Kumpulan Cerita Silat

12/06/2010

Imbauan Pendekar – 12

Filed under: Imbauan Pendekar — Tags: — ceritasilat @ 1:35 am

Karya: Gu Long
Penerjemah: Gan KL

(Terima kasih kepada: Bagusetia, Bpranoto, Budiwibowo, Bsarwono, Koedanil, M_haury dan Sukantas009)

“Dan ginkangnya juga tidak rendah, buktinya kita sama tidak tahu kapan dan kemanakah perginya?” sambung Pwe-giok.

“Masa…masa orang-orang ini seluruhnya patung lilin?” tanya Thi-hoa-nio.

Berpuluh orang itu masih tetap berduduk di tempatnya tanpa bergerak, tampaknya seperti manusia hidup benar-benar.

“Untuk apakah orang itu memasang patung-patung sebanyak ini di sini?” tanya Thi-hoa-nio pula.

“Mungkin dia kesepian tinggal sendirian di sini, maka membuat orang-orangan ini untuk mengawaninya”, ujar Lui-ji, mendadak ia tertawa dan menambahkan, “Apapun juga patung lilin kan jauh lebih baik daripada manusia tulen.”

“Masa? Apa alasanmu?” tanya Thi-hoa-nio.

“Paling sedikit patung lilin kan tidak dapat menyerang kita?” jawab Lui-ji

Meski merasa tempat ini sangat menyeramkan, tapi lega juga hati Thi-hoa-nio, sebab ia merasa ucapan Lui-ji memang tidak salah. Berada bersama orang-orangan lilin tentunya tidak akan berbahaya.

Hanya Pwe-giok saja yang kelihatan prihatin, tiba-tiba dia seperti teringat sesuatu, ucapnya kemudian dengan suara tertahan, “Kita tidak boleh tinggal di sini, lekas kita pergi.”

“Kenapa? Orang hidup sudah lari, masakah kita takut kepada kawanan patung lilin ini?” ujar Lui-ji. Dia terus mendekat ke sana dan menambahkan, “Coba kau lihat, ku pukul mereka juga tidak ada yang berani membalas.”

Sembari bicara ia terus menampar muka salah satu patung lilin itu.

Patung lilin itu tadinya duduk bersandar kursi dan sedang “membaca”. Karena ditampar Lui-ji robohlah patung itu, “brak”, patung itu pecah berantakan.

“Maaf, maaf, apakah kau sakit? Biar kubangunkan kau!” kata Lui-ji dengan tertawa.

Betapapun dia masih seorang anak dara, sejak lahir belum pernah bermain boneka, sekarang mendadak melihat “boneka raksasa” sebanyak ini, dengan sendirinya ia sangat tertarik.

Begitulah seperti anak kecil yang sedang momong boneka, Lui-ji membangunkan patung yang jatuh dan perlahan memijati bagian punggungnya sambil berucap, “O, sayang, tentunya kau kesakitan, biar kupijat…”

Selagi Thi-hoa-nio merasa geli melihat kelakuan Lui-ji itu, mendadak anak dara itu menjerit kaget sambil melompat mundur. Kontan patung lilin itu terguling dari kursinya dan hancur.

Cepat Pwe-giok melompat maju dan bertanya, “Ada apa?”

Lui-ji menjatuhkan diri pada pelukan anak muda itu, katanya sambil menuding patung lilin yang sudah hancur itu. “Di tubuh lilin itu ada… ada tulangnya.”

“Tulang?” Thi-hoa-nio menukas dengan kaget. “Patung lilin masa bertulang?”

Belum habis ucapannya, dilihatnya dalam patung lilin yang hancur itu memang betul ada seonggok tulang putih, bahkan dapat dipastikan bukan tulang buatan.

Nyata, tulang di dalam patung lilin itu adalah tulang orang mati asli.

Pwe-giok coba menjemput beberapa cuil lilin remukan patung itu dan diperiksanya dengan teliti, seketika air mukanya berubah hebat, tampaknya seperti mual dan hendak tumpah.

“He, ken… kenapakah kau?” tanya Lui-ji.

Pwe-giok menghela nafas panjang, ucapnya, “Ini bukanlah orang-orangan buatan dari lilin, tapi mayat manusia tulen, lorong di bawah tanah ini adalah hasil kerja mereka.”

“Apa katamu?” seru Lui-ji.

“Tentunya begini kisahnya,” tutur Pwe-giok. “Lantaran kuatir orang-orang ini akan membocorkan rahasia lorong di bawah tanah ini, maka orang yang menyuruh pembuatan lorong ini telah membunuh seluruh pekerja ini tatkala lorong ini sudah selesai dibuat, lalu tubuh mereka disiram dengan vaselin sehingga jadilah mereka patung lilin.”

Merinding Lui-ji oleh cerita ngeri ini, katanya, “Pantas, makanya mereka kelihatan seperti orang hidup.”

Dengan gegetun Hay Tong-jing ikut berkata, “Begitu masuk kemari memang sudah kurasakan keadaan di sini rada-rada janggal, orang-orang kasar ini kenapa bisa berubah seperti seniman. Waktu itu jika kuperiksa dengan teliti mungkin sudah dapat ku bongkar rahasia mereka.”

“Tapi waktu itu mana dapat kita bayangkan di dunia ini ternyata ada orang gila sekejam ini?” ucap Lui-ji dengan gregetan.

Mendadak seorang tertawa terkekeh-kekeh dan menanggapi, “Hehe, kau salah, nona cilik, aku sama sekali tidak kejam, juga tidak gila, sebaliknya aku ini manusia yang paling welas asih, seorang yang paling tahu aturan, orang yang paling punya hati nurani.”

Meski semua orang dapat mendengar suaranya, tapi bagaimana bentuk orang ini tidaklah kelihatan.

Lui-ji lantas menjawab, “Seumpama kau punya hati nurani juga sudah lama hatimu itu dimakan anjing.”

“Justeru lantaran mengingat mereka terlalu lelah menggali lorong di bawah tanah ini, makanya kuundang mereka istirahat di sini, supaya mereka selanjutnya tidak perlu berkeringat dan kerja keras lagi,” kata orang itu dengan tertawa. “Coba kalau tidak ada aku, mana bisa mereka menikmati kebahagiaan begini. Dan kalau begini baik kuperlakukan mereka, kenapa kau maki diriku sebagai orang gila dan orang busuk?”

“Hm, kau bukan saja orang busuk, bahkan bukan orang. Tapi setan, iblis, iblis yang gila!” maki Lui-ji pula.

Dia ingin memancing keluar orang itu. Siapa tahu meski dia mencaci maki sekian lama, orang itu tetap tidak memberi reaksi apa-apa. Bahkan satu kata saja tidak bicara pula, keadaan menjadi sunyi senyap.

Dengan gemas Lui-ji mengusulkan, “Tempat ini toh tidak terlalu luas, marilah kita ketemukan dia.”

Thi-hoa-nio menghela nafas, katanya, “Kalau dia tidak mencari kita kan sudah untung, masakah kau malah ingin cari dia?”

Mendadak Pwe-giok berkata kepada Hay Tong-jing dengan tertawa, “Dalam keadaan demikian, masakah kau belum mau membongkar teka-teki ini?”

“Teka-teki? Teka-teki apa?” Hay Tong-jing jadi melengak malah.

“Sungguh aku tidak mengerti untuk apa kalian berdua sengaja memancing kami kesini?” tanya Pwe-giok.

“Ap… apa katamu?” Hay Tong-jing menegas dengan bingung. “Mengapa kami memancing kalian ke sini? Hakekatnya aku tidak pernah kenal tempat ini, lebih-lebih tidak kenal si gila ini.”

“Bisa jadi Hay-heng memang belum pernah datang ke tempat ini, tapi Lo-siansing ini justeru sudah dikenal Hay-heng,” kata Pwe-giok.

“Mana bisa kukenal dia?” sahut Hay Tong-jing dengan gugup. “Untuk.. untuk apa ku tipu kau?”

Pwe-giok menghela nafas, ucapnya, “Akupun tidak tahu untuk apa Hay-heng menipuku? Tapi berita yang dituturkan Hay-heng di lorong tadi… cerita tentang Tangkwik-siansing itu, tadinya kupercaya penuh setiap kata ceritamu, tapi sekarang mau tak mau harus kusangsikan.”

“Sebab apa?” tanya Hay Tong-jing.

“Demi membuat lorong bawah tanah ini, dia tidak sayang membunuh semua pekerja ini untuk menutup mulut mereka selamanya. Dengan sendirinya lorong di bawah tanah ini menyangkut sesuatu rahasia maha besar, betul tidak?”

“Ya, betul,” jawab Hay Tong-jing.

“Jika demikian, mengapa dia perlu membangun rumah gubuk pada ujung jalan keluar tadi? Jika di atas gunung yang paling sepi ini ada sebuah rumah kosong, bukankah hal ini akan sangat menarik perhatian orang?”

Kembali Hay Tong-jing melengak, katanya, “Bisa jadi… bisa jadi rumah itu bukan rumah kosong.”

“Betul, rumah itu pasti tidak kosong, tapi dimana orangnya?”

“Mungkin telah dibunuh oleh Yang Cu-kang?”

Pwe-giok tertawa, katanya, “Apakah mungkin demi merampas sebuah rumah Yang-heng perlu membunuh orang tak berdosa sebanyak itu?”

“Ini … ini … ” Hay Tong-jing tak dapat menjawab.

“Apalagi, jika dia menyuruh orang-orang itu berjaga di dalam rumah, tentu mereka ada kontak satu sama lain, setelah mereka dibunuh Yang-heng, mustahil dia tidak tahu? Dan kalau dia tahu, masakah Yang-heng dibiarkan tinggal di sana?”

“Jadi maksud Ji-heng …”

“Maksudku hanya ingin menyatakan antara Yang-heng dan Lo-siansing ini pasti sudah ada hubungan, dia menyuruh kita masuk ke lorong ini juga sebelumnya telah direncanakan.”

Berubah air muka Hay tong-jing, katanya, “Untuk apa dia berbuat begini? Kenapa aku tidak diberitahu?”

“Hay-heng benar-benar tidak tahu?” Pwe-giok menegas dengan melotot.

“Ya, sedikitpun tidak tahu,” jawab Hay Tong-jing tegas.

“Jika demikian, mengapa Hay-heng mengantar nona Ki Leng-hong ke sini?”

“He, apa pula artinya ucapanmu ini?”

“Aku memang lagi heran, sebab apakah Hay-heng menangkap Ki Leng-hong? Padahal ku tahu kalian hendak menyerahkan Kwe Pian-san dan Ciong Cing kepada Pek-hoa-bun untuk mengambil hati Hay-hong-hujin, tapi sejauh itu aku tidak mengerti Ki Leng-hong hendak kalian serahkan kepada siapa? Dan baru sekarang ku tahu jelas duduknya perkara.”

“Tahu jelas duduknya perkara? Perkara apa?” tanya Hay Tong-jing dengan bingung.

“Tujuan Hay-heng menangkap Ki Leng-hong adalah untuk diserahkan kepada Lo-siansing ini.”

“Untuk apa diserahkan kepadanya? Untuk apa pula dia menghendaki Ki Leng-hong?” tanya Hay Tong-jing.

Pwe-giok tertawa, katanya, “Bisa jadi untuk dijadikan patung lilin, mungkin juga ada keperluan lain. Kukira Hay-heng tentu jauh lebih jelas dari padaku.”

Hay tong-jing menghela napas panjang, katanya, “Meski aku tidak tahu apa yang harus kukatakan, tapi kuyakin jalan pikiranmu pasti keliru, hakekatnya aku tidak ada sangkut-pautnya dengan urusan ini, jika Ji-heng tidak percaya, terpaksa aku …”

Mendadak terdengar suara jeritan, suara jeritan Lui-ji dan Thi-hoa-nio.

Pwe-giok terkejut dan berpaling, terlihatlah kedua orang itu telah berada dalam pelukan dua patung lilin.

Muka Lui-ji tampak pucat, serunya dengan suara parau, “Patung lilin ini bukan mayat, tapi orang hidup.”

Thi-hoa-nio tampak gemetar dan hampir saja jatuh kelengar.

Terdengar orang lilin itu berkata, “Jika kalian menghendaki mereka tetap hidup, maka berdirilah di situ dan jangan bergerak.”

Sembari bicara, lapisan lilin yang tipis pada mukanya lantas terkelupas sepotong demi sepotong.

Terpaksa Pwe-giok berdiri di tempatnya dan tidak bicara apapun.

Hay Tong-jing tidak tahan, ucapnya, “apa kehendak kalian?”

Padahal pertanyaannya ini terlalu berlebihan dan menggelikan. Tapi setiap orang bila sudah kepepet memang sering mengucapkan kata-kata yang lucu.

Pada saat itulah tertampak dua patung lilin yang sedang main catur di kejauhan sana mendadak juga bergerak, tubuh mereka hanya berkelebat dan tahu-tahu sudah menubruk tiba.

Tapi patung lilin yang memeluk Cu Lui-ji itu lantas berseru, “Berhenti, barang siapa di antara kalian bergerak sedikit saja, jiwa kedua perempuan ini segera melayang.”

“Jangan urus diriku, mereka tidak berani membunuhku!” teriak Lui-ji.

Pwe-giok menghela napas, tahu-tahu ia merasakan dua tangan yang kuat telah merangkul tubuhnya, menyusul beberapa tempat Hiat-to penting juga tertutuk.

Kembali Lui-ji menjerit kuatir, teriaknya parau, “He, apa … apa kehendak kalian? …” belum habis ucapannya, berderailah air matanya.

Terdengar seorang tertawa terkekeh-kekeh, ucapnya, “Nona cilik, tentunya sekarang kau tahu orang-orang lilin tidaklah lebih baik daripada manusia tulen. Padahal terkadang merekapun jauh lebih berbahaya daripada orang asli.”

Ditengah suara tertawa yang melengking itu, si kakek berjubah hitam tadi telah muncul pula, cuma sekarang topinya bukan lagi caping bambu melainkan sebuah topi tinggi dan berbentuk aneh.

Potongan badan kakek ini sangat pendek, sekarang memakai topi setinggi ini, sekilas pandang, topinya seakan-akan lebih tinggi daripada orangnya, bentuknya kelihatan lucu dan mentertawakan.

Tapi dalam keadaan demikian siapa pula yang dapat tertawa?

Segera Lui-ji memaki, “Kau tua bangka, siluman …” segala kata makian yang paling keji telah dihamburkan seluruhnya, tapi si kakek mendengarkan saja seperti sangat tertarik.

Setelah Lui-ji kehabisan kata-kata makian barulah kakek itu berkata dengan tersenyum, “Nona cilik, kau sangat pintar menangis, juga pandai memaki orang, aku justeru sangat suka kepada nona cilik semacam kau ini. Sebentar tentu akan kujadikan kau patung lilin yang cantik, secantik boneka.”

“Kau … kau …” Lui-ji sampai kehabisan suara. Ia ingin memaki lagi, tapi ngeri, bibirpun kering.

Topi tinggi di atas kepala si kakek tampak bergoyang-goyang, ia mendekati Pwe-giok dan berkata, “He, anak muda, namamu Ji Pwe-giok bukan?”

“Betul.” jawab Pwe-giok.

Si kakek mengekeh tawa, ucapnya, “Meski belum pernah kulihat kau, tapi sekali pandang saja lantas kukenali kau.”

Mendadak Pwe-giok juga tertawa, katanya, “Meski aku tidak pernah melihat kau, tapi akupun kenal kau.”

“Oo?!” si kakek melengak, lalu bergelak tertawa, katanya, “Wah, jika benar kau kenal diriku, sungguh tidak kecil kepandaianmu.”

“Kau bukan manusia,” kata Pwe-giok.

Si kakek menyeringai, “Kau pun serupa nona cilik itu, pintar memaki orang. Aku bukan manusia, memangnya siluman?”

“Kaupun bukan siluman, cuma sesosok mayat,” ujar Pwe-giok. “Sebab sudah lama kau mati.”

“Kau bilang aku ini mayat?” seru si kakek dengan terbahak.

“Betul, meski belum pernah kau lihat diriku, tapi aku sudah pernah melihat kau.”

“Pernah kau lihat diriku? Dimana?” tanya si kakek.

“Di dalam sebuah kuburan.” jawab Pwe-giok.

Seketika Lui-ji melenggong, ia merasa bingung oleh ucapan Pwe-giok itu, bahkan anak muda ini hampir disangkanya rada kurang waras.

Sebab seorang yang sehat, seorang yang normal, tentu takkan menuduh seorang hidup sebagai sesosok mayat, lebih-lebih takkan menyatakan dirinya pernah pesiar ke dalam sebuah kuburan. Semua ini hakekatnya bukan ucapan Ji Pwe-giok yang sebenarnya.

Siapa tahu, setelah mendengar kata-kata demikian, air muka si kakek mendadak berubah, dia melototi Pwe-giok hingga sekian lamanya, lalu menegas, “Kau pernah datang di kuburan itu?”

“Betul, malahan cukup lama ku tinggal di sana.”

“Dan cara bagaimana kau keluar lagi?”

Pwe-giok tertawa, jawabnya, “Keluar melalui pantatmu.”

Sampai di sini, bukan cuma Lui-ji saja yang menganggap anak muda itu kurang waras, bahkan Thi-hoa-nio dan Hay Tong-jing juga mengira Pwe-giok mendadak sinting, sebab apa yang diucapkannya sama sekali bukan kata-kata manusia normal.

Tapi air muka si kakek lantas berubah menjadi lebih menakutkan, mendadak ia berseru, “Cucu perempuanku sayang, marilah keluar!”

Ketika cucu perempuannya sudah keluar, kecuali Pwe-giok, yang lain-lain sama terperanjat pula. Sebab siapapun tidak menyangka cucu perempuannya adalah Ki Leng-hong.

Tapi sejak tadi Pwe-giok sudah tahu kakek ini adalah Ki go-ceng yang menghilang dengan berlagak mati itu. Kepandaiannya membikin patung lilin memang bagus (bacalah jilid ke-4 Renjana Pendekar).

Terdengar si kakek alias Ki Go-ceng lagi bertanya kepada cucu perempuannya, “Apakah betul perkataan bocah ini?”

“Entah, aku tidak tahu,” jawab Ki Leng-hong. Nona ini kelihatan sangat kurus dan lesu, sangat lemah, tapi jawabannya cukup tegas.

“Dia pernah datang ke Sat-jin-ceng bukan?” tanya pula Ki Go-ceng.

“Jika dia belum pernah ke Sat-jin-ceng, cara bagaimana dapat kukenal dia? Tapi banyak juga orang yang pernah mengunjungi sat-jin-ceng, tidak cuma dia saja.”

Ki Go-ceng tertawa, ia tepuk-tepuk pelahan muka Ki Leng-hong yang bulat telur itu, ucapnya dengan tertawa, “Ai, cucu perempuanku sayang, bicara terhadap kakek mana boleh sekasar ini.”

Ki Leng-hong moncongkan mulutnya dan berucap manja, “Orang pening kepala, ingin tidur.”

Begitu habis ucapannya, segera ia melangkah pergi, sama sekali tidak memandang lagi terhadap Ji Pwe-giok.

Ki Go-ceng geleng-geleng kepala, gumamnya

—–

“Ai, bocah ini jadi rusak karena terlalu dimanjakan ibunya” Mendadak ia melototi Pwe-giok pula dan bertanya, “Eh, kabarnya putra Ji Hong-ho itupun bernama Ji Pwe-giok, apa betul?”

“Begitulah kalau tidak salah”, jawab Pwe-giok.

“Konon dia sudah mati di Sat jin-ceng”

“Agaknya juga betul”

Mendadak mencorong sinar mata Ki Go-ceng, ucapnya dengan pelahan, “Bisa jadi tidak mati, mungkin dia telah pesiar sejenak ke kuburan, lalu hidup kembali, bahkan bertemu dengan seseorang yang telah mengubah bentuk wajahnya”

Mendadak ia jambret leher baju Pwe-giok dan berteriak, “Dan mungkin kau inilah dia, kau inilah putra Ji Hong-ho itu”

Sebenarnya Pwe-giok tidak mengerti apa sebabnya Ki Leng-hong berdusta, dan sekarang ia tahu duduknya perkara. Meski lahirnya dia tetap tenang saja, tapi telapak tangan sudah merembeskan keringat dingin.

Bukan mustahil Ki Go-ceng adalah sekelompotan dengan “Ji Hong-ho” itu, Pwe-giok sengaja dipancing ke sini untuk diselidiki apakah dia dan Pwe-giok yang tersiar sudah mati itu sama atau tidak.

Maklumlah, tentang perubahan wajah Pwe-giok hanya diketahui oleh Ki Leng-hong saja, tapi nona itu ternyata tidak menyingkap rahasianya, meski tidak tahu mengapa orang menutupi rahasianya, namun Pwe-giok sangat berterima kasih padanya.

Ki Go-ceng masih terus melototi Pwe-giok, tanyanya pula, “Sesungguhnya kau anak Ji Hong-ho atau bukan?”

Pwe-giok tertawa, jawabnya, “Aku ini anak siapa, ada persoalan apa dengan kau?”

“Sekalipun kau mengaku sebagai anak Ji Hong-ho kan juga tidak menjadi soal?” ujar Ki Go-ceng.

“Kenapa kau sendiri tidak mau mengaku sebagai anaknya?” jawab Pwe-giok.

Ki Go-ceng menarik muka, mendadak ia tertawa pula, “Bagus, anak muda, anggaplah mulutmu memang keras, jika kau tidak suka bicara terus terang, biarlah sekalian kubikin kau tak dapat bicara untuk selamanya”

Gua batu ini jauh lebih terang daripada ruangan gua sebelah luar sana, juga jauh lebih hangat, sebab api pada sebuah tungku besar telah dinyalakan, di atas tungku ada sebuah wajan besar. Lilin di dalam wajan sudah mulai cair.

Dengan sebuah gayung besar, pelahan Ki Go-ceng mengaduk cairan lilin itu, ketika api tungku sudah mulai menghijau, menguaplah hawa panas dari wajan besar. Di bawah gemerdep cahaya api dan uap lilin, wajah Ki Ko-ceng kelihatan seperti sebuah topeng setan.

Sinar matanya juga gemerdep memancarkan cahaya kebuasan dan kegilaan, terdengar dia berucap ” Bukanlah pekerjaan mudah membuat patung lilin dengan manusia berdarah daging, pertama harus memperhatikan waktu masak lilin, selain lilin harus cair seluruhnya dan tidak boleh terlalu mendidih, pada saat lilin baru mulai bergelembung segera cairan lili dituang pada tubuh manusia.”

Dia tertawa, lalu menyambung, “Jadi seperti koki memasak Ang-sio-hi, setelah gorengan irisan ikan diangkat dari wajan, pada saat yang tepat disiram dengan saus asam manis. Cuma disini gerakan tangan harus cepat, siraman lilin harus rata, apabila lapisan lilin pertama sudah beku seluruhnya barulah mulai siram lapiran kedua, sedikit salah siram, semua usaha akan gagal total.”

Dia bicara dengan adem ayem, seperti halnya seorang ahli masak yang sedang memberi ceramah di depan sekawanan penggemar makanan enak. Cuma sayang, yang mendengarkan ceramahnya sekarang bukanlah penggemar makanan melainkan “ikan” yang sedang menanti giliran untuk dijadikan Ang-sio-hi.

Hati Lui-ji saat ini diliputi rasa gusar dan juga takut, sungguh kalau bila ia ingin menggigit mampus orang gila ini.

Sebaliknya Thi-hoa-nio seperti tidak dapat mengekang diri lagi saking takutnya, ia berteriak dengan histeris, “Lekas kau bunuh kami saja, lekas, kenapa tidak lekas turun tangan ?”

Ki Go-ceng tertawa, katanya, “Aku ingin membuat patung lilin yang indah, untuk ini masih harus diperhatikan sesuatu, yaitu tidak boleh membunuh mati model yang akan ku gunakan,. Dengan demikian , hasil patung yang kubuat barulah akan kelihatan hidup dan bergairah. Apabila modelnya dibunuh mati mati dulu baru kemudian disiram lilin, maka patung yang dihasilkan juga akan kelihatan mati dan kaku.”

“Kau … kau … ” Thi-hoa-nio tidak sanggup bersuara lagi. Bibirnya gemetar, mulut seperti tersumbat.

Mendadak Ki Go-ceng tertawa padanya dan berkata, “Tapi Yang-hujin juga tidak perlu khawatir, aku pasti takkan membikin susah padamu, sebab kuyakin Yang Cu-kang pasti tidak suka tidur bersama patung lilin.”

Air muka Hay Tong-jing berubah, tanyanya, “Apakah benar Yang Cu-kang ada persengkongkolan dengan kau ?”

Ki Go-ceng tertawa, jawabnya, “Betul, dia terlebih cerdik daripadamu, juga lenih pintar memilih kawan. Jika dia memilih si koki sebagai kawannya, sebaliknya kau pilih kawan pada ikannya.”

Sampai sekian lama Hay Tong-jing termangu-mangu, katanya dengan suara gemetar, “Yang Cu-kang, wahai Yang Cu-kang, tidak jelek suhu terhadapmu, kenapa kau melakukan perbuatan khianat begini, memangnya sudah kaulupakan semua ajaran dan peraturan perguruan ?”

Sembari bicara, matanya mendelik dengan menahan rasa murka.

Dengan lemas Lui-ji juga berkata, “Pantas dia tidak takut di bunuh Lengkui, kiranya dia tahu setelah kita pergi, maka dapatlah dia bicara dengan Leng-kui bahwa antara mereka sesungguhnya adalah kawan. Hah, bangsat ini telah berbuat khianat, tapi justru bicara seperti seorang baik hati.”

Belum habis ucapannya, menangislah Thi-hoa-nio tergerung-gerung.

Lui-ji menjengek, “Yang-hujin, apakah yang kau tangisi ? Bisa kaudapatkan suami sebaik itu, masakah kamu tidak senang ?”

“Aku … Aku … ”

“Eh, siapa di antara kalian yang mau tolong singkirkan nyonya Yang ini dari sebelahku, sungguh aku tidak tahan lagi bau busuk pada tubuhnya,” ejek Lui-ji pula.

Dengan tertawa Ki Go-ceng berucap, “wah. hampir saja kulupa jika tidak kau singgung sejak tadi-tadi seharusnya ku undang nyonya Yang berduduk di tempat yang terhormat.”

Tapi Thi-hoa-nio lantas berteriak-berteriak pula dengan histeris, “Jangan kalian menyentuh diriku, aku bukan istri Yang Cu-kang, aku lebih suka mati bersama mereka.”

Dengan tak acuh Ki Go-ceng berkata, “Siapapun kalau sudah berada disini, mati atau hidupnya tidak bebas lagi baginya.”

Hay Tong-jing memandang Pwe-giok, ucapnya dengan rawan, “Ji-heng, aku telah salah menilai Yang Cu-kang, maaf, aku … aku menyesal.”

“Ini bukan salahnya dan bukan salahmu, untuk bisa (jangan) Hay-heng merasa sedih.” ujar Pwe-giok.

Hay Tong-jing menghela napas, ucapnya, “Betapapun dia adalah saudaraku, aku … ”

Mendadak Ki Go-ceng berseru, “Cepat lekas buka pintu tungku dan kerek wajan agak tinggi sedikit, saat itulah cairan lilin sudah dapat digunakan!”

Lalu ia mulau menceduk cairan lilin dengan gayungnya, mengepul uap lili panas itu.

Dengan tertawa Ki Go-ceng berkata, “Pertama kali disiram lilin memang akan terasa sakit, maka hendaknya Ji-kongcu dapat bertahan sedikit, nanti kalau sudah tersiram tiga empat gayung, perlahan tidak lagi merasa sakit.”

Lebih dulu ia menyiram lilin pada gayungnya pada sepotong papan, melihat cairan lilin yang membeku di atas papan, Ki Go-ceng bergumam, “Ya, memang saat yang paling tepat untuk disiram … Nah, lekas kau buka baju, Ji-kongcu!”

Mendadak Lui-ji berteriak, “Kenapa tidak kau mulai dari diriku!… ”

“Sabar, sabar! Sebentar lagi akan datang giliranmu, kenapa terburu-buru ?” ujar Ki Go-ceng dengan tertawa.

“Kumohon dengan sangat, mulailah atas diriku, matipun aku berterima kasih padamu.” teriak Lui-ji dengan parau.

“Apakah kau tidak tega menyaksikan Ji Pwe-giok tersiksa dan ingin tutup mata lebih dulu ?” tanya Ki Go-ceng.

Lui-ji hanya menggigit bibir, ia mengangguk sambil menangis.

“Tapi apakah kau suka telanjang di hadapan mereka ?” tanya Ki Go-ceng dengan tertawa.

Lui-ji jadi melengak, segera ia menangis lagi tergerung-gerung.

Dengan suara parau Thi-hoa-nio berteriak, “Silakan kau turun tangan dulu padaku, aku tidak … tidak takut … ”

Ki Go-ceng mengawasi dia sekejap, lalu berucap, “Potongan tubuhmu tidak jelek, kukira merekapun jika kuturun tangan padamu dulu, sebelu mati daapt menyaksikan perempuan cantik telanjang bulat seperti dirimu ini, tentu kematian merekapun cukup berharga,” — Dia menghela napas, lalu menyambung, “Cuma sayang, kau ini bini Yang Cu-kang, sayang, sungguh sayang… ”

“Kau tua bangka, kau binatang, hewan, sungguh kau bukan manusia … ” mendadak Hay Tong-jing mencaci maki.

“Apakah sengaja kau bikin marah diriku agar turun tangan dulu padamu ?” kata Ki Goceng tertawa.

Hay Tong-jing berteriak gusar, “Memangnya kau berani turun tangan padaku?”

“Haha, bagus, bagus!” Ki Go-ceng terbahak. “Kalian memang sangat setia kawan, sungguh ksatria sejati, semuanya berebut mati lebih dulu. Jika demikian, biarlah kupenuhi kehendak kalian sekaligus.”

Ia menyeringai, lalu menyambung, “Akan kubelejti kalian bertiga hingga telanjang bulat, akan kuikat kalian menjadi satu dalam keadaan saling rangkul, akan kubikin kalian menjadi sebuah patung yang istimewa, agar sekali pandang saja siapapun tahu kalian adalah sahabat karib yang tak dapat dipisahkan.”

Hay Tong-jing dan Cu Lui-ji berteriak-teriak, meski sudah banyak siksa derita yang dialaminya tapi baru sekarang Lui-ji benar-benar kenal apa artinya takut.

Meski Pwe-giok hanya diam saja sejak tadi, tapi di dalam hati jauh lebih murka dan berduka. Ia tidak tahu mengapa Thian memberi nasib seburuk ini kepadanya. Tahu begini, lebih baik dulu mati saja di tangan Siang Cap-long. Walaupun Siang Cap-long juga sangat kejam, tapi jauh lebih baik daripada Ki Go-ceng, betapapun dia tidak sampai melakukan hal-hal yang gila dan kotor begini.

Pada saat gawat itulah, sekonyong-konyong seorang terbang masuk dari luar dengan kaki dan tangan menari-nari di udara, serupa boneka yang dikerek dan terapung di udara, melayang tibanya orang ini sungguh cepat luar biasa.

“Siapa?!” bentak Ki Go-ceng.

Baru lenyap suaranya, dengan tepat orang itu jatuh di dalam wajan yang penuh cairan lilin panas itu, maka terdengarlah suara jeritan ngeri yang menyayat hati.

Cairan lilin di dalam wajan muncrat kemana-mana, ada setitik cairan yang menciprat ke tubuh Lui-ji, meski cuma setitik, namun rasa sakitnya sudah tak terkatakan.

Pada saat lain, dari luar melayang masuk lagi orang, juga menari-nari di udara dan “plung”, dengan tepat kembali nyemplung di dalam wajan disertai jeritan yang sama ngerinya.

Seketika wajan itu terguling, cairan lilin tumpah memenuhi lantai.

Serentak Ki Go-ceng mengapung ke atas, dengan gusar ia membentak, “Siapa itu?”

Di tengah suara bentakannya, orang ketiga melayang tiba pula, sekali ini menerjang ke arah Ki Go-ceng.

Cepat tubuhnya menggeliat di udara sehingga terhindar. Tapi segera orang ke empat dan kelima melayang pula dan menumbuk Ki Go-ceng. Betapapun tinggi ginkangnya juga sukar untuk mengelak lagi.

“Blang”, dalam keadaan mengapung di udara Ki Go-ceng menghantam, kontan kedua orang yang menerjang ke arahnya itu digenjot hingga tergetar balik, tapi ia sendiripun tergetar jatuh ke bawah dan hampir saja menumbuk dinding.

Kejut dan girang Lui-ji, baru sekarang dapat dilihatnya dengan jelas bahwa kelima orang yang melayang dari luar itu semuanya adalah “patung lilin palsu” anak buah Ki Go-ceng.

Tadi dia telah dikerjai “patung lilin” ini, meski disergap, tapi jelas ilmu silat orang-orang ini juga tidak lemah, bahkan sangat cepat dan cekatan cara turun tangannya. Tapi sekarang hanya dalam sekejap saja mereka telah dilempar masuk seperti lempar bola, jelas sedikitpun tidak mampu melawan. Maka betapa tinggi kungfu pendatang ini tentu dapat dibayangkan.

Air muka Ki Go-ceng tampak pucat hijau, ia melototi Pwe-giok dan berkata, “Tak tersangka masih ada juga bala bantuanmu, tampaknya tidaklah sedikit kawanmu.”

Tapi seorang lantas menanggapi, “Aku tidak kenal anak muda itu, sebaliknya aku dan kau adalah sahabat lama.”

Suara ini sangat halus dan lembut, empuk dan enak didengar.

Lui-ji dan Thi-hoa-nio sama-sama anak perempuan cantik pembawaan, yang satu adalah puteri Siau-hun-kiongcu yang terkenal pembetot sukma setiap lelaki, yang lain adalah “Khing-hoa-samniocu” yang genit dan pemikat lawan jenisnya, keduanya tahu suara yang enak didengar adalah senjata yang paling ampuh kaum wanita untuk menghadapi kaum lelaki.

Suara mereka sendiri sangat merdu dan enak didengar, tapi kalau dibandingkan suara perempuan pendatang ini, mau tak mau mereka harus tutup mulut dan tidak berani bersaing.

Selain enak didengar suaranya, bahkan apa yang dikatakannya seperti air dingin yang menyiram kepala Cu Lui-ji, sebab pendatang ini ternyata mengaku sebagai sahabat lama Ki Go-ceng.

Hanya Hay Tong-jing saja yang segera memperlihatkan rasa kegirangan, desisnya perlahan, “Inilah guruku, tertolonglah kita.”

Lui-ji melengong, tanyanya kemudian, “Gurumu seorang perempuan?”

Hay Tong-jing tidak menjawabnya dan memang juga tidak perlu menjawab, sebab waktu itu seorang perempuan berbaju hitam sudah muncul.

Mukanya juga memakai cadar sutera hitam, meski Lui-ji tidak dapat melihat jelas wajahnya, tapi entah mengapa, ia merasa perempuan ini pasti cantik tiada bandingannya. Lui-ji tidak pernah melihat wanita bergaya secantik dan seluwes ini.

Jalan perempuan berbaju hitam itu seperti sangat lambat, tapi tahu-tahu sudah berada di dalam, siapapun tidak tahu persis cara bagaimana dia menggeser kakinya dan cara bagaimana masuk ke situ.

Dia memakai jubah panjang warna hitam, panjangnya sampai menyentuh tanah, hanya ujung sepatu saja yang masih kelihatan, pada tangannya juga mengenakan sarung tangan warna hitam.

Meski melihat orang, tapi rasanya sama seperti tidak tahu, yang dilihat Lui-ji hanya pakaiannya saja, namun dalam hati sudah timbul perasaan enak, perasaan aman.

Ki Go-ceng juga seperti kesima memandang perempuan berbaju hitam itu, sampai sekian lama barulah ia menghela nafas dan berkata, “Kiranya kau!”

“Tak kau duga bukan?” ujar perempuan berbaju hitam.

Kembali Ki Go-ceng menghela nafas, lalu berucap pula sambil tersenyum getir, “Kukira sudah lama kau mati.”

Perempuan berbaju hitam itu seperti tersenyum, lalu mendekati Ki Go-ceng dengan perlahan.

Di dalam gua ini suasana dingin dan seram, di atas tanah juga penuh cairan lilin dan mayat. Namun gaya berjalan perempuan itu seperti sedang berada di tengah istana.

Yang dihadapinya juga seorang gila dan kejam, tapi gaya perempuan itu seperti seorang permaisuri yang hendak menghadap Sri Baginda.

Siapapun tidak mengira perempuan lemah gemulai ini adalah tokoh persilatan yang lihay, lebih-lebih tidak ada yang percaya bahwa dalam sekejap tadi dia sudah membunuh lima orang.

Dahi Ki Go-ceng tampak berkeringat, ia menyengir dan berucap, “Belasan tahun tidak bertemu, masakah baru bertemu lantas hendak berkelahi denganku?”

“Aku tidak bermaksud demikian,” jawab si perempuan baju hitam.

Ki Go-ceng seperti merasa lega, ucapnya, “Jika begitu, hendaklah kau berdiri agak jauh. Bila kau mendekat, hatiku lantas berdetak.”

“Kau memang tidak punya hati, mana bisa hatimu berdetak ?” ujar perempuan itu. Dia berjalan dengan lambat, tapi tidak berhenti.

Bibir Ki Go-ceng seperti mengering, ucapnya dengan suara serak, “Sesungguhnya apa kehendakmu?”

Perempuan itu tidak menjawabnya, tapi bertanya malah, “Tahun ini usiamu sudah ada 72 bukan?”

“Ingat juga kau…”

Perempuan itu berucap pula, “Siapapun kalau sudah hidup 72 tahun, tentunya sudah cukup bukan?”

“Apa maksudmu ini?” tanya Ki Go-ceng sambil mengusap keringatnya.

“Apa maksudku masakah belum jelas bagimu?”

“Selama berpuluh tahun ini, siapa pula yang pernah tahu jelas maksudmu?”

Perempuan itu menghela nafas perlahan, lalu berkata, “Ai, kuharap janganlah kau paksa ku turun tangan padamu.”

Air muka Ki Go-ceng berubah hebat, mendadak ia menengadah dan terbahak-bahak, “Hahaha… memangnya baru bertemu kau menghendaki aku segera bunuh diri?”

Meski tertawa, tapi suara tertawanya jauh lebih tidak enak didengar daripada suara menangis.

Pada saat itu juga, mendadak tubuh Ki Go-ceng mengapung ke atas, perawakannya yang kurus itu seperti bukan tubuh manusia melainkan seekor elang yang buas dan lapar.

Namun si perempuan baju hitam tetap berdiri tenang di tempatnya, jika Ki Go-ceng ibaratnya seekor elang, maka dia sama seperti seekor domba. Tapi ketika Ki Go-ceng menubruk tiba, lengan bajunya lantas mengebut perlahan.

Siapapun tidak menyangka kebutan lengan bajunya yang perlahan ini dapat menahan serangan Ki Go-ceng. Maka terdengarlah suara jeritan, bukan perempuan itu yang menjerit melainkan Ki Go-ceng, tubuhnya mendadak mencelat beberapa tombak jauhnya dan menumbuk dinding, “blang”, lalu tubuhnya memberosot ke kaki dinding dan jatuh terduduk, matanya melotot ke arah perempuan baju hitam, ucapnya dengan serak, “Inilah Cing… Cing-gi…”

Belum habis ucapannya, darah segar lantas menyembur dari mulutnya.

Dengan tak acuh, perempuan baju hitam berkata, “Betul, inilah Sian-thian-cing-gi, tajam juga pandanganmu!”

Mendadak Ki Go-ceng bergelak seperti orang gila, teriaknya, “Bagus, haha, bagus! Sian-thian-cing-gi, tiada tandingannya di dunia, matipun aku tidak penasaran.”

Sambil tertawa kaki dan tangannya juga bergerak-gerak, keadaannya benar-benar mirip orang gila.

Percikan darah tampak berhamburan mengikuti suara tertawanya, waktu habis ucapannya darahpun kering, suara tertawa juga berhenti, tinggal kerongkongannya mengeluarkan suara “krok-krok” seperti kodok ngorok.

Meski benci terhadap orang ini, tanpa terasa Lui-ji memejamkan mata juga dan tidak tega memandangnya.

Pwe-giok sendiri pernah mendengar nama “Sian-thian-cing-gi” atau tenaga sakti asli, selama ini ia menyangka ilmu itu hanya dongeng Kangouw seperti halnya orang bilang “pedang dapat dikendalikan dengan hawa” serta “mengirimkan gelombang suara” segala. Ilmu sakti ini mungkin terjadi di jaman dahulu, tapi sekarang tentunya sudah lenyap dan tiada orang yang mampu melatihnya lagi.

Sama sekali tak terpikir olehnya bahwa sekarang dirinya justeru dapat menyaksikan ilmu sakti tersebut.

Dilihatnya Ki Go-ceng telah terkulai di tengah genangan darah, semula masih terus ngorok seperti suara kodok, selang sejenak mendadak tubuhnya melonjak ke atas, lalu jatuh dan tidak bergerak lagi.

Baru sekarang si perempuan baju hitam berpaling dan memandang Pwe-giok. Sinar matanya masih tetap tenang dan lembut, tapi seakan-akan dapat menembus cadar sutera dan menembus darah daging, terus menembus ke lubuk hati Pwe-giok. Tanpa terasa anak muda itu menunduk.

“Kau inikah Ji Pwe-giok, Ji-kongcu ?” tanya si perempuan baju hitam.

Bahwa dia ternyata kenal nama Pwe-giok, bahkan bersikap seramah ini padanya, kalau orang lain tentu akan merasa senang seperti mendapat rejeki di luar dugaan.

Tapi Pwe-giok justeru merasa rada takut. Ia tidak mengerti dirinya ternyata sedemikian terkenal. Ia tahu terkenal bukan sesuatu yang menyenangkan.

“Terkenal” dapat diibaratkan sepotong baju yang mewah, meskipun dapat membuat orang kelihatan cemerlang, tapi harganya terkadang juga sangat menakutkan.

Melihat anak muda itu termenung, Hay Tong-jing lantas menyela, “Ji-heng, guruku sedang bicara denganmu.”

“O, ya, cayhe memang betul Ji Pwe-giok,” cepat Pwe-giok menenangkan diri.

“Baik, coba kau ikut padaku,” kata perempuan itu sambil mengebaskan lengan bajunya perlahan.

Ji Pwe-giok, Hay Tong-jing dan Cu Lui-ji bertiga segera seperti diembus angin sejuk, seketika hiat-to mereka yang tertutuk tadi telah terbebas semua.

Cepat Hay Tong-jing menyembah, “Tecu…”

“Urusanmu dengan Yang Cu-kang sudah kuketahui dan tidak perlu bicara lagi,” kata si perempuan baju hitam, sedikit bergeser, tahu-tahu sudah sampai di luar pintu.

Mendadak Lui-ji menarik tangan Pwe-giok erat, tanyanya dengan suara tertahan, “Hendak kau ikut pergi bersama dia?”

Pwe-giok merasa tangan anak dara itu rada gemetar, tanpa terasa timbul perasaan kasihannya, jawabnya dengan lembut, “Sudah tentu kaupun ikut bersamaku.”

Terbeliak mata Lui-ji, makin kencang ia pegang tangan anak muda itu, katanya, “Kemanapun pasti akan kau bawa serta diriku?”

Pwe-giok terharu, jawabnya, “Ya, kemanapun aku akan tetap berada bersamamu.”

Tapi mendadak si perempuan baju hitam menyeletuk, “Tapi sekali ini dia tidak dapat membawa kau.”

Tubuh Lui-ji tergetar dan melepaskan tangan Pwe-giok, tanyanya dengan parau, “Sebab apa?”

“Sebab aku yang omong,” sahut perempuan itu.

Lui-ji melonjak dan berteriak, “Berdasarkan apa hendak kau pisahkan kami? Meski kau telah menyelamatkan kami, tapi kalau bukan muridmu yang membikin susah kami, tidak nanti kami datang ke sini…”

Suaranya seperti tersumbat, air matanya bercucuran pula, lalu ia menghentakkan kaki dan berteriak lagi, “Jadi adalah pantas jika kau selamatkan kami, berdasar apa lantas bersikap garang dan main kuasa?”

Air muka Hay Tong-jing berubah, ia menyembah di tanah dan memohon, “Dia masih anak kecil, mohon Suhu jangan marah padanya.”

Lui-ji mendongak, ia tahan air matanya dan berseru, “Tidak perlu kau mohonkan ampun bagiku. Aku tidak takut, biarpun dia membunuhku juga aku tidak takut. Matipun aku ingin berada bersama Ji Pwe-giok.”

Ia pegang lagi tangan Pwe-giok dan berkata, “Kau sendiri yang bilang, kemanapun akan kau bawa serta diriku, masa… masa akan kau tarik kembali janjimu?”

Pwe-giok terdiam, dengan lembut ia mengusapkan air mata di pipi anak dara itu, mendadak ia berpaling menghadapi si perempuan berbaju hitam dan berkata, “Sudah ku janji padanya, juga sudah berjanji pada Saceknya, betapapun tidak boleh kutinggalkan dia.”

“Masa hubungan mesra ini saja tidak dapat kau tinggalkan, lalu pekerjaan besar apa yang dapat kau hasilkan?” jengek si perempuan baju hitam.

Dengan sekata demi sekata Pwe-giok menjawab, “Jika aku tidak dapat menepati janji, lalu dapatkah aku dikatakan manusia?”

Perempuan baju hitam memandangnya lekat-lekat, perlahan sinar matanya menampilkan secercah senyuman, ucapnya, “Bagus, bagus, kau memang anak yang baik…” ia melayang ke depan Lui-ji dan perlahan mengangkat tangannya.

Nafas Pwe-giok dan Hay Tong-jing serasa berhenti, sebab mereka tahu, asalkan tangan itu jatuh ke bawah, seketika kepala Lui-ji bisa hancur luluh.

Terdengar perempuan itu bertanya kepada Lui-ji, “Jadi kau merasa berat untuk berpisah dengan dia?”

Dengan menggertak gigi Lui-ji memandangnya dan menjawab, “Siapapun jika ingin memisahkan aku dan dia, lebih dulu dia harus melangkahi mayatku.”

Memandangi tangan si perempuan berbaju hitam, jantung Pwe-giok serasa mau berhenti berdetak.

Tapi tangan perempuan itu perlahan diturunkan lagi, dengan perlahan dia membelai rambut Lui-ji, katanya dengan suara halus. “Kaupun anak yang baik, tapi kalau benar-benar kau suka padanya, selayaknya tidak boleh menjadi bebannya, harus membiarkan dia pergi sendiri untuk melakukan tugas berat.”

Lui-ji melengak, mendadak ia mendekap mukanya dan menangis.

“Bukan maksudku hendak menyuruh dia meninggalkan kau,” kata pula si perempuan baju hitam, “aku hanya menghendaki kalian berpisah untuk sementara, toh kalian masih sangat muda, kesempatan bertemu di kemudian hari kan masih panjang.”

Lui-ji mendelik, ucapnya dengan suara parau, “Baik, tidak perlu kau katakan lagi. Aku akan pergi, pergi seorang diri…” dia mendekap mukanya dan berlari pergi.

Tapi Pwe-giok sempat menariknya dan bertanya, “Hen… hendak kemana kau?”

Sambil menggigit bibir Lui-ji menjawab, “Kaupun tidak perlu urus diriku, dengan sendirinya ada tempat yang ku tuju.”

Meski dia menahan perasaan sedapatnya, tidak urung air mata masih terus berderai.

Meski dunia ini tidak cuma seluas daun kelor, tapi kemanakah dia harus pergi?

Tiba-tiba perempuan berbaju hitam menghela nafas perlahan, ucapnya, “Tong-jing, boleh kau bawa dia pulang ke gunung, tentu akan kusuruh Ji-kongcu kesana untuk mencarinya, tahu tidak?”

Dengan girang dan kejut Hay Tong-jing mengiakan, tanyanya, “Apakah Suhu hendak mengambilnya sebagai murid perempuan?”

Tersenyum juga perempuan baju hitam, jawabnya dengan perlahan, “Dia memang anak perempuan yang baik.”

—–

Cuaca cerah dan hawa sejuk, sang surya memancarkan sinarnya dengan gemilang, meski sudah di buntut musim rontok, namun hawa udara seperti musim semi.

Untuk pertama kalinya Pwe-giok merasakan betapa menyenangkan sinar matahari setelah sekian lama dirundung malang.

Sekarang segalanya sudah mulai ada titik balik, Lui-ji juga mempunyai harapan hari depan yang baik. Berdiri di bawah sinar sang surya yang hangat ini, saking tak tahan hampir saja dia bersenandung sekerasnya.

Satu-satunya urusan yang disesalkannya adalah ia tidak menemukan Kwe Pian-sian dan Ciong Cing, juga tidak menemukan Ki Leng-hong, bisa jadi Ki Leng-hong telah membawa pergi Kwe Pian-sian dan Ciong Cing secara diam-diam.

Tapi kalau dibandingkan dengan hal-hal yang menyenangkan itu, apa artinya sedikit penyesalan.

Didengarnya si perempuan berbaju hitam lagi berkata, “Meski Yang Cu-kang adalah murid khianat, tapi ada sementara urusan dia tidak berdusta, tatkala mana Hay Tong-jing berada di sampingnya, tentunya dia tidak berani berdusta.”

“Apakah Ki Go-ceng adalah Tangkwik-sianseng?” tanya Pwe-giok.

“Bukan,” jawab perempuan baju hitam. “Ki Go-ceng tidak lebih juga cuma salah seorang boneka Tangkwik-sianseng, baik ilmu silat maupun tipu akal dan keganasannya bukan apa-apa kalau dibandingkan dengan Tangkwik-sianseng.”

“Dan Cianpwe sendiri…”

“Terus terang,” tukas perempuan baju hitam sambil menghela nafas, “aku sendiripun bukan tandingan iblis jahat itu.”

“Tapi Sian-thian-cing-gi Cianpwe kan tiada tandingannya di dunia?” ujar Pwe-giok.

“Meski Sian-thian-cing-gi maha sakti, tapi sang pencipta alam ini sangat adil, setiap makhluk setiap barang, selalu diciptakan secara saling anti menganti. Meski kelabang adalah serangga berbisa, tapi ayam jago adalah musuhnya. Biarpun Sian-thian-cing-gi sangat hebat, tetap belum terhitung tiada tandingannya di dunia.”

Setelah menghela nafas, lalu ia melanjutkan. “Demi menghadapi diriku, selama belasan tahun ini Tangkwik-siansing telah berhasil meyakinkan semacam kungfu yang khusus ditujukan untuk melawan Sian-thian-cing-gi. Kalau tidak, mana dia berani muncul lagi di dunia Kangouw?”

“Wah, kungfu apakah itu?” tanya Pwe-giok.

“Bu-siang-sin-kang (ilmu sakti tak berwujud)!”

“Bu-siang-sin-kang?” Pwe-giok menegas. “Wah, setelah berhasil meyakinkan Bu-siang-sin-kang, lantas orang ini boleh malang melintang di dunia Kangouw tanpa takut kepada siapa pun?”

“Di dunia ini sekarang memang tiada seorang pun dapat menandingi dia, orang yang dapat menumpasnya di dunia ini mungkin hanya ada seorang saja,” tutur si perempuan baju hitam.

“Oo, siapa?” tanya Pwe-giok.

“Kau!” jawab perempuan itu tegas.

“Ak… aku?!” Pwe-giok jadi melenggong. “Tapi… aku…”

“Bicara tentang ilmu silat, dengan sendirinya kau bukan tandingannya, tapi kau seorang yang dapat berpikir panjang, berhati tabah, tenang, banyak segi baikmu yang tidak terdapat pada orang lain.”

“Akan tetapi…”

“Apakah kau tahu kisah Heng Ko membunuh raja Cin di jaman Ciankok dahulu?” sela si perempuan baju hitam.

“O, maksudmu aku… akupun harus membunuh Tangkwik-siansing secara gelap?”

“Membunuh secara licik sebenarnya bukan tindakan seorang ksatria sejati,” ujar si perempuan baju hitam. “Tapi keadaan mendesak, urusan sudah terlanjur begini, terhadap iblis jahat seperti dia itu tidak perlu lagi bicara tentang tindakan terang atau gelap.”

“Tapi orang kosen semacam Tangkwik-siansing, cara… cara bagaimana dapat kudekati dia?”

“Banyak sekali kesempatanmu untuk mendekati dia.”

“Caranya?” tanya Pwe-giok.

“Sudah tentu jalan yang paling mudah adalah berusaha mendapat kepercayaan dan kaupun dapat mendekati dia dengan leluasa.”

“Tapi berdasarkan apa Tecu akan mendapatkan kepercayaannya?”

“Tentu saja kau memiliki barang yang bisa mendapatkan kepercayaan Tangkwik-siansing, hanya saja kau sendiripun tidak mengetahuinya.”

“Oo? Sudikah Cianpwe memberi penjelasan?”

“Coba katakan dulu, benda mestika simpanan Siau-hun-kiongcu sudah kau dapatkan bukan?”

Pwe-giok tidak berani berdusta, tanpa pikir dia membenarkan.

Mencorong sinar mata si perempuan baju hitam, katanya, “Dan di antara barang-barang tinggalan Siau-hun-kiongcu itu terdapat sepotong Tik-pai (plat bambu) bukan?”

Orang kosen ini ternyata mempunyai kekuatan yang luar biasa dan pengetahuan yang luas, rasanya sukar sekali bagi orang yang ingin berdusta padanya.

Maka Pwe-giok mengiakan pula.

“Dan Tik-pai itu apakah masih berada padamu?” tanya perempuan baju hitam.

“Syukurlah sampai sekarang masih kusimpan,” jawab Pwe-giok.

“Sebenarnya barang itu cuma sepotong belahan bambu yang sangat umum, tapi dalam pandangan orang lain justeru merupakan benda yang tak ternilai harganya, dan apakah kau tahu dimana letak nilainya yang tinggi itu?”

“Justeru hal inilah yang tidak kuketahui,” jawab Pwe-giok.

“Sebab Tik-pai itu adalah benda kepercayaan Tangkwik-siansing.”

“Benda tanda kepercayaan?”

“Ya, barang siapa memegang pelat bambu itu, seketika jadilah dia tuan penolong Tangkwik-siansing, apapun yang harus dilakukan Tangkwik-siansing atas permintaan orang yang memegang benda itu pasti takkan ditolaknya.”

“O, sebab apa?” tanya Pwe-giok.

“Orang ini meski sangat kejam, tapi berwatak angkuh, tinggi hati, sama sekali dia tidak mau hutang budi, betapapun dia tidak suka ditolong orang. Tak tersangka, 30 tahun yang lalu ia justeru telah utang budi kepada seseorang, dan orang ini justeru tidak mengharapkan balas jasa apapun dari dia. Karena itu, terpaksa dia mengukir sepotong bambu dan diberikan kepada penolongnya itu sebagai tanda kepercayaannya. Pada potongan bambu itu terukir huruf yang mengatakan “melihat Tik-pai sama dengan ketemu orangnya”, jadi Tik-pai itu mewakili Tangkwik-siansing…”

“Ya, ku paham maksudnya,” kata Pwe-giok. “Dan siapakah orang yang memegang Tik-pai itu?”

“Siapapun orang ini tidaklah penting bagi kita, sebab dia sudah mati, yang utama sekarang adalah Tik-pai tersebut sekarang berada padamu,” kata si perempuan baju hitam. “Jika Tangkwik-siansing sudah menyatakan Tik-pai itu sama dengan dia pribadi, maka sekarang kau juga sama sebagai tuan penolongnya. Apapun yang kau minta, pasti dilakukannya tanpa ditolak. Kan sudah kukatakan, watak orang ini sangat tinggi hati, apa yang sudah diucapkannya tidak nanti dijilat kembali.”

“Jadi maksud Cianpwe agar kubawa Tik-pai untuk menemui Tangkwik-siansing dan menyuruh dia memenggal kepalanya sendiri?” tanya Pwe-giok setelah berpikir.

Perempuan baju hitam tertawa, katanya, “Biarpun dia tidak bakalan menjilat kembali apa yang diucapkannya, kala kau minta dia memenggal kepalanya sendiri, betapapun tidak nanti dilakukannya. Jika 30 tahun yang lalu permintaanmu mungkin akan terpenuhi, tapi sekarang, usia seorang kalau sudah tambah lanjut, semakin dekat akhir hayatnya, biasanya orang akan semakin merasakan betapa berharganya jiwa sendiri.”

“Jika demikian, jadi maksud Cianpwe…”

“Boleh kau temui dia dengan membawa Tik-pai dan minta dia mengajarkan Bu-siang-sin-kang padamu.”

“Kemudian?”

“Untuk belajar Bu-siang-sin-kang, tentu saja tidak dapat diselesaikan dalam waktu tiga atau lima hari. Selama kau belajar kungfu padanya, tentu banyak kesempatanmu untuk berdekatan dengan dia.”

“Ya, betul,” kata Pwe-giok.

“Tidak dapat membalas budi, inilah yang dianggapnya penyesalan selama hidup. Sekarang kau datang padanya dengan membawa Tik-pai serta memohon sesuatu padanya, hal ini boleh dikatakan telah melunasi cita-citanya selama ini. Dia pasti akan sangat girang dan takkan tanya asal usulmu, juga pasti tidak berprasangka buruk padamu, pepatah bilang “harimau pun ada kalanya berkedip”. Nah, karena kau dapat mendekati dia setiap saat, tentu banyak kesempatan bagimu untuk turun tangan.”

“Akan tetapi…”

Perempuan baju hitam tidak membiarkan anak muda itu bicara, dengan suara tegas ia menyela, “Setelah kau tahu kejahatan dan rencana kejinya, apa pula yang kau ragukan lagi? Masakah kau tidak ingin menumpas kejahatan bagi dunia Kangouw umumnya, masakah kau tidak ingin membalas dengan bagi dirimu sendiri?”

“Jadi asal usul diriku sudah diketahui Cianpwe?” tergerak hati Pwe-giok.

Perempuan itu tersenyum, katanya, “Tahukah kau siapa yang mengubah bentuk wajahmu ini?”

“Sungguh menyesal, Tecu menerima budi pertolongan beliau, tapi siapa nama beliau yang mulia sejauh ini belum kuketahui,” jawab Pwe-giok dengan sedih.

“Pribadinya juga menanggung penderitaan yang sangat mendalam, sebab itulah sudah lama dia mengasingkan diri dan melupakan nama, tapi dapat kuberitahukan kepadamu, dia adalah sahabatku yang paling karib.”

Mau tak mau Pwe-giok merasa kagum.

“Sudah lama sekali Tangkwik-siansing tidak berani bergerak,” demikian perempuan baju hitam menyambung lagi, “sebabnya adalah karena dia jeri terhadap kami berdua, sebab meski Bu-siang-sin-kang telah berhasil dilatihnya dengan baik, tapi kalau menghadapi gabungan kami berdua, tetap kami sanggup mematikan dia… cuma… cuma sayang…” suaranya semakin lemah dan berubah menjadi helaan nafas.

“Cuma sayang apa?” tanya Pwe-giok. “Masakah beliau sudah…”

Sampai cukup lama si perempuan baju hitam terdiam, habis itu kelihatan terangsang pula, dadanya naik-turun, ia menghela nafas panjang sekali lalu berucap dengan sedih, “Mungkin… mungkin ia sudah terkena tangan keji Tangkwik-siansing…” tapi dengan cepat ia menyambung pula, “Namun urusan ini belum dapat kubuktikan, jika Tangkwik tidak mengetahui jelas dia sudah meninggal, mana dia berani muncul lagi di dunia Kangouw? Justeru lantaran dia sudah mati, maka Tangkwik menjadi berani.”

Pwe-giok mengertak gigi dan berkata, “Apa pesan Cianpwe pasti akan kukerjakan, cuma, kalau gerak-gerik Tangkwik-siansing ini sedemikian misterius, kemana harus kucari dia?”

“Dengan sendirinya sukar bagimu untuk mencarinya, tapi dapat diusahakan agar dia yang mencari kau,” kata perempuan baju hitam.

“O, maksud Cianpwe agar Tecu menyiarkan berita bahwa Tik-pai itu berada pada tanganku?”

“Betul, jika mendengar berita Po-in-pai (pening balas budi) sudah jatuh di tanganmu, tentu dia akan mencari kau betapapun jauhnya.”

“Melihat Tik-pai itu sama melihat orangnya, artinya hanya kenal pada Tik-pai itu dan tidak pula kenal orangnya, tapi sebelum kuserahkan Tik-pai itu padanya, kan setiap orang juga dapat merampas Tik-pai itu dari tanganku?”

“Tapi siapakah yang mampu merebut Tik-pai itu dari tanganmu?” ujar si perempuan baju hitam.

Pwe-giok tersenyum getir, ucapnya, “Bukannya Tecu tidak dapat menilai dirinya sendiri, tapi sesungguhnya orang kosen di dunia Kangouw ini masih sangat banyak.”

“Betul juga ucapanmu,” kata perempuan itu, “dengan ilmu silatmu sekarang, di dunia ini sedikitnya masih ada 13 tokoh yang mampu mengalahkanmu, bisa jadi lebih. Tapi orang-orang ini kebanyakan sudah mengasingkan diri, jika mendengar berita hangat ini, mungkin sekali merekapun akan tertarik, andaikan tidak sampai main rebut secara terang-terangan, bukan mustahil akan mengincarnya secara diam-diam.”

Tanpa memberi kesempatan bicara kepada Pwe-giok, dengan tertawa ia menambahkan pula, “Tapi kau juga sudah memegang Giam-ong ceh (piutang raja akhiran), kenapa mesti takut lagi kepada orang-orang ini?”

“Giam-ong-ceh?” Pwe-giok menegas dengan heran.

“Ya, jika kau pegang Po-sin-pai, masa tidak pegang Giam-ong-ceh?” ujar si perempuan baju hitam.

“Yang Cianpwe maksudkan apakah buku catatan itu?” tanya Pwe-giok.

“Betul,” jawab perempuan itu, lalu dengan perlahan ia berucap, “Manusia bukan nabi, siapa yang tidak pernah berbuat salah? Orang hidup selama berapa puluh tahun, sedikit banyak pasti pernah berbuat salah dan merugikan orang lain, lebih-lebih orang yang sudah terkenal litu, orang hanya melihat sebelah yang gemilang, tapi lupa pada sisi yang lain. Siapapun tidak tahu dengan batu loncatan apa mereka berhasil merangkak ke atas?”

Pwe-giok menghela nafas panjang, iapun tahu jalan menuju sukses memang tidak mudah, untuk bisa mencapai titik final entah perlu melangkahi berapa banyak mayat orang.

“Misalnya,” demikian perempuan baju hitam menyambung lagi, “sebabnya Ang Seng-ki dapat menjadi ketua Hong-bwe-pang, justeru lebih dulu dia membunuh Suhengnya, lalu meracun mati gurunya. Rahasia ini akhirnya toh terbongkar. Tapi sebelum tersingkap, setiap orang Kangouw sama mengakui Ang Seng-ki adalah seorang ksatria sejati, seorang pahlawan besar.”

Pwe-giok menghela nafas dan diam saja.

Perempuan itu melanjutkan, “Setelah rahasianya terbongkar, maka orang hanya menganggap nasib Ang Seng-ki lagi malang, sebab entah berapa banyak peristiwa serupa yang terjadi di dunia Kangouw, hanya saja tidak diketahui orang luar.”

“Jika ingin orang lain tidak tahu, hanya diri sendiri jangan berbuat,” ucap Pwe-giok menyitir pepatah. “Seorang kalau berbuat dosa, lambat atau cepat pasti akan ketahuan.”

“Betul, rahasia apapun juga akhirnya pasti akan terbongkar, dan diseluruh dunia ini, orang yang paling banyak mengetahui rahasia ini ialah Siau-hun-kiongcu.”

“Oo ?!” Pwe-giok bersuara heran.

“Kau tahu Siau-hun-kiongcu cantik molek dan tidak sedikit lelaki yang terpikat, dan saat yang paling sukar untuk menyimpan rahasia kaum lelaki adalah pada waktu berbaring di tempat tidur, di samping si molek.”

Ucapan perempuan baju hitam ini hanya samar-samar, tapi apa maksudnya cukup gamblang bagi pendengarnya.

Artinya, bilamana seorang perempuan cantik tidur bersama kau di suatu tempat tidur, sebuah mulut mungil berbisik-bisik di tepi telingamu, sepasang mata jeli memandangi kau di samping bantal. Dalam keadaan demikian, jika kau dapat tutup rahasia, maka tergolong kuat imanmu dan harus diberi tanda pujian. Sebab kalau seorang dapat menjaga rahasia bagi orang lain, maka hakikatnya kau adalah seorang nabi.

Dan betapapun nabi di dunia ini tidaklah banyak.

“Dari sekian orang yang dikenalnya, Siau-hun-kiongcu telah memperoleh macam-macam rahasia yang tidak diketahui umum,” demikian perempuan baju hitam itu melanjutkan. “Semua rahasia yang didengarnya itu lantas ditulisnya dalam buku catatan itu. Dia memang seorang pintar, dia cukup tahu betapa nilainya sesuatu urusan, ia dapat menunggu naiknya harga pasar. Ditunggunya bilamana harga urusan itu sudah mencapai titik tertinggi barulah dijualnya. Sebab itulah buku catatan itu selalu disimpannya dengan baik dan tidak pernah dibawanya dalam baju, sebab dia yakin pada suatu hari kelak buku catatan itu pasti banyak gunanya.”

“Tapi sejauh itu toh tidak pernah digunakannya,” kata Pwe-giok dengan menyesal.

“Hal ini disebabkan mendadak ia berubah menjadi bodoh,” kata perempuan baju hitam.

“Bodoh?” Pwe-giok menegas.

“Ya, bodoh,” perlahan perempuan baju hitam bertutur. “Di dunia ini ada dua macam orang yang paling bodoh. Yang pertama adalah kakek yang mencintai anak gadis. Kakek semacam ini mungkin saja cerdas, juga kenyang asam garam kehidupan, tapi sering-sering kelabakan dan pusing kepala karena dipermainkan oleh seorang anak dara yang masih berbau pupuk jeringau. Orang semacam ini meski kasihan, tapi tidak ada orang yang bersimpatik padanya, sebab perbuatannya itu adalah akibat tingkah polah sendiri.”

Pwe-giok hanya tersenyum getir saja, ia tahu orang yang tergila-gila kepada anak gadis memang bukan kejadian yang menggembirakan, tapi sering2 malah dramatis, bahkan terkadang juga komedi.

“Dan orang bodoh macam kedua adalah anak gadis yang edan kasmaran,” tutur si perempuan baju hitam lebih lanjut. “Betapapun biasanya anak gadis sangat pintar dan cerdik, sekali dia gila cinta, seketika akan berubah menjadi bodoh dan buta. Sudah jelas orang yang dicintainya itu adalah seorang penjahat, seorang pengeretan, tapi dalam pandangannya lelaki itu adalah orang yang paling jujur di dunia ini, lelaki yang paling menarik. Biarpun lelaki itu bilang padanya bahwa salju itu hitam dan bak (tinta Cina) itu putih, maka iapun akan percaya penuh.”

Pwe-giok jadi teringat kepada Ciong Cing yang tergila-gila kepada Kwe Pian-sian yang sudah berumur itu, tanpa terasa ia menghela nafas menyesal pula.

“Tapi Siau-hun-kiongcu kemudian justeru berubah menjadi orang yang jauh lebih bodoh daripada kedua macam orang tadi, dia bukan saja jatuh cinta secara membuta, bahkan orang yang dicintainya itu adalah binatang kecil yang umurnya lebih muda beberapa puluh tahun daripada dia.”

Kembali Pwe-giok menghela nafas, katanya, “Lantaran orang iniliah, Cu-kiongcu tidak sayang mengorbankan segalanya, dengan sendirinya pula dia tidak mau menggunakan rahasia pribadi untuk mengancam orang tua kekasihnya. Kemudian ketika diketahuinya bahwa mereka semua itu adalah manusia berhati binatang, namun segalanya sudah kasip, sudah terlambat.”

“Betul, memang begitu,” kata perempuan itu. “Tapi dengan kecerdasanmu, apabila buku catatan ini dapat kaupergunakan dengan baik, tentu banyak hal-hal yang mengejutkan dapat kau lakukan, lebih lebih tidak perlu takut orang lain akan mengusik dirimu.”

“Akan tetapi…”

“Tidak perlu kau katakan, kutahu maksudmu,” potong perempuan itu sebelum lanjut ucapan Pwe-giok. “Tapi air memang dapat melajukan kapal dan juga dapat menenggelamkan kapal. Pada dasarnya sesuatu benda itu tidak jahat, bergantung pada hati orang yang menggunakannya, hal ini perlu kau ketahui.”

Pwe-giok mengiakan.

Maka tertawalah perempuan itu, katanya, “Bagus sekali, sudah habis ucapanku, pergilah kau! Pada hari suksesmu, hari itu pula kita akan bertemu. Tatkala mana, segala angan-anganmu akan dapat kubantu kau menunaikannya.”

—–

Ketika bayangan tubuh Pwe-giok menghilang di kejauhan, perempuan baju hitam itu masih tetap berdiri di situ.

Sang surya belum terbenam, remang senja sudah mulai meliputi bumi.

Dalam keremangan senja itu perempuan baju hitam itu mendadak berubah menjadi sangat misterius, sangat menyeramkan.

Dia seperti mempunyai dua macam peran, pada siang hari dia adalah manusia. Tapi bila malam tiba, dia lantas berubah menjadi badan halus dalam kegelapan.

Kini dalam kegelapan telah muncul pula sesosok badan halus yang lain.

Badan halus ini adalah Ki Go-ceng.

Bajunya masih berlepotan darah, tapi mukanya sudah tercuci bersih, kedua matanya yang mencorong itu menampilkan senyuman yang misterius, katanya dengan terkekeh, “Wah, hari ini tidaklah sedikit pembicaraanmu.”

“Untuk mengurangi sedikit kesulitan di kemudian hari, apa alangannya bicara lebih banyak?” ujar si perempuan berbaju hitam.

“Bunuh saja dia agar tidak mendatangkan kesulitan?” kata Ki Go-ceng.

Perempuan baju hitam menggeleng, “Kau tidak paham…”

“Aku memang tidak paham mengapa kau suruh aku pura-pura mati dan mengapa melepaskan dia?”

“Sebab hanya dengan jalan ini dapatlah memancing dia menceritakan berbagai urusan ini.”

“Sudah diceritakannya?” tanya Ki Go-ceng.

“Ya, dia sudah mengaku memang dialah anaknya Ji Hong-ho, bahkan dugaanku juga tidak keliru, memang betul si anjing tua itu yang mengubah bentuk wajahnya, dua hal inilah yang selama ini tidak dapat kupastikan…”

“Setelah sekarang sudah diketahui dengan pasti, mengapa kaulepaskan dia?”

Kembali perempuan itu menggeleng, “Kau tidak paham, tapi selekasnya kau akan tahu…”

“Kuharap semoga kau tidak berbuat salah.”

“Bilakah aku pernah melakukan sesuatu kesalahan?” jengek perempuan baju hitam. Mendadak ia menyurut mundur dua langkah dan berkata, “Tubuhmu itu berdarah, kenapa tidak ganti pakaian dulu?”

“Haha, kaupun mengira ini darah sungguhan, tampaknya makin lama makin hebat kepandaianku,” kata Ki Go-ceng dengan tertawa.

Perempuan itu tertawa, ucapnya, “Kepandaianmu memang tidak kecil.”

“Eh, dimanakah muridmu itu?”

“Maksudmu Hay Tong-jing?”

Ki Go-ceng mengiakan.

“Dia sudah pulang dengan membawa Cu Lui-ji dan Thi-hoa-nio.”

“Apakah dia tahu urusan kita ini?”

Dengan sekata demi sekata si perempuan baju hitam menjawab, “Untuk suksesnya urusan besar, makin sedikit orang yang mengetahui seluk beluknya akan makin baik.”

“Dan bagaimana dengan Yang Cu-kang?” tanya pula Ki Go-ceng.

“Demi suksesnya usaha kita, kanperlu mencari beberapa orang untuk dijadikan kambing hitam?” jawab perempuan berbaju hitam dengan perlahan.

—–

Tanpa terasa musim rontok sudah lalu, makin dinginlah angin yang bertiup.

Selama beberapa hari terakhir ini boleh dikatakan selalu dilalui oleh Pwe-giok dalam keadaan tegang. Setiap hari selalu terjadi hal-hal yang tidak terduga, satu persatu susul menyusul, yang satu lebih berbahaya daripada yang lain sehingga menimbulkan pikirannya bahwa hari ini mungkin adalah hari kehidupannya yang terakhir. Dan baru sekarang dia benar-benar dapat menghela nafas lega.

Sekarang baru diketahuinya keadaan sendiri yang nelangsa, baju yang dipakainya sangat tipis dan kotor, harus ganti dan perlu mandi sebersihnya.

Jika tidak mati, maka dia harus hidup sebaik-baiknya.

Dia ingin mencari suatu tempat yang santai, lebih dulu mandi dan bersihkan muka, lalu ganti pakaian bersih. Terbayang betapa nikmatnya berendam dalam air panas, sekujur badan seketika terasa gatal.

Cuma sayang, dalam saku Pwe-giok sekarang tertinggal beberapa mata uang saja. Seorang kalau keselamatan jiwa selalu terancam, dalam keadaan demikian barulah dia melupakan uang.

Petang itu dia sampai di suatu kota kecil, dengan dua duit dia membeli sekotak geretan dan membeli mi pangsit dengan empat duit. Waktu dia meninggalkan kota kecil itu, sakunya sudah kosong melompong.

Namun hati terasa sangat senang, terutama rahasia orang-orang ternama adalah hal yang paling menarik bagi siapapun.

Sifat suka menyelidiki rahasia orang lain memang merupakan sifat buruk manusia.

Begitulah di luar kota Pwe-giok mendapatkan sebuah tempat yang teraling dari tiupan angin, di situ ia membuat api unggun, setelah dipanggang dengan api, timbullah huruf-huruf yang tertulis pada buku catatan tinggalan Siau-hun-kiongcu.

Nama-nama yang tercatat di dalam buku harian itu memang seluruhnya terdiri dari tokoh-tokoh terkenal, kebanyakan sudah pernah didengar Pwe-giok, diantaranya termasuk kesepuluh tokoh top seperti Tonghong Tay-beng, Li Thian-ong, Oh-lolo cinjin, dan sebagainya, juga nama ketua ke-13 orang besar yang ikut dalam pertemuan Wi-ti semuanya tercatat di situ.

Yang paling menyolok dan mendebarkan bagi Pwe-giok adalah nama ketiga orang ini, Ki Go-ceng, Hong Sam, dan Ji Hong-ho.

Ia hampir tidak percaya kepada matanya sendiri. Selama hidupnya ayahnya terkenal jujur dan lurus, tidak kemaruk harta, tidak cari nama. Lalu ada perbuatan apa yang juga dianggap berdosa?

Meski dia tidak percaya, tapi juga tidak berani tidak percaya.

Ketika membaca nama Hong Sam, halaman itulah dilewatkan.

Hong Sam adalah saudaranya, sahabatnya, biarpun pernah berbuat sesuatu kesalahan juga dapat dimaklumi, maka iapun tidak ingin tahu.

Tapi dia tidak melampaui catatan mengenai Ki Go-ceng. Dilihatnya di bawah nama Ki Go-ceng tercatat keterangan: Berzinah antar kakak dan adik.

Jantung Pwe-giok seakan-akan berhenti berdenyut. Sungguh sukar dipercaya di dunia ini ternyata ada manusia yang tidak tahu malu dan kotor begini. Tapi mau tidak mau ia harus percaya, sebab lantas teringat olehnya putera Ki Go-ceng, yaitu Ki Cong-hoa, kalau bukan hasil perzinahan antara kakak dan adik, manabisa melahirkan orang yang gila itu?

Tapi anehnya Ki Leng-hong dan Ki Leng-yan tidak mendapatkan bibit jahat keturunan mereka. Padahal umumnya putera-puteri orang kerdil juga jarang yang normal. Apakah mereka memang bukan puteri sedarah Ki Cong-hoa?

Pwe-giok jadi teringat pada lorong di bawah tanah di Sat-jin-ceng atau perkampungan pembunuh orang itu. Di lorong rahasia itu ditemukannya sepotong batu giok, lalu teringat pula kekasih Ki-hujin yang misterius itu. Tidak perlu disangsikan lagi orang itu jelas adalah anggota keluarga Ji (mengenai Sat-jin-ceng dan keluarga Ki, hendaknya baca Renjana Pendekar).

Apakah semua itulah rahasia pribadi “Ji Hong-ho” gadungan itu?

Pwe-giok tidak berani memikirkannya lagi, tapi ia tahu bila urusan ini tidak dibikin terang, kelak setiap saat toh masih tetap akan teringat olehnya.

Tanpa terasa ia membalik halaman yang tercatat nama “Ji Hong-ho”. Tangannya terasa gemetaran dan jantung berdetak keras.

Dilihatnya di bawah nama “Ji Hong-ho” itu tertulis keterangan: kakak beradik tidak akur, adik diusir sehingga menjadi bandit. Wajahnya kelihatan alim, tapi perbuatannya rendah.

Di samping terdapat pula sebaris huruf kecil yang menjelaskan “Bandit di padang pasir utara It-koh-yan (satu gulung asap) ialah adik Ji Hong-ho, diusir sang kakak sejak kecil, akhirnya menjadi penjahat. Sang kakak terkenal sebagai orang suci, adiknya tersohor sebagai bandit. Sungguh lucu.”

Seketika tangan Pwe-giok berkeringat dingin.

Teringat olehnya waktu kecil pernah didengarnya mempunyai seorang Jicek atau paman kedua, tatkala mana ibunya belum meninggal dunia, apabila dirinya bertanya mengenai paman itu, sang ibu lantas marah dan menjawab, “Jicek sudah mati, sudah lama mati.” — Bahkan disuruhnya selanjutnya jangan bertanya pula.

Dan baru sekarang diketahuinya sang paman tidak mati, jika demikian apakah kekasih gelap Ki-hujin itu memang betul pamannya? Jangan-jangan Ki Leng-hong dan Ki Leng-yan adalah puteri pamannya, hasil hubungan gelap antara sang paman dengan Ki-hujin?

Selama ini Ki Leng-hong terus berusaha melindungi dirinya, apakah lantaran di antara mereka memang ada semacam hubungan darah dan kontak perasaan yang aneh?

Selagi Pwe-giok termenung-menung sendiri, tiba-tiba didengarnya bunyi gemertak roda kereta. Seorang yang memakai mantel ijuk dan bertopi caping dengan mendorong sebuah gerobak roda satu tampak muncul dari arah timur.

Dalam kegelapan tidak kelihatan barang apa yang termuat di atas gerobak itu, tapi dari jauh sudah tercium bau obat-obatan, jadi muatan gerobak itu kebanyakan adalah bahan obat-obatan.

Jalanan di daerah Sujwan memang tidak datar, tapi banyak liku jalan pegunungan yang sukar dilalui kereta dan kuda. Hanya gerobak roda satu beginilah yang paling leluasa didorong kian kemari. Di daerah pegunungan Sujwan juga banyak menghasilkan bahan obat-obatan, maka pedagang obat di berbagai daerah kebanyakan adalah orang Sujwan.

Orang dengan gerobak roda satu ini tidak ada sesuatu yang istimewa, jika orang lain tentu takkan menaruh perhatian. Tapi Pwe-giok justeru merasa orang ini dan gerobaknya perlu dicurigai.

Dari suara roda kereta dapat diketahuinya barang muatan gerobak itu cukup berat, padahal umumnya bobot bahan obat-obatan sangat ringan.

Curah hujan di daerah Sujwan sangat sedikit, tapi orang ini justeru memakai mantel ijuk yang biasanya cuma dipakai kalau hari hujan, meski mendorong kereta seberat ini, namun langkahnya sangat cepat dan enteng, tidak kelihatan makan tenaga.

Saudagar obat-obatan biasanya juga suka berkelompok, tapi orang ini menempuh perjalanan seorang diri, bahkan kini sudah jauh malam dan dia masih meneruskan perjalanannya.

Semua ini cukup menimbulkan curiga. Hanya saja saat ini Pwe-giok tidak sempat memikirkan orang lain. Sedangkan tukang gerobak itupun sedang mendorong dengan kepala tertunduk dan tidak memperhatikan anak muda itu.

Pada saat itulah, sekonyong-konyong dari kejauhan bergema pula derap kaki kuda lari yang riuh, hanya sekejap saja, suara itu sudah mendekat, nyata kuda ini berlari dengan sangat cepat.

Pwe-giok terkejut oleh suara derap kaki kuda yang cepat itu, dalam kegelapan malam yang sunyi, suara kaki kuda ini kedengarannya sangat menusuk telinga. Namun si tukang gerobak tadi ternyata tidak angkat kepala dan juga tidak berpaling, seperti orang yang tidak mendengar apa-apa.

Tampak seekor kuda membedal dengan cepat, kira-kira masih tiga tombak jauhnya serentak si penunggang kuda melayang dari pelana kuda dan sekali berjumpalitan di udara, seperti burung seriti menerobos hutan, dengan tepat ia hinggap di depan si tukang gerobak.

Kuda yang ditinggalkannya itu meringkik nyaring dan berhenti seketika.

Diam-diam Pwe-giok memuji, “Orangnya cekatan, kudanya tangkas!”

Tapi si tukang gerobak seolah-olah tidak tahu apa yang terjadi, ia masih terus mendorong gerobaknya ke depan dengan tunduk kepala.

Padahal si penunggang kuda tepat menghadang di tengah jalan, tampaknya gerobak itu segera akan menumbuknya, namun dia tetap tidak bergerak sedikitpun, sungguh tenang dan tabah luar biasa.

Sekarang dapat dilihat Pwe-giok potongan badan penunggang kuda itu pendek lagi gemuk, sehingga mirip sebuah bola. Pada punggungnya justru menyandang sebatang pedang yang amat panjang, bentuknya menjadi rada lucu.

Namun sikapnya ternyata luar biasa, dia hanya berdiri di situ, seketika timbul semacam wibawa yang membikin orang jeri dan tidak berani menghinanya.

Meski tidak dapat melihat jelas mukanya, tapi diam-diam Pwe-giok sudah dapat menduga siapakah orang buntak ini.

Ketika gerobak yang didorongnya itu persis hampir menyentuh tubuh orang, barulah mendadak dihentikan, begitu cepat berhentinya seperti halnya rem pakem pada kendaraan bermesin jaman kini. Padahal muatan gerobak itu sangat berat, tapi baginya ternyata tidak ada artinya, sekali mau berhenti segera berhenti.

Baru sekarang si penunggang kuda menengadah dan bergelak tertawa, serunya. “Hahaha, mengapa Auyang-pangcu telah berganti usaha menjadi saudagar obat-obatan ? Wah, inilah baru berita !”

Kiranya si tukang gerobak adalah Auyang Liong, pemimpin besar ke 72 kelompok bajak di perairan Tiangkang. Orang ini sudah pernah dilihat Pwe-giok sewaktu rapat di Hong-ti, cuma sekarang pentolan bajak ini memakai topi dan jas hujan, sehingga wajah aslinya tertutup, tadi Pwe-giok juga merasa orang seperti sudah pernah dikenalnya, cuma tidak ingat siapa dia.

Begitulah terdengar Auyang Liong sedang menjawab dengan tertawa, “Tajam benar pandangan Hi-tocu, kagum, kagum !”

Dia mendorong capingnya ke atas, lalu menyambung pula. “Hi-tocu sendiri tidak memancing ikan saja di lautan selatan, tapi jauh-jauh lari ke sini, memangnya ada pekerjaan apa? Memangnya jabatan pemimpin besar lautan selatan juga sudah ditinggalkan Hi-tocu dan sekarang telah berganti jenis usaha?”

Benar juga, Pwe-giok tidak salah lihat, si buntak ini memang betul gembong bajak laut di daerah selatan, terkenal sebagai Hui-hi-kiam-khek atau si pendekar pedang ikan terbang, namanya Hi Soan.

Kedua orang ini sama-sama bajak, yang satu bajak laut, yang lain perompak sungai, tapi sekarang keduanya bertemu di daratan sini. Jelas ini tidak terjadi secara kebetulan, diam-diam Pwe-giok merasa heran.

Barang apakah muatan gerobak Auyang Liong itu? Sesungguhnya ada usaha apakah di antara mereka?

Pwe-giok memang bersembunyi di balik batu yang teraling dari tiupan angin, sebab itulah meski dia menyalakan api unggun juga tidak diketahui oleh kedua orang itu, apalagi sekarang api unggun itu sudah mulai padam.

Terdengar Hi Soan berkata lagi, “Kedatanganku dari jauh ini, masakah Pangcu tidak tahu apa sebabnya?”

“Memang tidak tahu, mohon penjelasan, “jawab Auyang Liong.

“Pangcu sendiri datang untuk apa, untuk urusan yang samalah ku datang, kenapa Pangcu berlagak pilon?” kata Hi Soan dengan tertawa.

Auyang Liong berdiam sejenak, mendadak ia mengeluarkan semacam barang dan berkata, “Apakah Hi-tocu juga menerima barang ini ? ”

Yang terpegang di tangan Auyang Liong hanya sehelai kartu undangan saja, dengan kedudukan mereka, biarpun setiap hari menerima kartu undangan juga tidak mengherankan, tapi anehnya tangan Auyang Liong yang memegang kartu undangan itu justru rada gemetar seperti orang ketakutan.

Setelah melihat kartu undangan itu, tertawa Hi Soan seketika pun lenyap, jawabnya sambil menghela napas, “Betul, tahun ini akupun tertimpa sial.”

“Hahaha!” Auyang Liong tertawa. “Tahun ini Hu-patya berusia 70 tahun, jauh-jauh beliau mengirim undangan ke laut selatan, hal ini kan suatu kehormatan besar bagi Hi-heng, kenapa malah kau katakan sial?”

Hal ini juga yang membuat Pwe-giok heran. Bahwa orang mengirim kartu undangan padanya, hal ini menunjukkan orang yang diundang itu cukup luas bergaul, biarpun perjalanan terlalu jauh dan tidak dapat hadir sendiri, kan dapat mengutus orang dengan membawa kado sekedar tanda hormat. Padahal gembong kang-ouw seperti mereka ini masakah perlu hemat sedikit kado?

Tapi dari suara tertawa Auyang Liong yang penuh rasa bersyukur itu, rasanya seperti orang yang dekat ajalnya mendadak menemukan seorang pengiring yang akan masuk kubur bersama. Hal ini benar-benar membikin Pwe-giok tidak habis mengerti.

Terdengar Hi Soan tertawa ngekek, katanya, “Betul juga ucapan Pangcu, undangan Hu-patya memang harus kuterima sebagai suatu kehormatan, hanya saja, sudah dua bulan ini kucari kian kemari dan belum menemukan suatu kado yang sekiranya cocok. Coba, bagaimana baiknya kalau menurut pendapat Pangcu?”

Pwe-giok bertambah heran. Mengirim kado adalah tanda persahabatan, asalkan kirim, bagaimanapun bentuk kado itu, tentunya takkan ditolak oleh si penerima. Apalagi emas perak, batu permata, benda antik, bahan baju dan makanan, semuanya juga dapat dijadikan sebagai kado. Masakah Hui-hi-kiam-khek yang terkenal kaya raya sampai mengalami kesukaran mencari kado, hal ini sukar untuk dipercaya bagi siapapun yang mendengarnya.

Auyang Liong lantas mendengus, “Hi-tocu dikenal setiap orang kangouw sebagai hartawan dan tokoh berpengaruh, kalau mengaku sukar mendapatkan kado, alasan ini apakah tidak lucu?”

Hi Soan termenung sejenak, mendadak ia tanya, “Pernahkah Pangcu mendengar orang yang bernama The Hian?”

“Maksudmu apakah The-tocu dari Ci-sah-to sahabat karib Hi-tocu sendiri?” tanya Auyang Liong. “Meski pengetahuan Cayhe kurang luas, tapi kalau nama The-tocu saja pernah kudengar.”

“Dan tahukah kau cara bagaimana kematiannya?” tanya Hi Soan pula.

Auyang Liong melengak, sahutnya, “Apakah The-tocu meninggal sakit?”

—–

Tokoh macam apakah Hu-patya dengan ilmu pukulan saktinya dan muslihat apa dibalik hari ulang tahunnya yang mengharapkan kado dari para tetamunya?

Cara bagaimana Pwe-giok akan mencari jejak Tangkwik-siansing?

—–

Dipublikasi ulang oleh Cerita Silat – WordPress

5 Comments »

  1. nice blog..

    salam kenal ya…

    Comment by anonymous — 12/06/2010 @ 7:49 pm

  2. Salam kenal balik, mas.

    Comment by ceritasilat — 14/06/2010 @ 11:34 am

  3. […] “Masa…masa orang-orang ini seluruhnya patung lilin?” tanya Thi-hoa-nio. (more…) Comments (2) […]

    Pingback by SILAT ALA WORDPRESS « bacolpasir — 15/02/2011 @ 12:02 pm

  4. […] Imbauan Pendekar – 12 Filed under: Imbauan Pendekar — Tags: Imbauan Pendekar — ceritasilat @ 1:35 am […]

    Pingback by SILAT ALA WORDPRESS « bacolpasir — 15/02/2011 @ 12:02 pm

  5. […] orang-orang ini seluruhnya patung lilin?” tanya Thi-hoa-nio. (more…) Comments […]

    Pingback by SILAT ALA WORDPRESS « bacolpasir — 15/02/2011 @ 12:02 pm


RSS feed for comments on this post. TrackBack URI

Leave a reply to SILAT ALA WORDPRESS « bacolpasir Cancel reply

Create a free website or blog at WordPress.com.