Kumpulan Cerita Silat

31/10/2007

Pahlawan Padang Rumput: Bagian 01

Filed under: Liang Yu Sheng, Pahlawan Padang Rumput — Tags: — ceritasilat @ 10:58 pm

Pahlawan Padang Rumput: Bagian 01
Oleh Liang Yu Sheng

Terdengar suara nyanyian bercampur dengan bunyi kelenengan unta berkumandang di angkasa gurun yang luas. Di gurun Taklamakan (di daerah Sinkiang) beberapa unta tengah melangkahkan kaki dengan langkah yang mantap. Seorang pemuda suku bangsa Kazak sedang melantunkan suara nyanyian yang nyaring dengan lagu pujian akan keindahan tanah airnya dengan semangka madunya yang manis.

“Hai, Asta, apa kau belum cukup akan mati dahaga ? Tenggorokanku bisa lebih kering lagi karena nyanyianmu itu, ” tiba-tiba pemuda lain menegur temannya tadi dengan tertawa, begitu suara nyanyian temannya itu berhenti.

“Ah, Nyo-taihiap, apakah kau belum cukup lama tinggal bersama kami ?” sahut pemuda duluan yang tadi dipanggil Asta, lalu dengan tertawa menyambungnya, ” Mungkin kau masih belum mengenal watak bangsa Kazak kami? Sekalipun dalam keadaan yang paling sulit pun bangsa Kazak kami senantiasa bergembira.”

“Kau benar, Asta,” tiba-tiba seorang pemuda lain lagi menyeletuk, “Tetapi lagu yang kau bawakan tadi agak kurang tepat dengan tempat ini. Lihatlah, di depan sana penuh dengan bukit pasir yang sungsang-timbul, untuk mencari sebatang rumput pun tidak gampang, namun di tempat yang mirip neraka ini kau malah bernyanyi tentang semangka madu segala, apa ini bukan sengaja hendak membikin orang mengiler saja ?”

“Mokhidi, kenapa kau begitu sembrono menamakan tempat kita ini neraka ?” sahut Asta dengan raut kurang senang. “Tidakkah kau sendiri di lahirkan dan dibesarkan di padang rumput ini, kau sudah menjelajah dan mengelilingi seluruh utara selatan Thian-san (gunung Thian di Sinkiang), tidakkah kau tahu dipadang rumput kita initidak sedikit terdapat kekayaan alam dengan pemandangan yang indah permai pula ? Dengarlah ini, biar kutunjukan padamu, bahwa sungai Merak yang airnya biru menghijau berkilauan bagaikan bulu sayap burung merak, buah-buahan duku, tho dan semangka madu yang rasanya manis, membuat orang mengiler, masih kurang apa lagi yang tidak bagus? Tentang buah-buahan dan semangka madu ini masih belum berarti, bahkan kita masih memiliki rombongan domba yang mirip gumpalan awan putih dan nona-nona gembala dengan kuncir panjangnya yang manis! Ah, sudahlah Mokhidi, pendek kata nanti kalau sudah melintasi gunung ini aku akan menemanimu pergi mencari nona penggembala yang cantik manis itu.”

“Ya, ya, Asta, tak usah kau menyerocos lagi, ” kata Mokhidi, “Jika kau bicarakan, sehari semalam juga takan habis, malahan bisa kutambahkan sekalian, bukankah kita masih punya Thay-san (gunung Altai) yang gemilapan dengan sinar emasnya bila tersorot oleh cahaya matahari dan batu-batu permata yang tak terhitung nilainya di tepian sungai Giok yang membuat air sungai menjadi berkilauan. Akan tetapi kesemuanya kini sudah hampir ludes dirampok oleh bangsa Boan.”

“Maka dari itu kita harus merebutnya kembali dari tangan musuh,” tiba-tiba pemuda bangsa Han yang dipanggil Nyo-taihiap berkata, lalu menyambungnya pula, “Hai Mokhidi dan Asta, janganlah kalian menertawakan khayalanku, akan tetapi kuyakin dengan pasti bahwa suatu hari nanti kita pasti dapat mengalirkan air salju melalui gurun luas ini. Tatkala itu tidak saja kita memiliki apa yang telah ada sekarang ini, bahkan akan bertambah banyak lagi barang-barang dan benda-benda yang baru, dan kau akan mempunyai nona gembala yang manis dengan sendirinya tak usah khawatir pula domba-dombanya akan ditelan pasir gurun, maka akan senanglah dia sehingga membikin dia tambah cantik dan manis.”

Karena penuturan kawannya ini, segera Asta melompat berjajar dengan pemuda Han itu di punggung untanya.

“O, Nyo-taihiap, hatimu yang baik sungguh beribu-ribu kali lebih berharga dari segala batu permata,” kata Asta sambil mendekap tubuh pemuda bangsa Han itu dengan mesra. “Ya, meski kau bangsa Han, tetapi kau sudah sama seperti saudara-saudara Kazak kami yang lain, bahkan melebihi mereka. Kau sudah beberapa tahun membantu kami bertempur melawan bangsa Boan, sekarang kau malah menempuh perjalanan bersama kami melintasi gurun yang luas ini, sungguh rasa hatiku ingin menciummu.”

“Hus, ” bentak pemuda yang dipanggil Nyo-taihiap ini dengan tertawa, ‘Ayolah, jangan bergurau lagi. Aku adalah kepala rombongan, aku akan memberi perintah, sekarang semua orang tidak diperkenankan banyak bicara. Hawa sekarang semakin panas, persediaan air kita kurang, kalau kita banyak tentu akan membuat kita cepat haus dan akan lenih banyak minum, itu tidak boleh terjadi.”

Karena omelan ini, Asta meleletkan lidahnya seperti anak binal, habis itu lantas melompat kembali ke atas untanya sendiri. Habis itu mereka meneruskan perjalanan.

***

Pemuda yang dipanggil Nyo-taihiap oleh bangsa Kazak ini bernama Nyo Hun-cong. Ia adalah murid pertama Hun-bing siansu di gunung Thian-san. Hui-bing Siansu ini tidak diketahui sejak kapan dating dari dataran tengah, ia menyucikan diri di gunung Thian-san dan menyakinkan ilmu pedang dengan mengumpulkan segenap inti sari dari cabang-cabang ilmu silat, ia telah menciptakan sendiri ilmu pedangnya yang mempunyari seratus empat puluh delapan jurus dan ilmu pukulan yang dapat dimainkan secara sangat hebat dan lihai.

Ayah Nyo-taihiap adalah keturunan pembesar dinasti Beng yang menyingkirkan diri ke Sinkiang untuk menghindari ancaman “bahaya kebiri”, yakni ancaman Goei Tiong-hian, orang kebiri yang diangkat menjadi perdana menteri dan membunuh semua lawannya pada jaman kaisar Beng-hi-cong, atas petunjuk orang, anaknya, Nyo Hun-cong telah diserahkannya untuk menjadi murid Hui-bing Siansu. Sejak umur delapan hingga delapan belas tahun, selama sepuluh tahun belajar. Nyo Hun-cong telah berhasil memperoleh semua pelajaran ilmu pedang Thian-san yang lihai, ilmu pedang yang diciptakan oleh gurunya itu.

Pada umur delapan belas tahun, Nyo Hun-cong telah turun gunung dan melakukan perbuatan-perbuatan yang mulia dengan membantu si lemah melawan penindasan dan menjadi kawan seperjuangan rakyat penggembala di padang rumput. Masa itu adalah kira-kira tujuh tahun setelah kaisar Sun Ti dari bangsa Boan (Manchu) menduduki Tiongkok, kedudukannya boleh dikatakan sudah teguh, maka mereka mulai memperluas daerah kekuasaannya ke barat laut, suku-suku bangsa di Sinkiang berbangkit memberikan perlawanan yang dashyat. Karena itu, Nyo Hun-cong pun lantas masuk dalam barisan di pihak kaum Kazak dan membantu melawan tentara Boan. Setelah enam tahun bertempur, karena kalah dalam jumlah tentara, maka dari pedalaman Sinkiang mereka mulai mengundurkan diri ke sebelah selatan dan terpaksa memasuki gurun Taklamakan.

Bangsa Kazak terpaksa pula membubarkan diri dan berpencar membentuk barisan partisan dalam kelompok kecil-kecil untuk melarikan diri. Dalam regi Nyo Hun-cong ini hanya terdiri dari delapan orang saja dan bersama-sama memegang empat ekor unta. Asta dan Mokhidi adalah sepasang pemuda-pemuda Kazak yang perkasa dan ikut serta salam regu ini. Pemuda ini memiliki watak yang suka ria dan berpandangan hari depan yang gembira, sekalipun dalam keadaan bahaya, mereka tetap yakin bangsa Kazak takkan mudah dikalahkan orang selamanya. Walaupun mereka suka bersenda gurau seperti tadi, namun dapat pula sekadar membantu menghilangkan rasa lelah teman-teman seperjalanannya.

Padang pasir kekuning-kuningan yang luas itu bagaikan tidak ada ujung pangkalnya, sekalipun mereka sudah berjalan selama beberapa hari belum juga menemui seorang manusiapun, bekal air yang mereka bawapun makin lama makin sedikit. Sinar matahari yang panas terik ini, unta sekalipun megap-megap merasakannya. Mendingan setelah hari mulai sore, hawa mulai berubah menjadi dingin dan silir. Nyo Hun-cong mendapatkan sebuah sungai kecil, tapi dasar air sudah kering dan pecah-pecah karena panas matahari, ia mencoba menyingkap pasir di dasar sungai tersebut dan meraup segenggam tanah pasir serta diciuminya, kemudian berkata kepada kawan-kawannya, “Malam ini kita boleh berkemah saja di sini.”

Tenda segera dipasang dan mereka pun minum dan makan sedikit ransom kering yang mereka bawa.

“Sungai ini walaupun kering, tapi ada petunjuk bahwa disini pasti ada mata airnya,” kata Nyo Hun-cong. “Asta dan Mokhidi, malam ini kalian harus rela melelahkan diri mencari sumber mata air disekitar sini.”

Mencari sumber air di gurun pasir seperti ini bukanlah pekerjaan gampang, kalau bukan orang yang telah berpengalaman, pasti akan sia-sia dan buang waktu percuma. Asta dan Mokhidi hidup di tempat yang penuh gurun dan padang rumput, mereka paham dan kenal betul tempat ini seperti rumah sendiri. Jadi menyuruh mereka mencari sumber air. Nyo Hun-cong percaya penuh padanya.

Perubahan hawa di gurun memang sangat cepat sekali, kalau siang panas terik, tapi setelah malam hawa bisa berbalik menjadi sangat dingin. Setelah Nyo Hun-cong menunggu sekian lama dan kawan-kawannya masih belum juga kelihatan kembali, segera ia teringat bahwa kawan-kawannya waktu pergi tadi dalam keadaan terburu-buru dan hanya menggunakan baju tipis saja, walaupun mereka pandai ilmu silat tentu juga takkan tahan serangan hawa malam yang dingin sekali itu.

Segera dia membawa dua buah jaket kulit kambing dan keluar dari tenda lalu menyusul kawan-kawannya itu. Selagi ia hendak bersuara memanggil, mendadak terdengar suara suitan yang dikenal betul sebagai suara Asta. Cepat dia memburu ke tempat datangnya suara tadi dan terlihat olehnya dibawah kerlip cahaya bintang dan sina rembulan, yang remang-remang, kedua kawannya itu sedang bertarung melawan seorang pemuda bangsa Han dengan sengit. Mereka kelihatan tercecar mundur dan agaknya tak tahan melawan musuh yang jauh lebih tangguh, disamping itu di belakang pemuda bangsa Han itu, kelihatan ada beberapa orang pula.

Nyo Hun-cong terkejut, dua orang kawannya ini dalam bangsa Kazak tergolong jagoan perkasa kelas satu-dua, lawannya itu tentu bukan orang sembarangan dari kalangan persilatan, ia tidak membekal senjata, maka dengan satu kali lompatan, kedua tangan mementang jaket yang ia bawa terus disabetkan kearah muka orang itu.

Ilmu pedang orang itu ternyata sangat cepat, dengan satu langkah miring ia mengengos dan melepaskan diri dari serangan “Tiat-poh-san” (sabetan kain baja) Nyo Hun-cong, berbareng dia menusuk dengan pedangnya. Nyo Hun-cong bersuara heran demi nampak jurus serangan orang, dengan memuntir jaketnya secepat kilat ia berusaha membelit senjata lawan. Maka segera terdengarlah suara “Breeet”, ternyata kulit jaket sudah terkelupas, namun pedang lawan juga telepas dari tangannya.

“Hai, apakah kau bukan Coh Ciauw-lam Sute !” seru Nyo Hun-cong ketika mengenali lawannya.

“Ah, kiranya Nyo-suheng berada disini juga, ” sahut orang itu sambil memberi hormat setelah terlebih dahulu ia menjemput pedangnya yang terpental tadi.

Orang itu bernama Coh Ciau-lam, ia adalah anak piatu dan juga murid kedua Hui-bing Siansu, tiga tahun setelah Nyo Hun-cong turun gunung ia juga telah menamatkan pelajarannya selama sepuluh tahun dan meninggalkan Thian-san, sampai kini ia sudah tiga tahun meninggalkan perguruannya. Jadi sudah enam tahun Nyo Hun-cong tidak pernah melihat adik seperguruannya ini, kini dengan tidak disengaja malah bertemu di tengah gurun, tentu saja ia menjadi sangat kegirangannya, dengan memegang pundak sang Sute ia bertanya, “Sute, kapan kau turun gunung, mengapa tidak memberi kabar padaku. Sute, beberapa tahun tidak bertemu, ilmu silatmu ternyata sudah banyak mengalami kemajuan, bahkan bisa mengelupas sepotong jaket kulitku. Haha-haha!”

Nyata dia tidak tahu bahwa Coh Ciau-lam menggunakan Po-kiam atau pedang pusaka yang disebut “Yu-liong-kiam”, serupa dengan pedang “Toan-giok-kiam” miliknya yang sama-sama adalah pedang pusaka simpanan Hui-bing siansu.

Begitulah hanya dalam dua gebrakan saja pedang Coh Ciau-lam sudah terlepas dari tangannya, keruan ia merasa kikuk sekali. Sambutan hangat Nyo Hun-cong tadi hanya dibalas satu dua patah kata saja. Ditanya oleh Nyo Hun-cong pula, apakah dia datang bersama rombongan orang itu dan malam ini boleh tinggal bersama saja, dijawabnya bahwa masih ada urusan penting yang harus dikerjakan sehingga harus berangkat malam ini juga ke utara, yang diinginkan hanya sedikit air saja.

“Kalian kehabisan air ?” tanya Nyo Hun-cong yang di jawab pula oleh Coh Ciau-lam dengan menggut-manggut kepala.

Saat itu, Asta mendekati Nyo Hun-cong dan berkata dalam bahasa Kazak. “Sutemu ini sungguh tidak punya aturan, masa kita yang bersusah payah menemukan sumber mata air disini, dating-datang ia lantas hendak menguasainya sendir. Hanya karena kau, kalau tidak, jangan harap kami akan memberi air kepadanya.”

Perasaan Nyo Hun-cong menjadi sangat tidak enak setelah mendengar cerita kawannya itu, ia pandang muka sang Sute dan membatin, “Mengapa ia telah begitu cepat berubah menjadi orang semacam itu.” Sebenarnya ia hendak menegur dan memberi sedikit pengajaran, tetapi karena mengingat sudah lama baru beretmu kembali dan ia tidak suka memikin malu adik seperguruannya itu di depan orang banyak, maka ia hanya berkata, ” Jika sudah mendapatkan air, biarlah kita bagi sama rata saja!”

Habis itu ia tanya pula kepada Asta, “Dimana letak mata air itu ?”

Asta menunjuk suatu tempat, maka terlihat olehnya air setetes demi setetes merembes keluar dari sela-sela batu. Dengan sebuat kantong kulit, Mokhidi sedang mengisi air.

Nyo Hun-cong mendekat, lalu merangkapkan dua jarinya dan menggunakan tenaga “jari baja” ia menusuk sela-sela batu itu yang segera menjadi renggang dan airpun menyembur keluar seperti seutas benang. Biarpun begitu untuk mengisi penuh enam kantong air juga dibutuhkan waktu hingga tengah malam, ketika hendak mengisi lagi ternyata airnya sudah tidak keluar. Waktu mengisi air, lima orang kawan mereka yang sedang berada di tendapun ikut keluar dan bertanya tentang ini dan itu sehingga Nyo Hun-cong tidak mempunyai banyak waktu untuk berbicara dengan sang Sute.

Ketika ada kesempatan berbicara dengan sang Sute, jika ditanya Nyo Hun-cong jawaban Coh Ciau-lam selalu menyimpang, ia hanya bilang bahwa sudah beberapa lama ia terlantung-lantung di Sinkiang utara. Sebenarnya ada keinginan mencari sang Suheng tetapi sudah untuk ditemukan. Sebaliknya dengan bernafsu Nyo Hun-cong menceritakan semua pengalamannya selama ini. Coh Ciau-lam mendengarkan dengan penuh perhatian, terkadang malahan mengajukan beberapa pertanyaan.

Kemudian setelah melihat mata air itu sudah kering, Nyo Hun-cong tersenyum dan berkata, “Lumayan juga bisa penuh enam kantong. Baiklah Sute, kalian berjumlah dua belas orang, tetapi kalian menuju utara, jarak perjalanan lebih dekat, bagaimana, apakah cukup adil kalau kubagi kalian empat kantong ?”

Coh Ciau-lam berulang-ulang mengucapkan terima kasih, ia menyusuh kawannya menggendong keempat kantong air itu dan kembali ke tenda sendiri, lalu memuatnya keatas unta dan segera berangkat. Nyo Hun-cong telah menanyakan apakah uirusan sangat penting sehingga perlu berangkat terburu-buru pada malan itu juga, tetapi Coh Ciau-lam tak mau menjawab dengan terus terang. Nyo Hun-cong hanya mengira mungkin urusan ada sangkut pautnya dengan kawan-kawan seperjalanannya it, maka ia tidak bertanya lebih lanjut.

Setelah tidak hari berpisah dengan Coh Ciau-lam, nereka masih juga belum melintasi gurun pasir yang amat luas itu. Maka berkatalah Asta, “Untung beberapa hari ini tiada angin badai, coba kalau ada, andaikan kita tidak kurang sesuatu apapun toh bisa juga kesasar jika bukit-bukit pasir itu berubah tempat.”

Tak terduga baru selesai ucapannya, mendadak terdengar desir angin kencang dari sebelah barat disertai debu pasir tebal bergulung-gulung menuju timur.

“Untung hanya angin biasa saja.” Kata Hun-cong.

“Meskipun begitu kita tetap harus berjaga-jaga!” sahut Asta.

Dan selagi Nyo Hun-cong hendak mencari tempat untuk memasang tenda guna menghindari angin, tiba-tiba dari jauh terdengar bunyi kelenengan unta dan suara lari kuda yang ramai.

“Aneh juga, kedengarannya seperti ada beberapa puluh orang, kini bukan musim perdagangan, darimana datangnya para pedagang yang begitu banyak?” demikian kata Nyo Hun-cong kepada kawan-kawannya dengan heran.

Tak lama kemudian, rombongan unta itu sudah mendekat dan kelihatan dipimpin oleh dua orang penunggang kuda, ternyata seorang diantaranya adalah Sutenya sendiri Coh Ciau-lam sedang yang lain adalah seorang berperawakan kekar gagah berpakaian bangsa Boan. Saat itu orang-orang yang menunggang unta sudah turun semua lengkap dengan senjata ditangan, mereka terdiri dari orang-orang bangsa Boan dan Han.

Mendadak hati Nyo Hun-cong tergerak, ia maju dan membentakm, “Sute, mengapa kau kembali lagi ke sini ?”

Berubah air muka Coh Ciau-lam karena teguran ini, tetapi ia segera menuding Nyo Hun-cong dan berseru kepada orang Boan tadi. “Ini dia, Nyo Hun-cong, yang memimpin pemberontakan bangsa Kazak!”

Orang Boan itu segera memberi tanda dengan gerakan tangan da beberapa puluh orang itu lantas menerjang dan mengepung mereka ditengah-tengah.

Waktu itu perasaan Nyo Hun-cong sungguh amat gusar bercampur kuatir, ia bukannya menguatirkan jiwanya sendiri tetapi kuatir atas diri teman-teman seperjalanannya bangsa Kazak ini. Ia yakin dengan ilmu pedang sendiri yang sudah sempurna itu, untuk menerobos kepungan beberapa puluh atau ratusan orang musuh adalah bukan hal yang terlalu sulit baginya, apalagi selama beberapa tahun ia sudah mengalami berbagai bahaya yang ia anggap jiwa sudah tidak menjadi soal baginya, namun ia tidak dapat tidak tetap menguatirkan teman-temannya, mereka terdiri dari pemuda-pemuda Kazak yang paling baik dan terpilih, menghadapi jumlah musuh yang banyak, jika harus menjadi korban di tengah padang gurun yang tidak kelihatan ujung pangkalnya ini jelas lebih berharga daripada kehilangan ratusan rombongan domba.

Ia memang kuatir tetapi ia lebih gusar pula, gusar karena Sutenya sendiri yang berusia masih begitu muda seharusnya berguna dan berjuang membela tanah air sendiri. Siapa duga ternyata jiwanya begitu rendah dan busuk, makahan berkhianat dan takluk kepada musuh, bahkan menunjukkan jalan hendak menggunakan darah Suheng sendiri demi keuntungan dan memperkuat kedudukannya.

Namun hanya sekejap saja rasa kuatir dan gusarnya itu terlintas serta segera hilang pula seperti letikan api, waktu memang tidak mengijinkan dia untuk berpikir, senjata musuh sudah memburu dating menyerang. Dalam keadaan yang berlangsung cepat ini ia segera mengeluarkan suara gerungan dan pedang pendeknya segera dicabut, bagaikan angin yang menyapu debu, ia memainkan beberapa ilmu jurus pedang Thian-san yang paling hebat, dengan sekali putar segera beberapa senjata musush dibuat terpental dari tangan mereka.

Nyo Hun-cong mengamuk seperti banteng ketaton, pedangnya gemerdepan menerjang kesana kemari dari kepungan musuh, tidak seberapa lama ia lantas kebentur dengan Sutenya sendiri, Coh Ciau-lam.

“Suheng, marilah kau menyeberang ke pihak kami saja, apa gunanya kau membantu orang Kazak ?” seru Coh Ciau-lam.

Tetapi Nyo Hun-cong memberi satu bacokan sebagai jawaban sambil membentak, “Aku tidak mempunyai Sute semacam dirimi ini!”

“Suheng, takdir telah menentukan kekuasaan bagi bangsa Boan di Tiongkok, jutaan tentara sudah dihancurkan, kaum pemberontak di Sinkiang sinipun selekasnya akan dimusnahkan, kau hanya tinggal berjumlah beberapa orang saja dan buron di gurun pasir yang luas ini, apa yang bisa kau perbuat ?” seru Coh Ciau-lam sambil mundur beberapa tindak.

Nyo Hun-cong mengentak gigi, “ser-ser-ser”, tiga kali ia membabat dengan pedangnya dan mendamprat,” Bangsat yang tidak tahu malu!” Pedang segera dimainkan makin kencang, hingga membuat Coh Ciau-lam tercecar kalang kabut.

Dalam pertarungan yang sengit mengadu jiwa ini, mendadak Coh Ciau-lam bersuit panjang, serdadu Boan yang berdiri di pinggir segera mundur membelah ke belakang.

Ketika Nyo Hun-cong merasa heran, dilihatnya seorang opsir bangsa Boan dengan menunggang kuda maju menerjang maju, kira-kira jauhnya masih tujuh datau delapan dep, tiba-tiba ia meloncat tinggi dari atas kudanya, tangannya memegang sebatang senjata yang bentuknya aneh dihantamkan ke atas kepala lawan seperti sambaran elang. Nyo Hun-cong menjadi gusar sekali, ia tidak mau mengunjuk kelemahan, kedua kakinya bergerak dan iapun melambung keatas dan pedang digerakkan dengan jurus “mengangkat obor memerangi langit”, ia tangkis san menyampuk senjata musuh ke samping, “traaaang” terdengar suara beradunya senjata sehingga senjata musuh terpental dari tangan. Dalam keadaan badan Nyo Hun-cong masih mengapung di udara, tiba-tiba terasa sambaran angin yang tajam, ia tidak sempat lagi melukai musuh tadi, dengan berjumpalitan dan turun dengan perlahan. Waktu ia berpaling ke belakang, dilihatnya Coh Ciau-lam juga baru saja turun sampai ditanah dan sedang memandang disekelilingnya.

Kiranya yang menerjang dari belakang untuk menolong orang Boan tadi adalah Sutenya sendiri.

Sinar mata Nyo Hun-cong menjadi berapi-api saking gusarnya, dengan mengumpulkan seluruh tenaga ia putar pedang menempur pula dua lawannya itu. Opsir Boan-jing itu bernama Nikulo, ia adalah murid Hong-lui-kiam Ce Cin-kun dari aliran Thian-Pek-san, senjata khas yang dipakai disebut Song-bun-com semacam kikir yang dapat digunakan sebagai pedang atau golok, juga bisa dipakai untuk menotok jalan darah, dalam pasukan Boan ini ilmu silatnya tergolong kelas satu-dua. Dia termasuk panglima muda To Tok dari bangsawan Boan, jika diurutkan masih terhitung Sutit atau keponakan seperguruannya. Sejak ia ikut masuk di Kwan-lwe, jarang menemukan tandingan. Belum lama ini ia baru dipindahkan ke daerah Sinkiang untuk membantu gubernur Ili, Nilan Sukiat, mengamankan daerah Hwe ini. Karena terlalu percaya diri, ia tidak tahu kelihaian ilmu pedang Thian-san-pay dari Nyo Hun-cong itu, maka begitu berhadapan segera menghantam dari atas dengan senjatanya, ia bermaksud pamer pada Coh Ciau-lam, tak terduga ilmu mengentengkan badan dan melayang tinggi adalah kungfu andalan Nyo Hun-cong, begitu kebentur hampir saja melayang jiwanya di bawah pedang Nyo Hun-cong, karena itu lagak sombongnya segera lenyap dan ia coba mengumpulkan semangat dan mengacungkan Song-bun-co, ia keluarkan segenap ilmu yang penah ia pelajari untuk mengerubut Nyo Hun-cong lagi.

Dalam keadaan seperti itu jelas Nyo Hun-cong tidak gampang memperoleh kemenangan, apalagi senjata Song-bun-co musuh ini menyambar kian kemari, kadang -kadang membacok seperti golok dan menusuk layaknya pedang, dan lain saat menutuk seperti Boan-koan-pit, yang dituju selalu tempat jalan darah yang mematikan. Di tambah pula Coh Ciau-lam yang paham Thian-san-kiam-hoat atau ilmu pedang Thian-san, berdiri disamping selalu sambil mengingatkan Nikulo cara bagaimana harus meladeni Nyo Hun-cong. Sebenarnya keuletan Coh Ciau-lam masih kalah jauh dibanding Nyo Hun-cong, akan tetapi karena ia paham betul ilmu pedang dari perguruan yang sama, kalau ia jadi pelatih dan meminjam Nikulo bertempur bersama ternyata cukup tepat juga, segera mereka berbareng merangsek, karena itulah Nyo Hun-cong menjadi tertahan dan tidak dapat melepaskan diri untuk menolong orang-orang Kazak yang lain.

***

Begitulah di gurun luas itu telah terjadi pertempuran yang sengit, Nyo Hun-cong hanya mendengar suara-suara bentakan Asta dan Mokhidi, dua pahlawan Kazak yang perkasa ini kiranya juga sudah terlibat dalam pertarungan yang sengit sekali. Melihat hal itu Nyo Hun-cong menjadi gusar sekali, ilmu pedangnya segera berubah, sinar pedang gemerdep melayang menari-nari, maju mundur, naik turun tidak dapat diduga dan sulit diraba arahnya, walaupun Coh Ciau-lam kenal permainan ilmu pedang “Hwe-swan-lian-goan-kiam-hoat” dari Thian-san yang lihai ini, tetapi karena gerakan Nyo Hun-cong semakin cepat, saking kencangnya, hingga dia dibuat bingung dan terkesima tidak sempat menjaga diri sendiri, mana bisa lagi dia membela Nikulo.

Makin lama bertempur, Nyo Hun-cong semakin bertambah gagah. Suatu saat mendadak Coh Ciau-lam menyerang dengan jurus Keh-bak-jong-po, ujung pedangnya menusuk miring, Nyo Hun-cong berkelit dan pedangnya menggunakan kesempatan penjagaan lawan yang kosong segera menusuk ke tengah, Coh Ciau-lam tak sempat dan tak mungkin pula bisa menghindar, tidak tahunya waktu serangan Nyo Hun-cong hampir mengenai sasaran, ia melihat muka Coh Ciau-lam mengunjuk rasa seperti ketakutan, karena itu hantinya menjadi tidak tega , ujung pedangnya hanya di tutulkan di dada, hanya merobek sedikit kain baju dan tidak sampai melukainya.

“Sute, apakah kau belum mau sadar dan kembali ke pihak kami?” seru Nyo Hun-cong sambil menarik kembali pedangnya dengan cepat.

Hati Nyo Hun-cong memang luhur dan berbudi, ia ingat waktu mereka berdua masih sama-sama diatas Thian-san, jika dalam hal pelajaran ada yang kurang jelas serign Coh Ciau-lam meminta petunjuknya. Hubungan kakak dan adik seperguruan ini memang sangat erat, apalagi Coh Ciau-lam adalah anak piatu yang dipungut murid oleh gurunya dati tangan seorang saudara angkatnya. Nyo Hun-cong sangat mengasihinya dan suka memperhatikan dia, tidak terduga baru turun gunung tiga tahun, sang Sute sudah berubah seperti itu pikir Nyo Hun-cong, “Pasti karena usianya yang masih terlalu muda dan kurang pengalaman sehingga terjebak oleh orang-orang jahat.”

Karena pikiran inilah ia tidak tega membunuhnya dan mengira dapat menasehati dan mengubahnya menjadi baik.

Tapi justru sedikit keterlambatan dari Nyo Hun-cong akibat memikirkan diri Coh Ciau-lam, kesempatan ini malah memberi kesempatan kepada Coh Ciau-lam dan Nikulo untuk membalas menyerang lebih gencar lagi, dengan Song-bun-co, Nikulo merangsek maju dengan jurus serangan berbahaya, sementara itu mereka berulang-ulang bersuit pula, beberapa puluh serdadu segera maju mengepung Nyo Hun-cong lagi.

Pertempuran berlangsung sengit sekali, disekitar Nyo Hun-cong terdengar jeritan orang-orang Kazak yang mengerikan, ia tahu kawan-kawannya tentu sudah ada yang gugur.

Kegusaran Nyo Hun-cong memuncak, alisnya menegak, pedangnya diiputar semakin kencang, sebentar di muka, sekejap lagi sudah di belakang, sinar pedang gemerdep menyambar, beberapa serdadu segera roboh binasa oleh serangan kilat itu.

Nikulo dan Coh Ciau-lam juga berkali-kali menghadapi serangan berbahaya, muka mereka merasakan angin dingin mengiris.

Leave a Comment »

No comments yet.

RSS feed for comments on this post. TrackBack URI

Leave a comment

Create a free website or blog at WordPress.com.