Kumpulan Cerita Silat

01/11/2007

Pahlawan Padang Rumput: Bagian 02

Filed under: Liang Yu Sheng, Pahlawan Padang Rumput — Tags: — ceritasilat @ 10:59 pm

Pahlawan Padang Rumput: Bagian 02
Oleh Liang Yu Sheng

Ketika pertempuran tengah berlangsung dengan sengit dan tegang, tiba-tiba pasir berterbangan di seluru penjuru gurun, berbareng itu terdengar teriakan orang, “Angin ribut datang!”

Nyo Hun-cong terkejut, Nikulo dan Coh Ciau-lam sementara itu sudah menarik kembali senjata mereka dan meompat keluar dari kalangan pertempuran.

Dalam sekejap saja angin ribut menderu-deru tiba bagai mengiris tanah, gurun pasir yang luas ini terlihat seperti kabut pasir, laksana beratur-ratus layer kuning tebal menutup angkasa. Hari yang tadinya terang benderang kini menjadi kelam gelap, di tengah kabut pasir yang remang-remang itu kelihatan bayangan orang saling berlari tunggang langgang berebut unta dan mncari tenda atau tempat yang dapat dibuat menyelamatkan diri.

“Asta ! Mokhidi! Kalian berada dimana ?” Nyo Hun-cong berseru memanggil kawannya, akan tetapi, dalam gemuruh angin ribut yang menderu itu suaranya bagaikan sampan yang tenggelam di tengah samudra, mana ada suara sahutan orang.

Sementara itu Nyo Hun-cong merasa punggungnya seperti tertimpa batu kerikil yang keras, ia menjadi sangat terkejut, ia mengetahi pula bahwa apabila gundukan atau bukit-bukit pasir sampai terangkat oleh angin puyuh, biarpun orang yang berilmu silat setinggi langit juga dapat terpendam hidup-hidup.

Dalam keadaan segenting itu ia mencoba menyelamatkan diri, segera ia angkat kaki dan berlari secepat mungkin, walaupun sudah beberapa tahun ia berada didaerah Sin-kiang, namun ia belum pernah mengalami kehidupan di gurun pasir.

Sebenarnya bilamana menghadapi angin ribut yang sangat hebat, paling baik adalah menggali kubur di dalam pasir untuk menyembunyikan diri, jika kebetulan gundukan pasir yang terbawa angin justru menimpa di atasnya tentu saja akan mati terpendam hidup-hidup, Cuma kalau terjadi secara kebetulan, batu-batu kerikil yang berhamburan lewat diatasnya tentu juga tidak akan melukainya, andaikan teruruk pasir yang tidak terlalu tebal, setelah angin ribut berhenti tentu dapat juga menerobos keluar.

Akan tetapi Nyo Hun-cong tidak mempunyai pengalaman dalam hal melawan serangan badai ini, ia hanya bisa mencoba berlari secepat mungkin, ilmu mengentengkan badannya betapapun sempurna juga tidak dapat menandingi cepatnya angin.

Setelah ia berlari sekian lamanya toh masih tetap saja di bawah ancaman angin yang belum mau mereda itu, bajunya sudah banyak yang robek karena tajamnya kerikil yang menimpa seperti mengiris, pandangannya mulai kabur, ingatannya perlahan-lahan mulai tidak sadar.

Dalam keadaan setengah sadar ini, mendadak ia seperti mendengar suara menggerujuknya air, semangat Nyo Hun-cong segera bangkit. “Apakah ini bukan air telaga yang jarang terdapat di gurun pasir ?” begitu terpikir dalam hatinya, segera iapun berlari sekuat tenaga menuju ke arah datangnya suara air itu.

Namun malang baginya, angin semakin deras dan seperti membanjir dan bercampur dengan kerikil, bahkan ada beberapa potong batu besar yang hatuh persis menimpa diri Hun-cong, sementara itu, tenaga Hun-cong mulai habis, ia sudah terlampau payah, kepala terasa seperti hendak pecah.

“Matilah aku!” akhirnya Nyo Hun-cong menjerit, dengan sisa tenaganya ia meloncat sejauh mungkin, menyusul terasa olehnya seperti jatuh ke tempat yang empuk dan lunak, kemudian dia tidak sadarkan diri.

Entah sudah lewat berapa lama, perlahan Nyo Hun-cong mendusin, begitu ingatannya pulih kembali, segera pula ia mencium bau wangi yang menusuk hidung.

Ia coba membuka matanya, ternyata dirinya sudah berada di dalam sebuah perkemahan, disekitar kemah dihiasi bunga-bunga yang indah, di tengah kemah duduk seorang perempuan muda berpakaian seperti pemburu, dengan membelakanginya sedang membaca kitab.

Sesaat Nyo Hun-cong sangsi akan penglihatannya sendiri apakan ini alam nyata dan keadaan yang sebenarnya, apakah ini bukan dalam impian atau khayalan, karena pikiran ini hampir saja ia bersuara, akan tetapi segera diurungkan, oa sudah berpengalaman dalam perjuangan, dalam segala hal ia bisa berlaku hati-hati, ia pejamkan kembali matanya dan pura-pura belum sadar untuk menyelidiki apa yang bakal terjadi.

Perempuan muda itu belum tahu kalau Nyo Hun-cong sudah sadar, ia masih asyik membaca kitabnya dengan suara yang lirih. Hun-cong coba mendengarkan dan ingin tahu kitab apa yang sedang dibacanya, ternyata sebuah syair kuno karya seorang penyari ternama.

Nyo Hun-cong adalah keturunan kaum terpelajar, sejak kecil dia sudah memahami kesusastraan. Waktu belajar ilmu silat di Thian-san ia pun tidak pernah menelantarkannya, maka begitu mendengar syair orang segera ia tahu itu adalah syair hasil karangan penyair kuno Thio Jan-jung dijaman dinasti Song.

Pikirnya, seorang perempuan muda berada di tempat yang luas dan sunyi senyap ini tentu karena merasa sangat kesepian, maka sengaja melewatkan waktu senggangnya dengan bersyair.

Tengah ia termenung, dari luar kemah kembali masuk seorang perempuan muda dan bertanya kepada perempuan yang berpakaian pemburu itu, “Siocia (Tuan Putri), apakah orang itu sudah mendusin ? Apakah Siocia ada sesuatu pesan ?”

“Mungkin belum sadar”, jawab perempuan tadi sambil menutup kitabnya, lalu berpaling kearah Nyo Hun-cong. “Coba kau periksa dia, apakah dia berkeringat, jika bajunya basah boleh kau ganti.”

“Siocia, kau selalu meladeni lelaki berbau busuk ini, sungguh hamba tidak ingin melakukannya,” sahut perempuan yang baru masuk itu.

Perempuan yang baru masuk ini tentunya adalah pelayan dan perempuan yang mengenakan pakaian pemburu pasti adalah Siocia atau putri kaum hartawan atau pembesar negeri atau bisa juga anak gadis kepala suku di daerah sini, demikian pikir Nyo Hun-cong.

“Eh, mulai kapan kau belajar berlagak model putri bangsa Han ?” terdengar perempuan tadi mengomel pada pelayannya. “Kita perempuan bangsa Boan selamanya tidak mengenal adat larangan hubungan laki-perempuan, jangan kaukira, aku suka membaca kitab karangan bangsa Han, tetapi untuk adat-istiadat mereka yang terlalu mengikat, aku tidak suka, lagipula apa kau sudah mencium bau badannya ? Darimana kautahu dia lelaki berbau busuk?” begitu perempuan tadi melanjutkan omelannya.

“Cara Siocia berbicara semakin lama semakin lihai,” jawab pelayan itu sambil tertawa dan menutup mulutnya, “Masa sioca selalu mengguyoni diri hamba yang rendah ini, memang dia sedikitpun tidak berbau busuk, malahan dia terhitung lelaki yang cakap,” si pelayan balas menggoda.

“Jangan sembarangan mengoceh, ” bentak perempuan berpakaian pemburu tadi, “Aku tertarik karena melihatnya membawa pedang pusaka, tentunya bukan sembarang orang, kau tahu apa ?”

“Ya Hamba memang tidak mengerti apa-apa, yang hamba tahu adalah Siocia yang belum memiliki kekasih,” jawab si pelayan itu.

Perempuan tadi tertawa karena godaan si pelayan. “Huss, jangan banyak omong yang tidak keruan lagi, lihat saja kalau nanti tidak kurobek mulutmu,” omelnya pula.

Pelayan itu lantas mendekati Nyo Hun-cong dan perempuan yang dipanggil Siocia tadi mengikutinya dengan pandangan tajam. Nyo Hun-cong membuka sedikit matanya dan mencoba mengintip, ia lihat perempuan tadi ternyata cantik molek, pelayan itupun mempunyai air muka yang tidak bisa dibilang jelek.

“Siocia, dia sudah sadar dan diam-diam sedang mengintipmu,” kata pelayan itu epada Siocianya sambil tertawa dan bertepuk tangan.

Perempuan cantik itu tersenyum sambil mendekati Nyo Hun-cong. Rahasia mengintip telah dibongkar oleh sang pelayan tadi, terpaksa Nyo Hun-cong membuka matanya lebar-lebar dan mencoba membungkukkan badan hendak bangun, akan tetapi diluar dugaannya, baru saja ia bergerak sedikit segera seluruh badannya terasa sakit tidak kepalang sampai merasuk tulang sumsum.

Bari ia sadar sekarang, behwa setelah mengalami serangan badai ia telah terluka parah. Ia mencoba mengatur pernafasan dan tidak berani sembarangan bergerak lagi.

“Kau pulas sehari semalam, bagaimana, sangat tidak enak bukan ?” tanya perempuan tadi kepada Hun-cong.

“Banyak terima kasih atas pertolongan Siocia,” kata Nyo Hun-cong dengan suara agak rendah, kemudian tanyanya, “Numpang tanya tempat apakah ini dan Siocia adalah orang dari mana ?”

“Tempat ini adalah Cia-hui-tai, kira-kira empat ratus li dari kota Ili,” jawab perempuan molek itu. “Tidak perlu kau urus siapa aku, lebih baik kau mengaso dulu disini, Dan kau sendiri,? Darimanakah kau ini , mengapa seorang diri berlari kian kemari di gurun yang luas ini ?”

Nyo Hun-cong menjadi sangat terkejut mendengar penuturan perempuan tadi. Dari utara Sinkiang, ia memasuki Gurun Gobi, tujuannya hendak melintasi gurun itu menuju selatan, tidak terduga malah sampai di sebelah barat. Dari sini dekat dengan kota Ili, sedangkan kota Ili adalah pusat markas tentara Boan-jing, rasanya tidak boleh tidak harus lebih berhati-hati.

Pelayan itu melihat Nyo Hun-cong termenung-menung dan tidak menjawab, ia lantas buka suara lagi, “Hai, kawan, mengapa kau hanya memandang Siocia kami saja, apakah kau tahu siapa gerangan beliau ? Kau bisa kaget kalau aku menerangkannya, beliau ini adalah -. ”

“Jangan banyak mulut, ” belum habis si pelayan bertutur, perempuan molek tadi sudah lantas memotong dengan membentak, lalu ia memperkenalkan diri, “Aku bernama Ming-hui, beberapa hari yang lalu aku datang kesini untuk berburu, tapi baru memasuki gurun, di luar dugaan lantas di terjang angin badai yang hebat, beruntung disini ada puncak bukit yang cukup tinggi yang dapat mengalangi serangan angin, kebetulan pula peralatan dan kemah kami cukup kuat, maka barulah kami terhindar dari bahaya.”

“Ya, kemarin dulu waktu senja, angin sudah mulai reda, kami mengambil air ditelaga “Pu-yan” , sambung pula si pelayan tadi. “Mendadak andin ribut datang kembali, kami lihat kau berlari dengan kencang sekali laksana sedang berlomba dengan angin pasir, ketika mendekati tepian telaga kau masih belum sadar, kami hanya melihat kau seperti kambing yang ketakutan ketemu harimau, sekonyong-konyong kau meloncat dan amblas ke dalam tanah rawa yang kotor di tepi telaga, segera Siocia menyuruh kami menyeret keluar kau, seluruh badanmu sudah penuh dengan lumpur, kami menyuruh sais kereta mencuci dan menyikat badanmu selama lebih dari setengah jam, tetapi kau seperti orang mampus saja dan tidak merasakan apa-apa.”

Mendengar cerita orang, Nyo Hun-cong menjadi sangat berterima kasih dan juga bercampur malu.

Tiba-tiba timbul pikiran Nyo Hun-cong, “Gadis bernama Ming-hui yang tidak mau menerangkan asal usulnya ini, kalau dilihat dari tingkah lakunya, ada pelayan dan juga membawa sais kereta serta pengiring yang banyak untuk berburu kesini, niscaya dia ukan anak gadis dari keluarga biasa.”

Sebenarnya orang dari kalangan manakah dia ini, bagaimanapun juga Nyo Hun-cong tidak dapat menerka dengan pasti.

“Kami sudah bercerita padamu, ” kata pelayan tadi, “Tetapi kau belum agi menjawab pertanyaan Siocia kami.”

“Sebenarnya kudatang dari utara bersama serombongan kawan, dengan unta dan kuda, setelah menempuh perjalanan selama belasan hari, ditengah jalan ketemu angin ribut, aku sendiri berhasil menerobos bahaya dan lari kesini, tentunya hal ini tidak mengherankan!” jawab Nyo Hun-cong mencoba menerangkan.

“Justru inilah yang mengherankan, dari utara kau telah berjalan belasan hari, tentunya sudah sampai di tengah-tengah gurun, sedang dari tengah gurun sampai kesini sedikitnya ada lima atau enam ratus li, agaknya kepandaianmu berlari sungguh boleh dibuat berpacu dengan kijang yang paling cepat,” kata pelayan itu pula dengan heran sambil tertawa.

Ming-hui Siocia tersenyum mendengar pembicaraan pelayannya itu, ia lolos keluar sebuah pedang pendek yang gemerdep menyilaukan dari bawah lengan bajunya.

“Tak perlu kau gubris anak kecil yang tidak punya pengetahuan ini,” katanya pada Nyo Hun-cong, “Bahwa kau memiliki pedang pusaka semacam ini, untuk berlari beberapa ratus li juga bukan soal yang sulit, sudah kuduga ilmu silatmu tentu sangat hebat, tunggu nanti sesudah kekuatanmu pulih kembali, maukah kau ajarkan beberapa jurus padaku ?”

“Betul, ” sambung si pelayan, “Siocia kami paling suka belajar ilmu silat, banyak kauw-thau (guru silat) tidak bisa menandinginya.”

Nyo Hun-cong berkerut alis mendengar kata kauw-thau atau guru silat yang dikatakan pelayan itu.

Sementar itu, dari luar kemah telah masuk pula dua pelayan dengan membawa sepanci susu kuda, Nyo Hun-cong memang sudah merasa lapar, maka tanpa sungkan lagi lantas diminumnya susu kuda itu.

“Kau baru saja sadar, akan lebih baik jangan banyak bercakap-cakap dulu, ” kata Ming-hui Siocia pada Nyo Hun-cong. “Mengasolah dia hari lagi, sesudah sembuh akan kutemani kau pergi.”

Begitulah selama dua hari itu Ming-hui Siocia dan pelayan cilik itu terus mendampingi Hun-cong dan mengajaknya berbincang-bincang untuk menghilangkan waktu yang luang ternyata Ming-hui selain paham ilmu silat juga mengerti kesusastraan.

Ia dan Nyo Hun-cong dapat bercengkrama dengan sangat asyik, hanya kalau bicara mengenai asal usul masing-masing, mereka lantas coba menyimpangkan pokok pembicaraan.

Hari ketiga Hun-cong sudah dapat bergera seperti sediakala, Ming-hui lantas mengajaknya berjalan-jalan keluar perkemahan.

Dekat perkemahan itu Hun-cong melihat memang benar terdapat satu telaga, bayangan bukit yang tersorot sinar matahari di dasar telaga membuat pemandangan aman dan elok, sedikitpun tidak ada tanda-tanda telah terjadi angin ribut.

Di tengah telaga sekelompok bebek liar sedang berenang kian kemari dengan tenang dan kadang-kadang mengeluarkan suara yang menarik.

Beberapa rombongan domba bagaikan gumpalan awan putih sedang makan rumput di padang yang luas dan di tepi telaga terdapat lebih dari dua puluh pasang muda-mudi yang berdandan sebagai pemburu sedang menyanyikan lagu gembala dengan mengayun-ayunkan cumbuk kulit yang biasa mereka bawa.

Melihat Ming-hui Siocia, mereka sama memberi hormat, manaruh perhatian juga kepada Nyo-hun-cong.

Perasaan Nyo-hun-cong agak kurang tenteram, “Apakah orang-orang itu semua pengikutmu ?” tanyanya kepada Ming-hui Siocia.

Ming-hui Siocia hanya memanggut-manggutkan kepala tanda membenarkan.

“Lihatlah!” ucapnya sengaj menyimpangkan pembicaraan orang, ” Tempat ini sungguh merupakan dataran hijau di tengah gurun pasir, di tepi sungai di dekat kota Ili pun tak terdapat pemandangan seindah sini!”

“Suasana aman tenteram disini bagaikan surga, jika tak ada peperangan, sungguh suatu tempat pemukiman yang sangat baik, ” kata Hun-cong sambil menghela nafas.

“Kau sedang memikirkan apa lagi ?” tanya Ming-hui Siocia, “Jika kau tidak menghendaki ada api peperangan, mengapa dirimu sendiri berbekal senjata dan malahan berlatih silat ?”

“Jika orang lain tidak menjalarkan api peperangan ke Sinkiang, dengan sendirinya tidak ada yang menggerakan senjata, ” jawab Hun-cong.

Mata Mung-hui yang jeli tajam sedang melihat pemandangan di sekelilingnya, mendadak ia mengalihkan pandangannya ke arah Nyo-hun-cong.

“Kau termasuk bangsa Kazak atau Uigur?” tanyanya pada Hun-cong, “kukira kau ini anggota partisan mereka.”

Air muka Nyo-hun-cong berubah seketika, kemudian sahutnya, “Kalau aku ini musuhmu misalnya, apakah kau menyesal telah menolong jiwaku ?”

Ming-hui tertawa. “Aku serupa denganmu juga tidak ingin ada peperangan, “katanya , “mungkin kau ini musuh bangsa kami, tetapi bukan musuhku!”

Tengah mereka bercakap-cakap, tiba-tiba dari bukit sana berkumandang bunyi kelenengan unta dan kuda yang riuh.

“Jika ada orang datang menanyakan dirimu, bilang saja kau adalah penggembala kesasar yang telah ditolong oleh diriku, ingatkah ?” pesan Ming-hui pada Hun-cong.

Hun-cong coba memeriksa badan sendiri, betul saka ia telah menggunakan pakaian penggembala, ia mengerti Ming-hui Siocia telah menukar pakaiannya, diam-diam dia memuji ketelitian gadis ini. Maka ia manggut-manggut.

Ming-hui mengulurkan pula pedang pendek yang tadi dipegangnya pada Hun-cong dan berkata, “Pedang ini kukembalikan padamu, kiranya takkan kau gunakan untuk bermusuhan dengan aku, bukan ?”

“Selamanya aku takkan menyelakai dirimu!” jawab Hun-cong dengan suara terharu, tapi pasti.

Sementara itu dari lereng bukit sana telah mendatangi serombongan orang yang dikepalai seorang penunggang kuda gagah dan keren.

Setelah dekat, ternyata ia adalah sorang panglima perang tentara Boan.

Hampir saja Nyo-hun-cong mengeluarkan suara jeritan keget setelah ia mengenali panglima itu.

Orang ini bukan lain daripada Ili Ciangkun atau Gubernur kota Ili yang bernama Nilan Siu-kiat, ia adalah salah seorang panglima Boan yang menyerbu dan menjajah ke Sinkiang.

Waktu Nyo-hun-cong memimpin bangsa Kazak melawan tentara Boan, ia pernah bertempur berhadapan dengan dia.

Hun-cong sengaja menundukkan kepala dan menatap ke jurusan lain.

Ia mendengar Nilam Siu-kiat memanggil, “Ming-hui, ayahmu kembali dari medan perang, ketika lewat di sini kudengar kamu sedang berburu, bagaimana dengan barang buruanmu, apa yang hendak kau berikan pada ayahmu ?”

Sekali ini kaget Nyo-hun-cong terlebih hebat lagi, sama sekali tidak disangkanya gadis yang telah menolong jiwanya itu ternyata tidak lain adalah anak perempuan Nilai Sui-kiat.

Seketika dia melenggong, ia merasa sangat kecewa dan juga hampa. Akan tetapi segera datang pula pikiran lain, dirinya masih mengemban kewajiban maha besar, masih harus memimpin kembali bangsa Kazak untuk berjuang lagi, ia tidak boleh diketahui oleh musuh, jika sampai ketahuan harus segera mencari jalan untuk melarikan diri.

Ia mencoba menggerakkan otot tulangnya, tenyata sudah pulih dan penuh tenaga, ia mengelus-elus pedangnya, perasaannya penuh dengan keberanian, semangatnya berkobar-kobar.

Sementara itu Nilan Siu-kiat telah membawa orang-orangnya menuju telaga untuk minum, sedang pengiring Ming-hui Siocia tertawa girang, mereka menari dan menyanyikan lagu-lagu kemenangan untuk menyambut tentara mereka.

Nyo-hun-cong mengertak gigi, akan tetapi segera teringat olehnya, “Apa gunanya membenci orang-orang ini, mereka hanya tertipu dan menuruti perintah saja.”

Untuk mengelabui musuh, ia pura-pura ikut menyanyi dan menari, ia mencampurkan disi diantara mereka dengan harapan dapat menghindarkan perhatian musuh.

Pada waktu inilah tiba-tiba datang dua opsir tentara Boan, mereka seperti dalam keadaan mabuk terus mendesak ke sebelah Nyo-hun-cong.

Sesampai di dekat Nyo-hun-cong, mendadak salah seorang menyentuh pundaknya dengan keras, dengan sendirinya Hun-cong mengerahkan tenaga dan menolak desakan itu, dibentur kembali secara begitu, dua opsir tadi pergopoh-gopoh terpentak beberapa meter jauhnya.

“Siapa kau ?” bentak mereka mendadak.

Ternyata kedua opsir tadi melihat Hun-cong berdandan sebagai penggembala dan berbaur diantara pengiring Ming-hui Siocia, gerak-geriknya agak ganjil dan mencurigakan, maka mereka sengaja menguji dan memancingnya.

Melihat keadaan itu, Ming-hui cepat maju ke tengah dan memisah.

“Ia adalah penggembala bangsa Uigur, kalian jangan mempersulit dia, katanya kepada kedua opsir itu.

Sementara itu pengiring Ming-hui Siocia dan anak buah Nilan Siu-kiat telah berhenti menyanyi dan menari, semua ikut memperhatikan peristiwa yang tak terduga ini.

Saat itu dengan tenang Nyo-hun-cong telah menghadapi kedua opsir Boan tadi, dengan suara nyaring ia menjawab, “Aku adalah penggembala dari Gulkan, teman-temanku terpencar akibat serangan angin puyuh beberapa hari lalu, justru yang menolong aku adalah Tuan Putri kalian.”

Ming-hui segera membenarkan perkataan itu, namun kedua opsir itu masih setengah percaya setengah tidak.

Sementara itu Nilan Siu-kiat sedang memandang Nyo-hun-cong dengan tajam, mendadak tangannya bergerak, sebuah anak panah kecil disambitkan ke arah Hun-cong, dengan sedikit mengegoskan badannya pemuda ini menghindarkan diri dari serangan itu.

“Dia mata-mata musuh, lekas tangkap!” teriak Nilan Siu-kiat.

Beberapa pengawal yang berada disampingnya segera menerjang maju dan mereka mengepung dan hendak menangkap Hun-cong.

Di medan pertempuran, antara Siu-kiat dan Nyo-hun-cong memang sudah pernah bertemu muka, kini melihat Hun-cong mengenakan pakaian penggembala, ia merasa seperti sudah pernah kenal, untuk menghilangkan keraguan-raguannya ia lantas menyerang orang dengan anak panah, ia lihat dengan gesit orang telah dapat mengehindari serangannya, segera ia sadar dan lantas memerintahkan penangkapan.

Tetapi dengan suatu gertakan Hun-cong menyambut serangan seorang pengawal, sedikit meraih terus dipuntir, kontan tulang tangan pengawal itu patah, pengawal itu berteriak sesambatan seperti babi hendak disembelih.

Hun-cong tidak memperdulikan , “peletak”, ia membantingnya ke tanah, dengan sedikit memutar badan ia pegang pula kepalan kedua yang sedang menyerang, dengan enteng saja pengawal itu ditarik, dengan satu bentakan pengawal itu terangkat tinggi dan diputarnya dengan cepat kemudian dilemparkan sejauhnya.

Terdengar suara “Plung” yang keras, tubuh pengawal yang tinggi besar itu kecemplung masuk telaga , air telaga muncrat berhamburan.

Nilai Siu-kiat terkesima seketika dan rada keder.

Di saat lain kawanan pengawal dan serdadu Boan, telah sama maju menerjang.

Nyo-hun-cong cukup cerdik, melihat gelagat jelek, pedangnya segera di lolos, dengan satu lompatan dia merangsek ke arah Nilai Siu-kiat, karena itu beberapa opsir didekatnya segera datang menghadang, tapi dengan beberapa tendangan dan pukulan Hun-cong telah membuat mereka kocar-kacir, mana bisa mereka mencegahnya maju.

Sekejap saja Hun-cong sudah menubruk ke depan Nilai Siu-kiat.

Ilmu silat Nilai Siu-kiat juga tidak terlalu rendah, satu pukulan segera dikirim ke muka Hun-cong waktu pemuda itu datang mendekat dan mencoba merebut pedangnya, akan tetapi Hun-cong ternyata sangat lihai, sedikit mengegos sambil mendesak maju pedangnya berbareng menusuk lagi, tampaklah sekali ini Nilan Sui-kiat pasti sukar menghindar.

Pada saat itulah tiba-tiba terdengar suara jeritan Ming-hui Siocia, “Ayah, Ayah!”

Leave a Comment »

No comments yet.

RSS feed for comments on this post. TrackBack URI

Leave a comment

Blog at WordPress.com.