentak dengan bengis, “Jangan berisik, tenang semuanya!”

Meski cuma beberapa kata ucapannya, tapi suara orang ini nyaring sebagai bunyi genta, seketika sirap suara orang banyak.

Sun-hoan menggeleng kepala, pikirnya dengan tersenyum getir, “Ternyata benar Dian-jitya sudah tiba!”

Lalu terdengar orang terakhir tadi berteriak pula, “Jika sahabat sudah datang ke sini, mengapa tidak mau keluar untuk bertemu?”

Perlahan Li Sun-hoan berdehem dua kali, lalu menjawab dengan suara yang dibikin parau, “Jika kalian sudah datang kemari, mengapa tidak mau masuk untuk bertemu?”

Kembali terjadi kegemparan di luar, beramai-ramai mereka berucap, “Awas, bangsat ini sengaja memancing kita masuk ke sana!”

“Betul, musuh di tempat gelap dan kita berada di tempat terang, jangan kita tertipu,” seru seorang lagi.

Pada saat itulah kembali suara orang yang lantang berjangkit pula sehingga suara orang lain tersirap semua, seru suara itu, “Maling kumbang, maling hanya suka main sembunyi-sembunyi dan gelap-gelapan, mana dia berani bertemu dengan orang secara terang-terangan?”

Beramai-ramai yang lain juga ikut memaki, “Ya, maim sembunyi-sembunyi seperti kura-kura, hanya mengkeret di dalam kamar, apa ….”

Dengan mendongkol Sun-hoan berteriak, “Betul, Bwe-hoa-cat biasanya memang suka main sembunyi-sembunyi, tapi apa sangkut pautnya dengan diriku?”

“Memangnya engkau bukan Bwe-hoa-cat? Habis siapa?” tanya suara lantang tadi.

Seorang lantas menukas, “Untuk apa pula Kongsun-tayhiap tanya padanya, masa Tio-toaya bisa salah lihat, tidak perlu diragukan lagi, orang ini pasti maling kumbangnya.”

Mendadak Sun-hoan terbahak-bahak, serunya, “Tio Cing-ngo, memang sudah kuduga semua ini adalah permainanmu!”

Sambil tertawa segesit burung walet ia terus melayang keluar. Serentak sebagian orang di luar berteriak dan menubruk maju, tapi ada sebagian lagi yang melompat mundur dengan menjerit kaget.

Cepat Liong Siau-hun berteriak, “Tunggu sebentar, inilah saudaraku, Li Sun-hoan!”

Dalam pada itu Li Sun-hoan telah menemukan jejak Tio Cing-ngo, ia hinggap di depannya, tegurnya dengan tersenyum, “Tajam benar penglihatan Tio-toaya, apabila aku kurang gesit, mungkin saat ini aku sudah menjadi tumbal bagi Bwe-hoa-cat, jelas kematian yang penasaran!”

Wajah Tio Cing-ngo tampak kelam, jengeknya, “Tengah malam buta main sembunyi di sini, kalau tidak kusangka sebagai Bwe-hoa-cat, habis siapa lagi? Dari mana kutahu sakitmu mendadak sembuh dan diam-diam mengeluyur ke sini?”

“Tidak perlu kumain sembunyi dan berkeluyuran secara diam-diam,” jawab Sun-hoan hambar. “Ke mana pun juga dapat kupergi dengan terang-terangan. Apalagi Tio-toaya kan tidak tahu kedatanganku ini justru atas undangan penghuni tempat ini.”

“Hm, memang tidak kuketahui Anda mempunyai hubungan sebaik ini dengan nona Lim di sini,” jengek Tio Cing-ngo. “Tapi setahuku, malam ini jelas nona Lim tidak berada di sini.”

“Oo?” melengak juga Sun-hoan.

“Lantaran ingin menghindari Bwe-hoa-cat, sejak petang tadi nona Lim sudah pindah dari paviliun ini,” jengek Tio Cing-ngo pula.

“Walaupun begitu, kan seharusnya Anda perlu tanya dulu baru turun tangan?” kata Sun-hoan.

“Terhadap manusia rendah semacam Bwe-hoa-cat, jalan yang paling baik adalah turun tangan dulu dan urusan belakang, bilamana tanya dulu baru turun tangan, maka segalanya sudah terlambat.”

Apa yang dikatakan Tio Cing-ngo selalu masuk di akal dan sukar dibantah.

“Hahahaha, bagus sekali kalimat turun tangan dulu dan urusan belakang!” Sun-hoan terbahak-bahak. “Jika demikian, bilamana tadi kumati di tangan Tio-toaya adalah karena salahku sendiri dan tidak dapat menyesali tindakan Tio-toaya?”

Cepat Liong Siau-hun menengahi pula, ia berdehem dulu, lalu berucap, “Di tengah malam buta memang sering bisa salah lihat, apalagi ….”

“Apalagi, bisa jadi aku tidak salah lihat!” jengek Tio Cing-ngo mendadak.

“Tidak salah lihat?” Sun-hoan menegas. “Memangnya Tio-toaya menganggap orang she Li ini ialah si maling kumbang?”

“Itulah sukar untuk dikatakan,” jengek Tio Cing-ngo pula. “Setiap orang sama tahu Ginkang si maling kumbang itu sangat tinggi, gerak-geriknya sangat cepat, soal apakah dia she Ong atau she Li, siapa pun tidak tahu.”

“Hah, memang betul,” ujar Sun-hoan dengan tenang, “Ginkang orang she Li memang tidak rendah, gerak-gerikku juga tidak lambat, muncul kembalinya si maling kumbang sama juga pada waktu pulangnya orang she Li, kan aneh bilamana Li Sun-hoan bukan Bwe-hoa-cat alias si maling kumbang?”

Ia tertawa, lalu memelototi Tio Cing-ngo dan berucap pula dengan perlahan, “Tapi bila Tio-toaya menganggap orang she Li ialah si maling kumbang, mengapa sekarang tidak lekas turun tangan?”

“Cepat turun tangan atau turun tangan nanti bukan soal, dengan hadirnya Dian-jitya dan Kongsun-tayhiap sekarang, memangnya kau kira dapat lolos begitu saja?” kata Tio Cing-ngo.

Baru sekarang air muka Liong Siau-hun tampak berubah khawatir, cepat ia berkata pula, “Ah, kita hanya bergurau saja, jangan serius. Liong Siau-hun berani menjamin dengan segenap jiwa raganya bahwa Li Sun-hoan pasti bukan Bwe-hoa-cat!”

“Dengan sendirinya urusan ini tidak boleh dibuat bergurau,” ujar Tio Cing-ngo dengan muka masam. “Sudah sepuluh tahun tidak pernah kau lihat dia, mana boleh kau jamin kebenarannya?”

“Tapi … tapi kutahu persis pribadinya ….” muka Liong Siau-hun tampak merah padam.

Tiba-tiba seorang menukas, “Tahu orangnya, kenal mukanya, tidak tahu hatinya. Tentu Liong-siya pernah mendengar peribahasa ini?”

Yang bicara ini berbadan tinggi kurus, bermuka kuning pucat, tampaknya seperti seorang yang selalu sakit-sakitan, tapi suaranya lantang, kiranya dia inilah Kongsun Mo-in yang terkenal dengan 14 jurus ilmu pukulan Mo-in-jiu yang lihai itu.

Di belakangnya berdiri seorang yang senantiasa tersenyum simpul dengan kedua tangan selalu tergendong di belakang, tampaknya seorang hartawan yang biasa hidup senang dan dipuja, kini tiba-tiba tertawa dan berkata, “Haha, betul, aku Dian Jit juga sahabat puluhan tahun dengan Li-tamhoa, tapi menghadapi peristiwa semacam ini, terpaksa soal persahabatan harus kukesampingkan juga.”

Dengan hambar Sun-hoan menjawab, “Meski tidak sedikit sahabatku, tapi sahabat yang terhormat semacam Dian-jitya kurasa tidak ada satu pun. Maka hendaknya Dian-jitya tidak perlu berbicara tentang persahabatan denganku.”

Muka Dian Jit menjadi kelam, sorot matanya menampilkan nafsu membunuh.

Setiap orang Kangouw sama tahu Dian-jitya tidak kenal ampun, apabila senyuman lenyap dari wajahnya, seketika dia bisa turun tangan membunuh orang. Siapa tahu sekarang dia tidak membunuh orang, malahan bicara saja tidak.

Tertampak Kongsun Mo-in, Tio Cing-ngo dan Dian Jit bertiga telah mengapung Li Sun-hoan di tengah, air muka ketiga orang sama masam dan menggereget benci. Namun ketiganya hanya memelototi pisau di tangan Li Sun-hoan, tampaknya tiada seorang pun ingin mendahului turun tangan.

Sama sekali Sun-hoan tidak memandang mereka, melirik pun tidak, ucapnya dengan adem ayem, “Kutahu saat ini kalau bisa kalian ingin membinasakan diriku, sebab bila aku si maling kumbang ini sudah terbunuh, seketika kalian akan hidup jaya dan si cantik dalam pelukan, bahkan akan mendatangkan pujian dan mendapat nama harum sepanjang masa.”

“Harta dan si cantik adalah urusan sepele,” ucap Tio Cing-ngo dengan menarik muka, “tujuan kami membunuh dirimu hanya demi membasmi kejahatan bagi dunia Kangouw.”

“Haha, sungguh gemilang, sungguh cemerlang, sungguh tidak malu sebagai kesatria bermuka besi yang tidak kenal pilih kasih, sungguh pendekar budiman yang tidak ada bandingannya!” ejek Sun-hoan dengan terbahak. Perlahan ia meraba pisaunya, lalu mendengus, “Dan mengapa Anda tidak lekas turun tangan?”

Sorot mata Tio Cing-ngo berkilat kian kemari mengikuti tangan Li Sun-hoan, ia pun tidak dapat bersuara lagi.

“Aha, tahulah aku,” seru Sun-hoan pula. “Dian-jitya termasyhur dengan toya dan ketiga bola besinya yang menggetarkan dunia Kangouw, tentunya Tio-toaya sedang menunggu Dian-jitya akan turun tangan lebih dulu. Untuk ini tentu saja Dian-jitya akan melakukannya dengan senang hati, begitu bukan?”

Tapi kedua tangan Dian Jit tetap tergendong di belakang, seakan-akan tidak mendengar ucapan Sun-hoan itu.

“Ah, betul, jangan-jangan Dian-jitya juga lagi menanti Kongsun-siansing akan turun tangan lebih dulu,” seru Sun-hoan pula. “Ya, ke-14 jurus pukulan sakti Kongsun-siansing banyak gerak perubahannya dan tidak ada bandingannya, dengan sendirinya Kongsun-siansing yang berkewajiban turun tangan lebih dahulu.”

Namun Kongsun Mo-in mendadak seolah-olah berubah menjadi tuli dan bisu dan tidak bergerak lagi.

“Hahahaha! Sungguh aneh!” seru Sun-hoan dengan bergelak. “Katanya kalian bertekad akan membinasakan diriku, tapi semuanya tidak mau turun tangan, jangan-jangan kalian sama berjiwa luhur, tidak suka berebut jasa dan saling sungkan?”

Kongsun Mo-in bertiga juga benar-benar sabar, betapa pun dimaki dan diejek Li Sun-hoan, mereka tetap tidak menghiraukan, anggap tidak mendengar saja.

Padahal dalam hati ketiga orang itu gemas luar biasa, sungguh mereka ingin sekali depak mampuskan Li Sun-hoan. Tapi mereka juga jeri, sebab “pisau sakti si Li cilik, sekali timpuk tidak pernah meleset”, mereka tahu selama pisau terpegang di tangan Li Sun-hoan, siapa pun tidak berani turun tangan, orang lain lebih-lebih tidak ada yang berani bergerak.

Tiba-tiba Liong Siau-hun berkata dengan tertawa, “Ai, saudaraku, masakah belum lagi kau lihat mereka bertiga cuma bergurau saja denganmu? Ayolah, mari kita pergi minum arak saja untuk menghangatkan badan.”

Sambil bicara ia terus melangkah maju dan merangkul pundak Li Sun-hoan.

Air muka Sun-hoan berubah mendadak, serunya, “He, Toako ….” segera ia bermaksud mendorong Liong Siau-hun, tapi sayang sudah terlambat!

Pada saat itulah, “wutt”, Dian Jit telah melolos toya lemas rotan berbungkus benang emas yang panjangnya cuma empat-lima kaki, seperti ular berbisa memagut, secepat kilat ia sabet kaki Li Sun-hoan.

Dalam keadaan demikian, sia-sia Li Sun-hoan memegang pisau sakti si Li yang merontokkan nyali siapa pun, sebab bahunya dirangkul oleh tangan Liong Siau-hun yang simpatik, dengan sendirinya pisaunya tidak dapat bekerja seperti biasa.

“Plok”, kontan kakinya tersabet toya lemas Dian Jit, saking sakitnya hampir saja ia berjongkok.

Kongsun Mo-in juga tidak tinggal diam, dengan cepat ia menutuk tujuh Hiat-to penting sekaligus di punggung Li Sun-hoan. Menyusul Tio Cing-ngo lantas menambahi sekali tendang sehingga Sun-hoan mencelat dua-tiga tombak jauhnya.

Siau-hun berjingkrak dan meraung, “Mengapa kalian turun tangan secara begini? Lekas lepaskan dia!”

Sambil meraung ia terus menubruk ke arah Li Sun-hoan.

Tio Cing-ngo menjengek, “Hm, lepaskan harimau mudah menangkapnya susah, tidak boleh melepaskan dia!”

“Ya, maaf Liong-siya!” kata Dian Jit.

Berbareng Kongsun Mo-in lantas mengadang di depan Liong Siau-hun. Kedua kepalan Liong Siau-hun menghantam sekaligus, tapi toya rotan Dian Jit sempat mencantol kakinya, sekali tarik, kontan Liang Siau-hun sempoyongan, sebelum dia berdiri tegak lagi, Tio Cing-ngo memberinya satu kali tutukan pada iganya.

Liong Siau-hun jatuh terkulai, teriaknya dengan suara parau, “Tio-toako, ken … kenapa kau ….”

Dengan muka kelam Tio Cing-ngo menjawab, “Meski kita bersaudara angkat, tapi setia kawan Kangouw jauh di atas urusan persaudaraan, semoga kau maklum hal ini dan janganlah mencari susah sendiri karena membela sampah dunia persilatan ini.”

“Tapi … tapi dia pasti bukan Bwe-hoa-cat, pasti bukan!” teriak Siau-hun parau.

“Untuk apa banyak omong lagi?” damprat Tio Cing-ngo. “Cara bagaimana dapat kau buktikan dia bukan Bwe-hoa-cat?”

Dengan senyuman yang ramah Dian Jit menukas, “Ya, malahan dia sendiri juga sudah mengaku, untuk apa Liong-siya bersusah payah membelanya?”

“Liong-siya,” Kongsun Mo-in ikut bicara, “engkau orang yang berkeluarga, punya kedudukan dan terhormat, jika kau ikut terambat dan menanggung susah perbuatan manusia kotor ini, kan penasaran?”

Dengan suara serak Siau-hun berteriak, “Asalkan kalian melepaskan dia, betapa besar dosanya, biar orang she Liong menanggung baginya.”

“Kau rela menanggung dosanya?” teriak Tio Cing-ngo dengan bengis, “Akan tetapi bagaimana dengan istrimu? Bagaimana dengan anakmu? Apakah kau tega menyaksikan mereka ikut susah lantaran tindakanmu ini?”

Terkesiap Liong Siau-hun, sekujur badan lantas gemetar.

Terlihat Li Sun-hoan rebah di tanah bersalju dengan kaki terangkat dan lagi terbatuk-batuk tidak berhenti-henti dan tampak napas pun sesak, tapi pisau masih terpegang kencang di tangannya, serupa seorang yang akan mati tenggelam, meski sebatang gelagah saja akan dipegangnya erat-erat, padahal gelagah itu hakikatnya tidak dapat menyelamatkan jiwanya.

Biarpun pisau masih terpegang di tangannya, namun apa daya, selamanya tak dapat lagi disambitkan.

Kesatria yang keras, yang selama hidupnya telah dilaluinya dengan kesepian, apakah akan tamat dengan begini saja?

Tanpa terasa Liong Siau-hun menitikkan air mata, ucapnya gemetar, “O, saudaraku, semuanya gara-garaku, akulah yang membikin celaka dirimu. Ma … maafkan aku ….”

*****

Sesaat sebelum subuh tiba merupakan saat yang paling gelap, bahkan cahaya lampu di ruangan besar itu pun tidak dapat menembus kegelapan yang tak berujung ini.

Serombongan orang berkumpul di undak-undakan batu di luar sana dan sedang berbisik-bisik membicarakan apa yang baru saja terjadi.

“Dian-jitya memang benar-benar sangat hebat, coba kau lihat betapa cepat gerak toyanya tadi, seumpama Liong-siya tidak kebetulan merangkul pundaknya kuyakin Li Sun-hoan juga tidak mampu menghindarnya.”

“Ya, apalagi di samping masih ada Kongsun-tayhiap dan Tio-toaya.”

“Betul, pantas juga orang bilang kedua kaki Tio-toaya bernilai selaksa tahil emas. Lihat saja tendangannya tadi, sungguh indah dan telak benar.”

“Kenapa heran? Lam-kun-pak-tui (kepalan selatan, kaki utara), kesatria daerah utara kami memang termasyhur karena kehebatan tendangannya.”

“Hah, Dian-jitya, Tio-toaya, ditambah lagi Kongsun-tayhiap, sungguh sial bagi Li Sun-hoan sekaligus bertemu dengan mereka bertiga.”

“Ya, walaupun begitu, andaikan tadi Liong-siya tidak ….”

“Memangnya kenapa dengan Liong-siya? Memangnya dia kurang setia kawan?”

“Soal setia kawan Liong-siya memang tidak perlu disangsikan lagi, sungguh mujur Li Sun-hoan mendapatkan sahabat seperti dia!”

Saat Itu Liong Siau-hun lagi berduduk di kursi besar di tengah ruangan, demi mendengar kata-kata terakhir itu, sungguh hatinya seperti ditusuk jarum, butiran keringat memenuhi dahinya.

Dalam pada itu Li Sun-hoan mendekam di atas lantai dan kembali terbatuk-batuk.

Dengan menangis Liong Siau-hun berkata, “O, saudaraku, akulah yang pantas mampus, sungguh celaka engkau mempunyai sahabat seperti … seperti diriku. Hidupmu ini hancur gara-gara perbuatanku.”

Sekuatnya Sun-hoan menahan batuknya, katanya dengan tersenyum, “Toako, kuharap engkau mengerti, apabila aku diberi kesempatan hidup sekali lagi mulai dari awal, maka tanpa ragu aku tetap akan bersahabat denganmu.”

Dengan penuh emosi Liong Siau-hun menangis tergerung-gerung, serunya, “Akan tetapi, kalau … kalau tadi tidak kurintangimu, mana … mana bisa ….”

“Kutahu, apa pun yang dilakukan Toako adalah demi kebaikanku, maka bagiku hanya ada terima kasih,” ucap Sun-hoan dengan suara lembut.

“Tapi mengapa tidak kau beri tahukan kepada mereka bahwa engkau bukan Bwe-hoa-cat, mengapa … mengapa kau ….”

“Mati atau hidup adalah urusan jamak, hidupku ini memang sudah cukup, hidup tidak perlu digembirakan, mati juga tidak perlu gentar, untuk apa aku bertekuk lutut di depan manusia rendah dan kotor ini?”

Sejak tadi Dian Jit hanya memandangi mereka dengan mengulum senyum, kini mendadak ia berkeplok tertawa, “Haha, makian tepat, makian bagus!”

Kongsun Mo-in mendengus, “Hm, dia cukup maklum apa yang dikatakannya toh tidak bakalan kita lepaskan dia, terpaksa ia menirukan perempuan bawel saling maki di pinggir jalan, biar mati juga ingin mendapatkan kepuasan mulut!”

“Betul, urusan sudah kadung begini, yang kuharap hanya kematian saja,” kata Sun-hoan. “Kini tanganku sudah tidak memegang pisau, mengapa kalian belum lagi turun tangan?”

Muka Kongsun Mo-in yang kurus kering itu menjadi bersemu merah.

Sedangkan muka Tio Cing-ngo masih tetap masam, ucapnya, “Jika sekarang juga kami bunuh dirimu, bisa jadi ada orang Kangouw yang tidak tahu seluk-beluknya akan bilang kami membunuh dirimu demi kepentingan pribadi Maka untuk membunuhmu harus kami lakukan secara terang dan adil.”

“Tio Cing-ngo, sungguh aku sangat kagum padamu,” ejek Sun-hoan. “Isi perutmu penuh kotoran, tapi bicaramu seolah-olah orang suci bersih, muka tidak merah sedikit pun.”

“Bagus, orang she Li, kau memang kepala batu,” kata Dian Jit. “Jika kau ingin lekas mampus, ada juga suatu caraku.”

“Mestinya juga hendak kumaki dirimu, tapi kukhawatir akan membikin kotor mulutku sendiri.” ujar Sun-hoan dengan menyesal.

Dian Jit berlagak tidak mendengar, ia berkata pula dengan tersenyum, “Asalkan kau mau menulis suatu pernyataan menyesal dan mengakui dosamu, sekarang juga akan kami bikin kau mati dengan enak agar tidak penasaran kematianmu.”

Tanpa pikir Sun-hoan lantas menjawab, “Baik, akan kuuraikan, boleh kau tulis ….”

“Jangan, saudaraku!” seru Liong Siau-hun.

Sun-hoan tidak menghiraukannya, ucapnya pula, “Dosaku memang sudah kelewat takaran dan sukar dihitung, aku munafik, pura-pura bajik, padahal berhati keji dan licik, suka memfitnah dan mengadu domba, menyergap pada waktu orang tidak bersiap. Tidak berbudi, tidak tahu diri, segala perbuatan kotor dan rendah hampir seluruhnya pernah kulakukan, tapi masih sok anggap seorang tokoh yang lain daripada yang lain ….”

“Plok”, mendadak tangan Tio Cing-ngo menggampar muka Li Sun-hoan dengan telak.

Liong Siau-hun meraung gusar, “Seorang kesatria hanya boleh dibunuh dan tidak boleh dihina, mana boleh kalian menyiksa dia secara demikian?”

“Tidak apa,” ujar Sun-hoan tetap dengan tersenyum, “tamparannya kuanggap sebagai digigit sekali oleh anjing gila.”

Teriak Tio Cing-ngo dengan murka, “Dengarkan, orang she Li, anggaplah aku belum mau membunuhmu, tapi aku mampu membuatmu minta hidup tidak dapat, mohon mati pun sukar, kau percaya tidak?”

Li Sun-hoan terbahak-bahak, “Hahahaha! Jika kujeri terhadap kawanan manusia rendah dan kotor semacam kalian ini, percumalah aku menjadi seorang lelaki. Coba kalian masih mempunyai cara apa, silakan keluarkan saja.”

“Baik,” bentak Tio Cing-ngo, segera ia menanggalkan baju luarnya yang baru saja dipakainya.

Liong Siau-hun berduduk di kursi dengan badan gemetar, teriaknya, “Maafkan saudaraku, engkau seorang kesatria, tapi aku … aku seorang pengecut, aku ….”

Sun-hoan tersenyum, “Hal ini tak dapat menyalahkan dirimu, Toako, apabila aku beranak-istri, aku pun akan bertindak seperti Toako.”

Dalam pada itu tangan Tio Cing-ngo yang kuat sebagai baja sudah mulai meremas tulang pundaknya, rasa sakitnya sungguh tukar ditahan, meski keringat dingin sudah mengucur, namun Li Sun-hoan tetap bertahan, tetap tersenyum simpul.

Orang-orang yang berdiri di luar ruangan sudah banyak yang berpaling ke arah lain. Kesatria Kangouw umumnya mengutamakan “berani”, keberanian seperti Li Sun-hoan ini sungguh jarang terlihat.

Pada saat itulah sekonyong-konyong di luar ada orang berseru, “He, nona Lim, engkau pulang dari mana? …. Siapakah tuan ini?”

Tertampak baju Lim Sian-ji morat-marit dengan rambut kusut-masai sedang melangkah masuk dengan tergesa-gesa. Di sampingnya mengikut seorang anak muda, meski hawa sangat dingin, namun baju yang dipakainya sangat tipis, jalannya tegap seakan-akan di dunia ini tiada sesuatu urusan yang dapat membuatnya membungkuk tubuh.

Mukanya kaku serupa batu ukiran, keras, dingin, teguh, tapi juga membawa semacam daya tarik aneh yang sukar dilawan. Yang lebih mengherankan lagi adalah dia datang dengan memanggul sesosok mayat.

A Fei! Anak muda ini ternyata A Fei adanya.

Mengapa A Fei bisa datang kemari?

Terguncang hebat perasaan Li Sun-hoan, entah kejut entah girang? Tapi cepat ia berpaling, sebab ia tidak ingin A Fei melihat keadaannya sekarang. Ia tidak mau A Fei turun tangan dengan menyerempet bahaya baginya.

Tapi A Fei toh melihatnya juga. Seketika air mukanya yang kaku dan dingin itu berubah penuh emosi, ia menerjang maju dengan langkah lebar.

Tio Cing-ngo tidak berani merintanginya, sebab dia sudah pernah merasakan betapa lihai ilmu pedang anak muda ini. Tapi Kongsun Mo-in belum tahu, segera ia melompat maju dan mengadang di depan A Fei sambil membentak, “Siapa kau? Apa kehendakmu!”

“Kau sendiri siapa? Kau mau apa?” jawab A Fei.

“Ingin kubelajar kenal dengan ilmu pedangmu!” seru Kongsun Mo-in, berbareng ia lantas turun tangan.

Tidak ada yang mencegahnya. Hal ini tidak perlu diherankan, rebab Tio Cing-ngo justru berharap agar mereka saling gebrak. Dian Jit juga ingin pinjam tangan orang lain untuk mengukur kepandaian anak muda tak dikenalnya ini.

Dan bagaimana dengan Lim Sian-ji? Dia cuma memandang Li Sun-hoan dengan terkejut dan sama sekali tidak memerhatikan orang lain. Mengenai Liong Siau-hun, dia seperti tidak berniat ikut campur urusan orang lain lagi.

Anehnya, A Fei ternyata tidak mengelakkan serangan Kongsun Mo-in. “Blang”, terdengar suara keras, kepalan Kongsun Mo-in tepat mengenai dada A Fei. Tapi A Fei bergeming sedikit pun, sebaliknya Kongsun Mo-in kesakitan sendiri sehingga menungging.

A Fei tidak memandangnya lagi, ia lewat di sampingnya dan mendekati Li Sun-hoan, tanyanya, “Dia kawanmu?”

Sun-hoan tersenyum, “Kau kira ada kawanku semacam ini?”

Dalam pada itu Kongsun Mo-in telah meraung murka dan menubruk maju pula, kembali ia menghantam punggung A Fei. Mendadak A Fei membalik tubuh dan terdengar pula suara “blang”. Kontan tubuh Kongsun Mo-in mencelat.

Sama berubah air maka para hadirin, siapa pun tidak menyangka tokoh “Mo-in-jiu” yang disegani di dunia Kangouw dapat berubah seperti patung di depan anak muda ini, masa tidak tahan sekali genjot saja.

Hanya Dian Jit saja yang lantas bergelak tertawa dan berseru, “Sungguh cepat amat pukulan sahabat muda ini, sungguh kesatria muda yang mengagumkan,” lalu ia menjura dan menyambung pula, “Cayhe Dian Jit, entah siapa nama saudara cilik yang terhormat, sudikah berkawan dengan Dian Jit?”

“Aku tidak punya nama, juga tidak suka berkawan dengan orang macammu ini,” sahut A Fei dengan ketus.

Air muka para hadirin berubah lagi, tapi Dian Jit tetap tersenyum dan berkata, “Anak muda suka bicara secara blak-blakan, memang harus dipuji. Cuma sayang telah keliru memilih sahabat.”

“Oo?!” A Fei merasa tidak mengerti.

“Dia sahabatmu, bukan?” tanya Dian Jit sambil menuding Li Sun-hoan.

A Fei mengiakan.

“Apakah kau tahu siapa dia?”

“Tahu!” jawab A Fei.

“Dan kau pun tahu dia inilah Bwe-hoa-cat?” tanya pula Dian Jit dengan tertawa.

“Bwe-hoa-cat?” A Fei melengak.

“Urusan ini memang sukar untuk dipercaya bila diceritakan, namun fakta nyata, siapa pun sukar menyangkalnya,” kata Dian Jit.

A Fei menatapnya tajam-tajam seperti ingin menembus hatinya.

Mau tak mau terasa ngeri juga Dian Jit, ucapnya, “Jika Anda tidak percaya, boleh tanya langsung kepadanya ….”

“Tidak perlu kutanyai dia, jelas dia pasti bukan Bwe-hoa-cat!” jengek A Fei.

“Sebab apa?” tanya Dian Jit.

Mendadak A Fei melemparkan mayat yang dipanggulnya itu dan berkata. “Sebab inilah Bwe-hoa-cat yang sebenarnya!”

Para hadirin sama melengak pula, beramai-ramai mereka lantas berkerumun ke depan.

Tertampak mayat ini kurus kering, mukanya malang melintang penuh bekas luka sayatan pisau sehingga tukar diketahui bagaimana bentuk wajah aslinya. Yang dipakai adalah baju hitam ringkas sehingga tulang iga saja kelihatan menonjol.

Mulutnya tampak terkatup rapat, mati pun mengertak gigi kencang-kencang, tiada kelihatan sesuatu bekas luka pada tubuhnya, hanya bagian leher ditembus oleh sebuah lubang.

Dian Jit tertawa pula, katanya, “Kau bilang orang mati inilah Bwe-hoa-cat yang sebenarnya?”

“Betul,” jawab A Fei.

“Hahaha, betapa pun engkau masih muda belia, kau kira orang lain pun sama gampangnya tertipu seperti dirimu,” seru Dian Jit dengan tertawa. “Apabila setiap orang sama membawa pulang seorang mati dan mengatakan dia Bwe-hoa-cat, kan dunia ini bisa kacau?”

Kulit muka A Fei tampak berkerut-kerut, ucapnya kemudian, “Selamanya aku tidak menipu orang, juga selamanya tidak bisa tertipu!”

Dian Jit menarik muka, “Lantas, cara bagaimana akan kau buktikan orang mati ini adalah Bwe-hoa-cat?”

“Coba kau lihat mulutnya!” kata A Fei.

Kembali Dian Jit terbahak-bahak, “Untuk apa kulihat mulutnya? Memangnya mulutnya masih bisa bergerak, masih dapat bicara?”

Orang lain pun sama tertawa, tidak semuanya merasa geli, tapi bila Dian Jit tertawa segembira ini, mau tak mau mereka harus ikut tertawa.

Mendadak Lim Sian-ji memburu maju dan berseru, “Kutahu ucapannya memang benar, orang mati ini memang betul Bwe-hoa-cat.”

“Oo?” Dian Jit merasa heran. “Memangnya orang mati ini yang memberitahukannya padamu?”

“Betul, memang dia sendiri yang memberitahukan padaku!” jawab Sian-ji, dia tidak memberi kesempatan tertawa kepada orang lain dan segera menyambung. “Pada waktu Cin Tiong mati sudah dapat kulihat dia terkena semacam senjata rahasia yang berbisa sangat keji. Tapi masih dapat dimengerti apabila Cin Tiong tidak mampu menghindarkan serangan senjata rahasia semacam ini, mengapa tokoh kosen semacam Go Bun-thian juga tidak dapat mengelakkan senjata rahasia semacam ini? Sejauh itu tidak dapat kupecahkan teka-teki ini, sebab hal inilah yang merupakan rahasianya Bwe-hoa-cat.”

Sinar mata Dian Jit tampak gemerdep, “Dan sekarang teka-teki itu sudah dapat kau pecahkan?”

“Betul, rahasia Bwe-hoa-cat justru berada pada mulutnya,” tutur Sian-ji. Mendadak ia mengeluarkan sebilah pisau kecil untuk mencungkil mulut orang mati itu.

Ternyata pada mulut orang mati ini tergigit sebatang pipa baja bercat hitam.

Lalu Sian-ji berkata lagi, “Lantaran pada waktu dia bicara dengan orang lain, mendadak senjata rahasia menyambar keluar dari mulutnya, maka orang lain sama sekali tidak mengetahuinya dan juga tidak mampu mengelak.”

“Jika mulutnya menggigit pipa baja pembidik senjata rahasia, lalu cara bagaimana dia bicara dengan orang lain?” ujar Dian Jit.

“Justru di sinilah letak rahasia di dalam rahasianya,” kata Sian-ji. Dia mengerling, lalu menyambung dengan perlahan, “Soalnya dia tidak bicara dengan mulut, tapi bicara dengan perut. Mulutnya hanya digunakan untuk membunuh orang!”

Uraian Sian-ji ini meski kedengarannya sangat lucu dari tidak masuk di akal, namun jago Kangouw kawakan semacam Dian Jit malah tidak merasa geli sedikit pun. Sebab jago Kangouw kawakan sama tahu di dunia ini memang ada semacam ilmu ajaib yang disebut “bicara dengan perut”.

Konon ilmu “bicara dengan perut” ini berasal dari negeri sekitar Persi dan India, biasanya dimainkan oleh tukang sulap dan pemain akrobat pengembara, suara yang timbul dari dalam perut tanpa menggerakkan bibir itu kedengarannya rada lucu, tapi bila dikendalikan dengan tenaga dalam oleh tokoh dunia persilatan, maka suara yang keluar dengan sendirinya akan jauh berbeda.

“Coba jawab,” kata Sian-ji pula, “pada waktu Dian-jitya hendak bertempur dengan orang, ke bagian mana Dian-Jitya akan memandangnya?”

“Dengan sendirinya memandangi tubuh pihak lawan,” jawab Dian Jit.

“Bagian tubuh yang mana?” tanya pula Sian-ji.

“Pundaknya, dan bagian tangannya!”

“Itulah dia,” kata Sian-ji dengan tertawa. “Pertarungan di antara jago kelas tinggi, siapa pun takkan menatap mulut lawan. Hanya perkelahian antara dua ekor anjing saja yang akan saling memelototi mulut pihak lawan. Sebab manusia bukan anjing, manusia tidak berkelahi dengan menggigit seperti anjing.”

Para hadirin ikut tertawa lagi. Apa yang dikatakan perempuan cantik seperti Lim Sian-ji, jika mereka tidak merasa geli, kan menunjukkan diri mereka terlalu picik.

Siapa tahu Lim Sian-ji lantas menarik muka malah dan berkata pula dengan menyesal, “Tetapi Bwe-hoa-cat ini justru membunuh orang dengan menggunakan mulutnya, hanya lantaran tidak ada yang menyangka di dunia bisa terjadi hal demikian maka dengan mudah dapat diperdayai olehnya. Semakin kosen lawannya, semakin mudah pula teperdaya. Sebab kalau dua jago kelas tinggi berhadapan, tidak nanti matanya akan memandang bagian pundak ke atas pihak lawan.”

“Dari mana kau tahu rahasia ini?” tanya Dian Jit.

“Kuketahui rahasianya setelah dia membidikkan senjata rahasianya ….”

“Jika begitu, apakah sahabat muda ini memang seekor anjing yang selalu mengawasi mulutnya?” tanya Dian Jit dengan sinis.

Sian-ji tersenyum, “Barangkali Dian-jitya belum lagi mengetahui dia memakai baju kutang Kim-si-kah?”

Terbeliak mata Dian Jit, “Aha, betul, pantaslah pukulan Kongsun-heng tadi bukannya merobohkan lawan, sebaliknya tangan sendiri yang kesakitan malah.”

“Hari ini mestinya aku tidak mau pergi ke paviliun Leng-hiang-siau-tiok, tapi setelah malam tiba, mendadak teringat ada sesuatu barang yang tertinggal di sana, sama sekali tak kuduga setiba di sana segera juga Bwe-hoa-cat lantas muncul.”

Sambil bicara, wajahnya yang cantik itu tampak menampilkan rasa takut, sambungnya lagi, “Bicara sesungguhnya, waktu itu tidak kulihat dia, hanya kurasakan seorang mendadak berada di belakangku, belum sempat kubalik tubuh, tahu-tahu Hiat-to kelumpuhanku sudah tertutuk olehnya.”

“Jika demikian, Ginkang orang ini jelas sangat hebat!” ujar Dian Jit.

Sian-ji menghela napas gegetun, “Gerak tubuhnya sungguh tidak ada ubahnya seperti hantu, dengan begitu saja aku lantas terkempit olehnya dan dibawa kabur. Waktu itu juga sudah kuduga dia pastilah Bwe-hoa-cat, maka lantas kutanyai dia, ‘Hendak kau apakan diriku? Mengapa tidak kau bunuh diriku?'”

“Bagaimana jawabnya?” tanya Dian Jit.

Sian-ji menggigit bibir, “Dia tidak bicara apa-apa, hanya tertawa seram.”

Gemerdep sinar mata Dian Jit, “Oo, kiranya dia tidak memberitahukan padamu bahwa dialah Bwe-hoa-cat?”

“Dia tidak perlu memberitahukan padaku. Yang kupikirkan waktu itu hanya lekas mati saja, tetapi sekujur badanku justru tidak bertenaga. Pada saat itulah tiba-tiba terlihat bayangan orang berkelebat dan seorang muncul di depan kami.”

“Yang muncul ini tentulah sahabat muda ini?” Dian Jit menegas.

“Betul, memang dia,” Sian-ji melirik A Fei sekejap, sorot matanya penuh rasa terima kasih. “Kedatangannya sungguh teramat cepat, agaknya Bwe-hoa-cat itu juga terkejut, segera dia melemparkan diriku ke tanah, lalu kudengar dia menegurnya, ‘Apakah kau ini Bwe-hoa-cat?’ dan dijawab oleh Bwe-hoa-cat, ‘Jika betul mau apa? Kalau bukan lantas bagaimana? Apa pun kau adalah orang yang dekat ajal ….’

“Belum habis ucapannya, sekonyong-konyong kulihat secomot cahaya hitam menyambar keluar dari mulutnya. Aku terkejut dan juga takut, kulihat cahaya gilap itu sama mengenai tubuh … tubuh Kongcu ini, kusangka dia pasti juga akan binasa di tangan Bwe-hoa-cat serupa korban yang lain, siapa tahu dia tidak bergerak sedikit pun, dia masih tetap berdiri dengan tegak.

“Menyusul lantas terlihat sinar pedang berkelebat, kontan Bwe-hoa-cat lantas roboh. Betapa cepat gerak pedangnya sungguh tak dapat kulukiskan.”

Bicara sampai di sini, tanpa terasa semua orang terbelalak memandangi pedang “mainan” yang tergantung di pinggang A Fei, siapa pun tidak percaya pedang rongsokan itu dapat digunakan untuk membunuh, bahkan yang dibunuh ialah Bwe-hoa-cat!

Sambil menggendong tangan di belakang punggungnya Dian Jit juga sedang mengamat-amati pedang A Fei, tiba-tiba terunjuk senyum lagi pada ujung mulutnya, katanya, “Wah, tampaknya jauh sebelumnya sahabat muda ini sudah menunggunya di sana?”

“Betul,” jawab A Fei.

“Dan begitu Anda melihat mereka, segera kau lompat keluar untuk mencegatnya serta menegur dia apakah Bwe-hoa-cat atau bukan?”

“Betul,” kata A Fei.

“Apakah Anda selalu menunggu dalam kegelapan, dan begitu melihat orang pejalan malam lantas kau tegur apakah dia Bwe-hoa-cat bukan?” tanya Dian Jit pula dengan tersenyum.

“Mana aku mempunyai tempo sebanyak itu untuk menunggu?” ujar A Fei.

“Jika kebetulan Anda ada tempo, kebetulan pula memergoki orang pejalan malam, lalu cara bagaimana akan kau tanyai dia?”

“Untuk apa kutanya dia? Memangnya apa sangkut pautnya denganku?”

“Aha, tepatlah kalau begitu,” seru Dian Jit sambil berkeplok. “Jika Anda ingin menegur, tentu akan kau tanya siapa dia. Misalnya tadi Anda menegur Kongsun Mo-in juga cuma bertanya, ‘Siapa kau?’ dan tidak bertanya, ‘Apakah kau ini Bwe-hoa-cat?’ ….”

“Kan sudah jelas diketahui dia bukan Bwe-hoa-cat, untuk apa kutanya dia?” ujar A Fei.

Mendadak Dian Jit menarik muka, katanya sambil menuding orang mati di lantai itu, “Jika demikian, mengapa kau tanya orang ini? Apakah sebelumnya sudah kau ketahui dia inilah Bwe-hoa-cat? Dan kalau Anda sudah tahu dia ini Bwe-hoa-cat, untuk apa pula bertanya?”

“Sebab ada orang memberitahukan padaku bahwa dalam dua hari ini Bwe-hoa-cat pasti akan muncul di sekitar sini.”

“Siapa yang memberitahukan padamu?” tanya Dian Jit sambil melirik Li Sun-hoan. “Apakah Bwe-hoa-cat sendiri? Atau teman si Bwe-hoa-cat?”

Padahal dia tahu A Fei pasti takkan menjawab pertanyaannya ini, tapi baginya asalkan mengajukan pertanyaan itu sudah tercapailah tujuannya dan sesungguhnya tidak memerlukan jawaban.

Sedangkan pandangan semua orang lantas terarah kepada A Fei dan Li Sun-hoan lantaran pertanyaan Dian Jit itu, mereka menganggap apa yang dilakukan A Fei itu hanya persekongkolannya dengan Li Sun-hoan belaka, apa pun penjelasan A Fei tak ada lagi yang mau percaya bahwa mayat yang dibawanya itulah Bwe-hoa-cat.

Merasa mendapat angin, Dian Jit terus mendekati salah seorang hadirin, seorang pemuda berbaju perlente dan bertanya, “Kau Bwe-hoa-cat bukan?”

Keruan pemuda itu terkejut, jawabnya dengan gelagapan, “Mana … mana bisa ….”

Belum lanjut ucapannya, mendadak Dian Jit menutuk Hiat-to kelumpuhannya, lalu bergumam, “Nah, kembali ada seorang Bwe-hoa-cat dapat kutangkap!”

Kemudian ia berpaling dan berseru kepada para hadirin, “Lihatlah, apakah hadirin percaya Bwe-hoa-cat dapat kutangkap dengan semudah ini?”

Maka ramailah gelak tertawa orang banyak, sebagian di antara mereka lantas saling tegur, “Hai, kau Bwe-hoa-cat bukan? ….”

“Kukira engkau sendirilah Bwe-hoa-cat!”

“Wah, tampaknya makin lama Bwe-hoa-cat di sini bertambah banyak!”

“Ya, jika cara menangkap Bwe-hoa-cat sedemikian gampang, biarlah aku pun akan menangkap satu untuk main-main.”

Begitulah ejekan dan sindiran terdengar di sana-sini.

Muka A Fei tampak masam, tangan sudah meraba tangkai pedangnya.

Tiba-tiba Sun-hoan berkata kepadanya, “Lebih baik kau pergi saja, saudaraku!”

“Pergi?” sinar mata A Fei gemerdep.

“Jika di sini sudah ada Dian-jitya dan pendekar besar semacam Tio-toaya kita ini, mana mungkin Bwe-hoa-cat akan terbunuh oleh seorang anak muda hijau pelonco seperti dirimu ini? Apa pun yang kau katakan tetap tidak ada gunanya,” ujar Sun-hoan dengan tersenyum.

Dengan tangan memegang tangkai pedang A Fei berkata, “Aku pun tidak ingin bicara lagi dengan orang-orang macam begini, namun pedangku ….”

“Biarpun kau bunuh mereka juga tidak berguna,” kata Sun-hoan, “tetap tidak ada orang yang mau mengakui engkau yang membunuh Bwe-hoa-cat, masa hal ini tidak kau ketahui?”

Sorot mata A Fei mulai berubah menjadi guram, ucapnya perlahan, “Ya, kutahu, kupaham ….”

Sun-hoan tertawa, “Makanya jika kau ingin mendapat nama, kau harus mengerti dulu hal ini, kalau tidak, tentu akan serupa diriku, cepat atau lambat akan berubah menjadi Bwe-hoa-cat.”

“Maksudmu, jika aku ingin mendapat nama, lebih dulu aku harus penurut, begitu?

“Tepat sekali,” kata Sun-hoan dengan tertawa. “Asalkan segala urusan yang dapat menonjolkan nama kau serahkan kepada para pendekar besar kita, maka para pendekar besar ini akan menganggap dirimu ini anak muda yang polos, berbakat, dan akan diberi giliran kepadamu untuk menonjol ke atas.”

A Fei terdiam sejenak, tiba-tiba ia tertawa. Tertawa cerah, tapi juga kelihatan hampa.

“Wah, jika begitu, mungkin selamanya aku takkan menonjol,” katanya dengan tersenyum.

“Itu pun tidak buruk,” ujar Sun-hoan.

Melihat senyum A Fei, tertawa Sun-hoan juga bertambah cerah, seperti tertawa geli atas peristiwa yang paling lucu di dunia ini.

Selagi semua orang terheran-heran dan menyangka kedua orang ini mungkin kurang waras, sekonyong-konyong A Fei mendekati Li Sun-hoan dan menarik tangannya sambil berkata, “Ah, peduli namaku akan menonjol atau tidak, yang penting mumpung kita dapat berkumpul sekarang, marilah kita pergi minum arak.”

“Hah untuk minum arak, selamanya aku tidak pernah menolak,” kata Sun-hoan dengan tertawa, “Cuma hari ini ….”

“Hari ini mungkin dia tidak dapat mengiringi kehendakmu,” tukas Dian Jit dengan tersenyum.

“Siapa bilang?” jengek A Fei dengan menarik muka.

Dian Jit tersenyum, ia memberi tanda, serentak dua lelaki menerjang masuk, seorang bergodek dan membawa golok, teriaknya, “Dian-jitya yang bilang! Apa yang dikatakan Dian-jitya, itulah perintah!”

Yang seorang lagi berperawakan tinggi kurus, ia pun membentak, “Dan barang siapa berani membangkang terhadap perintah Dian-jitya, baginya hanya ada mati!”

Kedua orang ini semula berdiri dengan tegak di luar pintu ruangan serupa kaum budak, tapi sekarang gerak-geriknya ternyata sangat tangkas, jelas tergolong jago kelas satu di dunia Kangouw.

Di tengah bentakan mereka, dua golok segera menyambar dari kanan dan kiri dengan membawa deru angin tajam, secepat kilat mereka membacok A Fei.

Namun A Fei hanya menatap mereka dengan dingin, seperti tidak menghiraukan serangan mereka. Tapi mendadak sinar perak berkelebat dua kali, menyusul lantas terdengar dua kali jeritan ngeri, kedua golok terlepas dari pegangan dan mencelat ke atas dan “crat”, semuanya menancap di belandar.

Kedua lelaki itu sama memegangi pergelangan tangan kanan sendiri dengan kesakitan, sampai sekian lama barulah darah merembes dari celah-celah jari dan menetes.

Waktu semua orang memandang pedang si A Fei, ternyata senjata itu masih tergantung di pinggang, siapa pun tidak melihat jelas pedang itu pernah dilolosnya atau tidak, cuma kelihatan pada ujung pedangnya melengket setitik darah segar.

Sungguh pedang yang cepat, pedang kilat!

Seketika senyuman Dian Jit juga membeku sehingga lebih tepat dikatakan menyengir.

“Jika ucapan Dian-jitya adalah perintah, maka pedangku justru tidak mau tunduk kepada perintah siapa pun, dia hanya bisa membunuh orang!” kata A Fei dengan hambar.

Waktu kedua lelaki itu menyurut mundur dan mengendurkan tangan kiri, tertampak pada pergelangan tangan kanan ada setitik bekas luka, tidak miring dan tidak serong, luka itu tepat berada di tengah kedua urat besar, jika ujung pedang miring ke samping sedikit, urat nadi mereka pasti sudah putus dan tangan mereka pun cacat selamanya.

Sungguh serangan A Fei bukan saja sangat cepat, juga jitu tempatnya.

Tanpa terasa air muka kedua orang itu menampilkan rasa ngeri, kembali mereka menyurut mundur beberapa langkah, mendadak mereka berebut lari lebih dulu. Meski pedang tak bisa bicara, tapi ternyata jauh lebih menakutkan daripada perintah siapa pun.

Kembali A Fei menarik tangan Sun-hoan, katanya, “Mari pergi minum arak, aku tidak percaya ada orang berani lagi merintangi kita.”

Belum lagi Sun-hoan menjawab, mendadak Liong Siau-hun berteriak, “Kau ajak dia pergi, mengapa tidak kau buka Hiat-to kelumpuhannya yang tertutuk?”

Kulit daging ujung mulut A Fei tampak berkedut, sekejap itu hati Sun-hoan juga berdetak, tiba-tiba teringat olehnya kejadian tempo hari ….

Waktu itu A Fei telah menawan Ang Han-bin baginya dan ditinggalkan di dapur Sun Gwe, Ang Han-bin tidak ditutuk olehnya melainkan cuma diringkus dengan tali dan diikat di atas kursi.

Tatkala mana Sun-hoan sudah merasa heran mengapa A Fei tidak menutuk Hiat-to tawanannya? Kini barulah ia tahu duduknya perkara.

Rupanya pemuda yang dapat memainkan pedangnya secepat kilat ini tidak mahir Tiam-hiat atau ilmu menutuk Hiat-to manusia.

Mendelu hati Sun-hoan, namun air mukanya tidak memperlihatkan sesuatu tanda, ia cuma menjawab dengan tersenyum, “Hari ini aku tidak sanggup mentraktir kau minum arak.”

A Fei terdiam sejenak, ucapnya kemudian sekata demi sekata, “Aku yang mentraktir engkau!”

“Tidak, bukan arak yang kubeli sendiri tidak mau kuminum,” kata Sun-hoan.

A Fei memandangnya lekat-lekat, sorot matanya yang dingin tiba-tiba menampilkan secercah rasa pedih. Nyata ia pun tahu Li Sun-hoan sengaja tidak menghendaki dia menyerempet bahaya.

Maklumlah, berhubung dia tidak sanggup membuka Hiat-to Sun-hoan yang tertutuk, untuk mengajaknya pergi terpaksa ia harus menggendongnya, dan jika dia menggendong Li Sun-hoan, dengan tambahan beban ini belum pasti dia mampu menerjang ke luar.

Gemerdep sinar mata Dian Jit, dia sedang mencari apa kiranya yang akan dilakukan orang, tiba-tiba ia tersenyum dan berkata, “Li Sun-hoan adalah seorang lelaki sejati tidak nanti dia membikin susah orang lain, maka saudara cilik ini lebih baik pergi sendiri saja.”

Sun-hoan tahu rase tua ini sudah dapat melihat titik lemah A Fei, cepat ia menimpali dengan tersenyum. “Tidak perlu kau pancing dia, tidak nanti dia terjebak olehmu. Apalagi biarpun dia menggendong diriku juga belum tentu kalian mampu melawannya.”

Sebelum orang lain buka suara, segera ia menyambung pula, “Apalagi, kalian juga tahu betapa pun aku takkan pergi. Jika kupergi sekarang, bukankah para pendekar besar seperti kalian ini akan tambah bukti bahwa aku ini memang Bwe-hoa-cat?”

03/11/2007

Pendekar Budiman: Bagian 05

Filed under: Gu Long, Pendekar Budiman — Tags: — ceritasilat @ 10:34 pm

Pendekar Budiman: Bagian 05
Oleh Gu Long

“Hm, jika kalian kalah, kau bilang terjebak, bila kukalah, tentulah karena kepandaianku terlalu rendah, logikamu ini sudah kuketahui, tidak perlu kau jelaskan lagi,” jengek si berewok.

Dengan gusar Tio Cing-ngo membentak, “Orang she Thi, mengingat kegagahanmu maka sengaja kulindungimu, janganlah tidak tahu diri.”
(more…)

Older Posts »

Blog at WordPress.com.