Kumpulan Cerita Silat

11/06/2009

Pendekar-Pendekar Negeri Tayli – 61

Filed under: Pendekar-Pendekar Negeri Tayli — Tags: — ceritasilat @ 1:32 pm

Oleh Jin Yong

(Terima Kasih Kepada Tungning)

Tatkala itu udara sebenarnya gelap gulita, tapi di bawah sinar pelita yang terang itu semua orang dapat melihat dengan jelas melayang turunnya Buyung Hok yang indah dan cekatan itu, semua orang tercengang dan kagum luar biasa.

Di tengah suara jerit maki yang menyeramkan itu tiba-tiba bergema pula suara sorak puji yang gemuruh sehingga jerit teriak orang yang tersiksa itu kalah kerasnya.

Tadi waktu ia melayang turun gayanya sangat lambat dan indah, tapi sekarang ia menubruk ke bawah dengan cepat seperti elang menyambar anak ayam, di mana bayangannya tiba, sekonyong-konyong kedua kakinya menginjak kepala seorang yang pendek gemuk di tepi batu padas itu.

Kiranya sesudah mengincar dengan cermat dari atas tiba-tiba ia melihat tangan orang gendut buntak ini memegang sebuah benda yang mirip sebuah wajan kecil dengan gerak-gerik seperti hendak menjepretkan jarum berbisa lagi. Maka segera ia mendahului menyambarnya.

Namun si gendut itu juga sangat gesit, sebelum batok kepalanya terinjak kaki Buyung Hok, dengan cepat sekali ia menjatuhkan diri terus menggelinding pergi seperti bola. Karena itu, Buyung Hok telah menginjak tempat kosong, namun segera ia susuli dengan hantaman keras ke punggung lawan.

Waktu itu si gendut baru saja hendak merangkak bangun karena pukulan Buyung Hok dari jauh itu, “plak”, kembali ia terjungkal lagi terkena pukulan itu.

Tapi sekalian ia terus pentalkan diri beberapa meter jauhnya, habis itu barulah berbangkit.

Namun pukulan Buyung Hok teramat hebat, baru saja si gendut sempat berdiri dengan agak sempoyongan, mendadak badannya tergeliat dan kembali jatuh tersungkur pula.

Serentak terdengar suara teriakan orang ramai, “Song Tho-kong, mana obat penawarmu, lekas keluarkan!”

Berbareng mereka lantas menyerbu ke arah si gendut buntak itu.

“Kiranya si pendek gendut itu adalah Song Tho-kong!” demikian Ting Pek-jwan dan Pau Put-tong sama membatin. Karena mereka juga buru-buru ingin menangkapnya untuk mendapatkan obat penawar guna menyembuhkan luka para saudara angkatnya, maka berbareng mereka pun membentak dan menubruk ke sana.

Sementara itu Song Tho-kong tampak menggunakan tangan menyangga tanah dan bermaksud merangkak bangun, tapi rupanya ia sudah terluka tidak ringan, tenaga sudah tidak mau menuruti kehendak hatinya lagi, baru saja badannya terangkat sedikit, “bluk”, kembali ia jatuh lagi.

Dalam pada itu Pau Put-tong sudah menubruk tiba, sekali cengkeram ia hendak remas pundak Song Tho-kong. Cengkeramannya menggunakan tenaga sekuatnya dengan tujuan agar musuh tak bisa berkutik lagi.

Tak terduga baru saja kelima jarinya memegang pundak orang, tiba-tiba telapak tangannya terasa sakit luar biasa, cepat ia tarik kembali tangannya, ketika diperiksa, ternyata tangan sudah penuh darah.

Kiranya Song Tho-kong itu memakai baju yang penuh dipasang jarum lembut sehingga mirip seekor landak yang berduri tajam.

Jarum-jarum itu juga berbisa, maka dalam sekejap saja Pau Put-tong merasa telapak tangannya pegal linu dan gatal luar biasa, saking gatalnya sehingga hatinya serasa seperti dikilik-kilik, saking tak tahan, sungguh ia ingin potong saja tangannya.

Dalam kejut dan gusarnya, segera sebelah kaki Pau Put-tong melayang hendak menendang pantat Song Tho-kong. Ia lihat orang gendut itu meringkuk di tanah seperti babi, tendangannya itu pasti akan kena sasarannya dengan keras.

Tapi ketika kakinya sudah hampir mengenai pantat orang mendadak Put-tong sadar, “Wah, celaka! Jika pantatnya juga penuh terpasang jarum yang tajam bukankah kakiku ini akan hancur?”

Padahal saat itu kakinya sudah melayang ke depan dan untuk menariknya kembali terang tak bisa lagi, tiada jalan lain terpaksa Pau Put-tong miringkan tendangannya sehingga hanya menyenggol sedikit celana Song Tho-kong, sekalian tubuh Pau Put-tong lantas ikut berputar seperti kitiran.

Dalam pada itu Pek-jwan dan lain-lain juga sudah menubruk tiba, tapi mereka menjadi kaget melihat Pau Put-tong yang jelas dapat menawan Song Tho-kong itu entah mengapa mendadak tangan Put-tong malah terluka sendiri. Mereka melihat Song Tho-kong masih bertiarap di atas tanah tanpa bergerak, seketika itu mereka menjadi tidak berani sembarangan bertindak.

Dasar watak Put-tong memang sangat keras dan tak mau kalah, sekali ia keselomot, sudah tentu ia tidak mau tinggal diam lagi, tanpa pikir segera ia angkat sepotong batu besar sambil berteriak, “Awas, minggir! Biar kugecek mampus kura-kura bangsat ini!”

Tapi segera ada orang mencegahnya, “Jangan, jangan! Kalau digebuk mati, tentu kita takkan mendapatkan obat penawarnya!”

Lalu ada orang lain ikut berteriak, “Obat penawar pasti berada dalam bajunya, ayolah tumbuk mampus dia dulu baru nanti ambil obatnya!”

Rupanya berkumpulnya para petualang yang menyebut dirinya dewa ke-36 gua dan ke-72 pulau itu masing-masing mempunyai maksud tujuan sendiri dan sama sekali tiada rasa persatuan, buktinya ketika Pau Put-tong ingin menggecek mampus Song Tho-kong ternyata ada juga yang menyatakan setuju bahkan beramai-ramai mengemukakan usulnya.

Begitulah di tengah suara orang banyak itu, Put-tong tidak peduli lagi, ia angkat batu besar itu, dengan langkah lebar ia mendekati Song Tho-kong, ia incar punggung orang buntak itu dengan tepat sambil membentak, “Biar kugecek mampus kura-kura berduri ini!”

Tatkala itu Put-tong merasa gatal pegal di tangannya bertambah hebat dan susah ditahan lagi, maka sekali ia ayun tangannya, langsung batu besar itu menghantam punggung Song Tho-kong. “Blang”, terdengar suara gemuruh yang keras dibarengi debu pasir beterbangan.

Orang-orang itu ada yang girang dan ada yang khawatir pula. Mereka menduga Song Tho-kong pasti akan hancur lebur seperti perkedel tertumbuk batu besar itu, tapi mereka menjadi terkejut, karena sama sekali mereka tidak mendengar suara jeritan Song Tho-kong, sebaliknya mengapa debu pasir bisa berhamburan?

Ketika mereka memerhatikan, mereka tambah tercengang. Ternyata batu besar yang dihantamkan Pau Put-tong itu masih tetap di atas tanah, sebaliknya Song Tho-kong sudah menghilang entah ke mana.

Cepat sekali Pau Put-tong berpikir demi melihat keadaan yang ganjil itu, segera ia depak batu besar itu. Maka tertampaklah di bawah tanah situ terdapat sebuah liang, besarnya cuma sebesar 20-an senti saja, padahal badan Song Tho-kong segemuk babi, masakah dia dapat menyusup ke dalam liang sekecil itu seperti kelinci?

Ia tidak tahu bahwa nama Song Tho-kong memakai kata “tho” atau tanah, dengan sendirinya dalam hal menggangsir tanah ia sangat mahir. Ia dapat menggangsir dengan sangat cepat dengan menggunakan tangan dan kaki sesudah itu ia terus menyusup ke dalam liang yang digangsirnya itu.

Tadi waktu Buyung Hok menginjak tutup wajannya sehingga dia tidak dapat keluar, saat itu ia telah membuka pantat wajan dan meloloskan diri ke bawah tanah.

Sesudah tertegun sejenak, segera Pau Put-tong mencari pula tempat sembunyi Song Tho-kong, ia pikir sekali pun dapat menggangsir, toh hanya manusia dan bukan tenggiling, paling banter juga cuma satu-dua meter jauhnya dan hanya dapat sembunyi untuk sementara saja, masakah dapat menghilang?

Tapi selagi ia mencari, tiba-tiba terdengar seruan Buyung Hok, “Ini dia, di sini!”

Berbareng itu lengan bajunya terus mengebas sepotong batu padas. Kiranya batu padas itu sebenarnya bukan batu melainkan punggung Song Tho-kong yang menonjol ke atas. Dasar kelakuan Song Tho-kong itu memang aneh-aneh dan macam-macam caranya mengelabui mata orang, kalau bukan pandangan Buyung Hok yang tajam tentu susah menemukan jejaknya.

Dan sekali angin kebasan lengan baju Buyung Hok tiba, seketika badan Song Tho-kong yang bulat itu mencelat ke udara.

Sejak terkena pukulan Buyung Hok tadi, luka Song Tho-kong sebenarnya cukup parah, sekarang menjadi lebih-lebih tidak sanggup melawan sedikit pun, terpaksa ia berteriak-teriak, “Sabar dulu, jangan menyerang lagi, aku akan memberikan obat penawarnya!”

“Jangan khawatir, aku takkan menyerang lagi,” kata Buyung Hok dengan tersenyum dan mengebaskan lengan baju lagi sehingga Song Tho-kong dapat turun ke bawah dengan enteng tanpa alangan.

Tiba-tiba terdengar suara orang berseru dari jauh, “Koh-soh Buyung benar-benar hebat dan bukan omong kosong belaka!”

“Terima kasih atas pujianmu!” sahut Buyung Hok dengan merendah.

Pada saat itu juga, sekonyong-konyong sejalur sinar emas dan sejalur sinar perak menyambar tiba dari sebelah kiri, begitu hebat sambaran sinar emas perak itu sehingga mengeluarkan suara mendenging.

“Senjata apakah yang lihai ini?” diam-diam Buyung Hok membatin. Ia tidak berani ayal, segera kedua lengan bajunya mengebas pula memapak ke depan.

“Blung,” angin kebasannya tertolak kembali sebaliknya sinar emas dan perak itu pun terpental balik. Dan baru sekarang terlihat dengan jelas, kiranya kedua jalur sinar emas perak itu adalah dua utas selendang yang panjang lagi lebar, yang sebuah berwarna emas dan yang lain berwarna perak.

Dari tenaga benturan tadi Buyung Hok sudah dapat menjajal bahwa tenaga dalam orang yang menggunakan selendang warna emas itu lebih kuat daripada kawannya yang memakai selendang warna perak itu. Tapi terasa juga olehnya bahwa tenaga yang dikeluarkan orang yang menggunakan selendang perak itu belum dikerahkan seluruhnya, sebaliknya orang yang bersenjata selendang emas telah mengeluarkan segenap tenaga dalamnya yang ada.

Maka tertampaklah di depan sana berdiri dua orang, semuanya kakek-kakek, yang bersenjata selendang emas berjubah putih perak dan yang bersenjata selendang perak berjubah warna emas, jadi terbalik warna jubah dan senjata yang mereka pakai itu.

Jubah mereka pun gemerlapan menyilaukan mata, jubah macam begitu pada umumnya tidak ada orang yang mau pakai kecuali pemain sandiwara di atas panggung.

Terdengar si kakek jubah perak berkata, “Hebat, sungguh kagum, marilah terima sekali lagi serangan berdua!”

Menyusul sinar emas berkelebat, selendang emas menyambar pula dari sebelah kiri, sebaliknya selendang perak tiba-tiba menyendal ke atas terus menyambar turun ke bawah untuk menyerang kepala Buyung Hok.

“Kedua Cianpwe….” baru Buyung Hok hendak bicara, mendadak terdengar suara menderu, tiga batang golok panjang membabat pula dari bagian bawah.

Rupanya musuh telah menggunakan “Te-tong-to”, ilmu golok bergelindingan di tanah, tiga orang telah bekerja sama dengan sangat rapat untuk menyerang bagian bawah tubuh Buyung Hok.

Ilmu golok dengan cara bergelindingan di tanah itu sebenarnya jarang digunakan oleh jago silat kelas wahid, sebab yang diarah selalu bagian bawah badan musuh, daya tempurnya terbatas pula dengan main bergulingan di tanah juga merosotkan pamor seorang tokoh ternama.

Tapi terdengar dari suara sambaran golok ketiga penyerang itu, rasanya tenaga dalam mereka pun tidak lemah dan dapat digolongkan jago kelas dua. Apalagi sekarang mereka tiga bergabung menjadi satu, golok mereka menyambar susul-menyusul dengan cepat, kalau lena sedikit tentu sasarannya bisa binasa, maka betapa pun tidak boleh dipandang enteng.

Jadi saat itu Buyung Hok menghadapi serangan dari tiga jurusan, dari atas, samping kiri, dan depan bawah. Diam-diam ia pikir, “Pihak lawan terkenal sebagai Tongcu ke-36 gua dan Tocu ke-72 pulau, jumlah mereka sangat banyak, kalau aku tidak mendahului memberi hajaran pada mereka, tentu urusan sukar diakhiri.”

Waktu itu dilihatnya ketiga golok musuh sedang menyambar tiba pula dari bawah, ia incar dengan tepat dan menendang tiga kali secepat kilat sehingga tiap-tiap tendangannya mengenai pergelangan tangan musuh, tiga batang golok mereka kontan mencelat ke udara.

Ketika Buyung Hok menggeser tubuh ke samping, sedikit ia geraki tangan, dengan ilmu “Tau-coan-sing-ih” yang lihai, tahu-tahu ujung selendang emas diputar balik, “plak”, selendang emas itu saling melilit menjadi satu dengan selendang perak kawannya.

Sementara itu ketiga orang yang memainkan Te-tong-to juga sudah menerjang maju, tiga batang golok mereka mendadak ditimpukkan, bahkan mereka tidak terus mundur, sebaliknya pentang tangan dan hendak merangkul kedua kaki Buyung Hok sambil mengeluarkan suara kalap.

Dalam keadaan berkelahi satu lawan banyak, sudah tentu Buyung Hok tidak mau badan tersentuh lawan, sekali kaki melayang, secepat angin hiat-to penting di dada ketiga orang itu ditendangnya hingga terjungkal.

Pada saat itulah seorang berbaju hitam dengan tangan dan kaki serbapanjang melompat maju, ia pentang tangannya yang lebar itu dan sekali raih segera Song Tho-kong diangkat olehnya ke atas.

Seperti diceritakan, pada badan Song Tho-kong itu penuh berduri sebagai landak, tapi tangan orang berbaju hitam itu entah berkulit setebal badak atau memakai sarung tangan istimewa sehingga tidak takut pada duri di badan Song Tho-kong itu, dan sekali sasarannya diangkat segera ia melompat mundur lagi sejauh beberapa meter.

Melihat gerak-gerik si baju hitam itu sangat gesit dan cekatan, terang kepandaiannya jauh lebih tinggi dari yang lain, diam-diam Buyung Hok berkhawatir, “Kalau Song Tho-kong kena digondol lari orang ini, untuk mencari obat penawarnya pasti akan sangat sulit.”

Berpikir demikian, tanpa ayal lagi segera ia lompat melintasi tiga sosok tubuh yang menggeletak di tanah itu terus menghantam orang berbaju hitam itu.

Mendadak orang itu tertawa panjang, tahu-tahu sebilah golok melintang di depan dadanya, nyata sebatang golok yang sangat tajam dan mengeluarkan sinar berkilauan. Kiranya sebatang kui-thau-to, yaitu ujung golok berbentuk kepala setan dengan punggung golok agak tebal.

Dalam keadaan begitu, kalau pukulan Buyung Hok diteruskan, itu berarti tangan sendiri sengaja disodorkan untuk dimakan senjata musuh.

Namun Buyung Hok bukanlah Buyung Hok jika cuma sekian saja kemampuannya, ia tetap hantamkan tangannya itu, ketika tangan sudah tinggal beberapa senti hampir mengenai golok musuh, mendadak tangannya memotong ke samping mengikuti batang golok lawan, jadi tujuannya hendak memotong jari tangan si baju hitam yang memegang golok itu.

Dengan tenaga dalam Buyung Hok yang hebat, betapa kuat tebasan tangannya itu boleh dikatakan tidak kalah tajamnya dengan kui-thau-to lawan. Karena tidak menyangka akan perubahan serangan Buyung Hok itu, maka terdengar orang berbaju hitam itu bersuara heran perlahan, lekas ia buang goloknya dan menggunakan tangan untuk memapak serangan Buyung Hok.

“Plak”, kedua tangan saling beradu dan kembali si baju hitam bersuara heran pula, badan tergeliat, tapi masih sempat melompat mundur lagi beberapa meter jauhnya dengan tangan kiri tetap mencangking badan Song Tho-kong yang gendut buntak itu.

Ketika tangan Buyung Hok membalik kembali, dengan cepat ia masih sempat menyambar golok kui-thau-to lawan yang dilepaskan itu. Segera hidungnya mencium bau busuk amis yang memualkan. Ia tahu pada golok itu tentu dilumasi racun yang mahajahat.

Walaupun sekali gebrak Buyung Hok dapat merampas senjata lawan, tapi dilihatnya pada pihak musuh sudah ada beberapa orang mengadang di depan si baju hitam dengan senjata lengkap, kalau hendak merampas kembali Song Tho-kong dengan menerjang orang banyak itu terang bukan pekerjaan gampang. Apalagi sesudah mengadu tangan tadi, ia merasa tenaga si baju hitam agak lebih lemah daripada dirinya, namun mempunyai sesuatu kepandaian yang aneh dan istimewa, biarpun bertarung satu lawan satu juga takkan dapat merobohkannya dalam waktu singkat.

Dalam pada itu terdengar teriakan dan caci maki orang banyak yang sudah tak sabar lagi, semua memaki Song Tho-kong dan minta obat penawarnya lekas dikeluarkan untuk menyembuhkan rasa sakit gatal mereka yang tak tertahankan itu.

Di bawah cahaya obor tertampak bayangan orang berlari kian kemari, semuanya sedang minta si baju hitam lekas mengeluarkan obat penawar dari baju Song Tho-kong.

“Baiklah! Nah, Song-gendut, lekas serahkan obat penawarmu,” kata orang berbaju hitam itu.

“Harus kau lepaskan aku dahulu!” seru Song Tho-kong.

Tapi si baju hitam menjawab, “Sekali aku melepaskanmu, tentu kau akan ditawan musuh. Mana boleh kulepaskanmu? Ayolah lekas keluarkan obat penawarmu!”

Serentak orang banyak juga berteriak dan memaki untuk mendesak Song Tho-kong lekas menyerahkan obat penawarnya.

Maka dengan suara yang serak Song Tho-kong berkata, “Obat penawar kupendam di dalam tanah, kalau aku tidak dilepaskan, cara bagaimana aku dapat mengeluarkannya?”

Semua orang melengak oleh keterangan itu. Mereka percaya apa yang dikatakan Song Tho-kong itu pasti betul, sebab Song Tho-kong terkenal suka sembunyi di dalam gua atau liang di bawah tanah, jika dia menyimpan sesuatu di bawah tanah tentu bukan omong kosong.

Meski Buyung Hok tidak mendengar suara teriakan dan rintihan Kongya Kian dan Hong Po-ok, tapi ia dapat membayangkan bila orang lain berteriak-teriak tidak tahan oleh siksaan racun Song Tho-kong itu maka dapat diduga kedua kawannya itu pun pasti juga serupa keadaannya. Jalan satu-satunya sekarang harus berusaha sebisanya merebut kembali Song Tho-kong urusan lain boleh dipikirkan belakang.

Maka sekali berteriak, terus saja ia putar kui-thau-to rampasannya dan menerjang ke tengah-tengah orang banyak.

Ting Pek-jwan dan Pau Put-tong menjaga rapat di samping kedua kawannya, mereka menyaksikan Buyung Hok menerjang ke tengah musuh bagai harimau mengamuk di tengah kawanan kambing, siapa yang berani merintangi segera dirobohkannya.

Melihat terjangan Buyung Hok yang hebat itu, si baju hitam tidak berani memapaknya, sambil membawa Song Tho-kong ia sengaja menyingkir jauh-jauh.

Maka terdengarlah teriakan orang ramai, “Awas, senjata yang dipakai dia adalah ‘Lik-po-hiang-lo-to’, jangan sampai kena dilukai olehnya! Wah, sungguh celaka, Lik-po-hiang-lo-to itu kena direbut olehnya!”

Dan di mana Buyung Hok tiba, ternyata semua orang sama menghindarinya dengan rasa jeri. Maka dapat diduganya kui-thau-to itu pasti bukan senjata sembarangan, padahal golok itu berbau busuk, tapi justru diberi nama “Lik-po-hiang-lo-to” (Golok Harum Sari Wangi) segala, sungguh menggelikan.

Diam-diam ia pikir pula, “Dengan golok berbisa ini tidaklah susah bagiku untuk membunuh sepuluh atau dua puluh tongcu atau tocu mereka ini, tapi selama ini aku tiada permusuhan apa-apa dengan mereka, buat apa mesti banyak menimbulkan korban? Kalau permusuhan ini semakin mendalam dan mereka tidak mau memberikan obat penawarnya, maka keadaan Jiko dan Siko tentu akan payah dan sukar tertolong.”

Karena pikiran itulah, maka tatkala Buyung Hok menerjang dan menyerbu, ia tidak melukai atau membunuh lawan lagi, hanya kalau ada kesempatan segera ia menutuknya hingga roboh atau menendangnya hingga terjungkal.

Semula orang-orang itu sangat panik dan jeri, tapi demi melihat daya guna golok yang diputar Buyung Hok itu tidak membahayakan, maka mereka menjadi tenang kembali, dalam sekejap saja serentak senjata mereka dikeluarkan untuk mengerubut Buyung Hok.

Meski kepandaian Buyung Hok sangat tinggi, tapi dikerubut puluhan orang, seketika ia agak kerepotan juga, apalagi di luar kepungan itu masih ada beratus orang pula, mau tak mau ia agak khawatir juga.

Tidak lama kemudian, Buyung Hok pikir kalau pertarungan begitu diteruskan tentu sukar diakhiri, tampaknya terpaksa ia harus turun tangan keji. Maka sekali goloknya berputar, pada saat lain dua orang musuh kena diketok roboh oleh gagang goloknya.

Tiba-tiba terdengar seruan Ting Pek-jwan, “Manusia rendah, jangan mengganggu nona Ong!”

Ketika Buyung Hok melirik ke sana, dilihatnya ada dua orang sedang melompat ke atas untuk menyerang Giok-yan yang nongkrong di atas pohon itu. Pek-jwan tampak memburu maju dan beruntun melancarkan serangan sehingga seorang musuh kena dicegat olehnya, tapi seorang lagi sempat meloncat ke atas pohon namun segera terdengar suara jeritannya, ternyata orang itu kena didepak oleh Ong Giok-yan.

Buyung Hok agak lega. Tapi segera terlihat ada tiga orang melompat lagi ke atas, maka tahulah dia akan tujuan orang-orang itu, “Tentu mereka ingin menangkap Piaumoay untuk dijadikan sandera, sungguh rendah perbuatan mereka ini.”

Tapi ia sendiri sedang dikeroyok dan sukar melepaskan diri.

Pada saat lain dilihatnya dua orang wanita yang melompat ke atas itu berhasil mencengkeram lengan Giok-yan terus diseret turun ke bawah. Seorang thauto (hwesio berambut) yang memakai gelang emas di atas kepala telah melintangkan goloknya pada leher Giok-yan sambil berteriak, “Buyung-siaucu, kau mau menyerah atau tidak? Kalau tidak, segera akan kupenggal kepala jantung hatimu ini!”

Buyung Hok terkesiap juga oleh ancaman itu, ia tahu orang-orang itu sangat kejam, berani berkata berani berbuat, sungguh celaka kalau Piaumoay benar-benar dibunuh oleh mereka.

Tapi Koh-soh Buyung selama ini malang melintang di Bu-lim, masakah sekarang harus menyerah kepada ancaman orang? Kalau sekarang menyerah, cara bagaimana kelak dapat berkecimpung pula di dunia Kangouw?

Hati berpikir, tapi tangan tidak menjadi kendur, sekali tangan kirinya menampar, kontan dua orang musuh kena dihantam hingga mencelat beberapa meter jauhnya.

“Apa benar-benar kau tidak mau menyerah? Baiklah, biar kupenggal kepala nona jelita ini!” seru pula thauto tadi, dan goloknya yang kemilauan itu terus diangkat ke atas.

“Tahan dulu, jangan sekali-kali mencelakai nona Ong, biarlah aku saja yang menyerah padamu!” demikian tiba-tiba terdengar seruan seorang dari lereng gunung sana.

Saat lain, tertampaklah sesosok bayangan orang sedang datang secepat terbang, beberapa orang yang berdiri di jalanan sana kedengaran membentak-bentak dan hendak merintangi tapi dengan menyelinap ke kanan dan membelok ke kiri, tahu-tahu orang itu sudah menerobos lewat dari rintangan orang banyak dan memburu tiba. Di bawah cahaya obor yang terang dapatlah terlihat dengan jelas, nyata dia bukan lain adalah Toan Ki.

“Untuk menyerah kan urusan panjang, demi nona Ong, kau minta aku menyerah seratus kali atau seribu kali juga jadi,” demikian seru Toan Ki sambil berlari mendekati thauto tadi, lalu katanya lagi, “He, lekas kalian lepas tangan, untuk apa kalian menangkap nona Ong?”

Giok-yan tahu Toan Ki tidak mahir ilmu silat tapi toh berani menolongnya tanpa menghiraukan keselamatan sendiri, sungguh rasa terima kasihnya tak terhingga. Segera serunya, “Toan… Toan-kongcu, kiranya engkau?”

“Ya, ya, aku!” sahut Toan Ki kegirangan.

“Persetan! Kau ini apa?” damprat thauto tadi.

“Aku manusia! Memangnya kau kira apa?” sahut Toan Ki.

“Plak”, mendadak tangan thauto itu membalik dan kena tampar di bawah dagu Toan Ki dan kontan pemuda itu terjungkal ke samping, kebetulan kepalanya membentur sepotong batu, seketika darah bercucuran.

Melihat cara lari Toan Ki tadi terang memiliki ginkang yang sangat tinggi maka thauto itu yakin pemuda itu pasti memiliki ilmu silat yang lihai, pukulannya barusan sebenarnya cuma serangan pura-pura saja, sebaliknya tebasan goloknya yang segera akan dilontarkan bila pemuda itu berkelit barulah benar-benar serangan yang berbahaya.

Siapa duga hantamannya yang tidak sungguh-sungguh itu malah kontan merobohkan Toan Ki, keruan ia terkesima malah. Sementara itu dilihatnya Buyung Hok masih menerjang kian kemari dengan gagahnya, segera ia berteriak, “Sekali lagi kuperingatkan supaya kau menyerah saja, kalau tidak segera kepala nona ini kupenggal sungguh-sungguh, apa yang Hudya (tuan Buddha) katakan selamanya terbukti dan tidak omong kosong. Nah, kau mau menyerah atau tidak? Satu… dua….”

Buyung Hok menjadi serbasulit, bicara tentang hubungan persaudaraan mereka, sudah tentu tidak nanti ia biarkan Giok-yan dibunuh musuh. Tapi nama “Koh-soh Buyung” yang agung itu tidak boleh menyerah di bawah ancaman orang sehingga kelak akan dibuat buah tertawaan orang Kangouw.

Maka ia terus berteriak menjawab, “Thauto bangsat, jangan kau mimpi bahwa Kongcuya mau menyerah padamu. Tapi kalau kau berani mengganggu seujung rambut nona itu, kalau aku tidak mencincangmu hingga hancur luluh aku bersumpah takkan menjadi manusia lagi!”

Sembari berseru ia lantas menerjang ke arah Giok-yan. Tapi dua-tiga puluh orang yang bersenjata lengkap telah mengerubutnya dari muka dan belakang sehingga susah melepaskan diri.

Sebaliknya thauto tadi menjadi gusar, teriaknya, “Aku justru akan bunuh anak dara ini, ingin kulihat kau mampu mengapakan Hudya?”

Habis berkata, goloknya diangkat dan segera diayun ke leher Giok-yan.

Karena khawatir keserempet, maka kedua wanita yang memegangi lengan Giok-yan itu lekas-lekas lepas tangan dan melompat mundur.

Saat itu Toan Ki baru merangkak bangun, dengan tangan kiri mendekap batok kepala yang “bocor” itu ia meringis kesakitan. Tapi demi dilihatnya si thauto benar-benar hendak memenggal kepala Giok-yan dan gadis itu tampak berdiri terpatung di tempatnya seperti ditutuk orang dan sama sekali tak dapat melawan atau menghindar, keruan kejut Toan Ki tidak kepalang, sekali jarinya menuding, “crit-crit”, mendadak lengan si thauto yang memegang golok itu terpotong putus, golok bersama lengan putus yang masih mencengkeram senjata itu jatuh ke tanah.

Kiranya dalam keadaan gugup dan khawatir, secara otomatis tenaga murni di dalam badan Toan Ki bergolak sehingga “Lak-meh-sin-kiam” dapat dikeluarkan dan sekali tuding lengan thauto itu kena dipotong putus olehnya. Menyusul itu Toan Ki terus berlari maju, segera ia tarik Giok-yan ke atas punggungnya dan digendong sambil berseru, “Lari paling perlu!”

Thauto tadi bernama Pa-gan-thauto (Thauto Bermata Harimau), Tocu (penguasa pulau) Yame-san-to, orangnya sangat jahat dan ganas. Biar sebelah lengannya sudah putus dan sangat kesakitan, tapi saking gusarnya ia menjadi kalap pula, segera ia gunakan tangan yang masih hidup itu untuk menyambar lengan sendiri yang putus tadi, ia mengerang keras sekali terus melemparkan lengan putus itu bersama golok yang masih tergenggam ke arah Toan Ki.

Timpukan lengan putus bersenjata itu sangat cepat dan lihai, untung dalam gugupnya Toan Ki masih sempat menuding pula ke belakang. “Crit”, satu jurus “Siau-yang-kiam” dilontarkan dan tepat mengenai golok yang terpegang lengan putus itu.

Seketika golok itu tergetar jatuh dari cekalan lengan putus, sebaliknya lengan putus itu masih tetap menyambar ke depan dan “plok”, pipi Toan Ki tepat terbentur sehingga mirip ditempeleng sekali.

Memangnya batok kepala Toan Ki sudah keluar “kecap” sekarang ditambah puyeng tujuh keliling oleh tempelengan itu, langkahnya menjadi sempoyongan. Tapi ia masih ingat dengan baik bahwa Ong Giok-yan harus diselamatkan. Maka dengan langkah ajaib “Leng-po-wi-poh,” cepat ia menerjang keluar kepungan orang banyak.

Meski kawanan orang-orang itu segera hendak merintangi sambil berteriak-teriak dan membentak-bentak, tapi dengan “Leng-po-wi-poh” yang hebat itu dapatlah Toan Ki menyusup kian kemari dan menerjang keluar kepungan.

Hanya sekejap saja Toan Ki sudah meninggalkan orang banyak dengan menggendong Giok-yan karena khawatir dikejar lagi, ia terus berlari sehingga lebih satu li baru berhenti, setelah menghela napas lega lalu ia turunkan Giok-yan.

Tapi dengan wajah merah Giok-yan berkata, “Tidak, tidak, Toan-kongcu, hiat-to badanku kena ditutuk musuh, aku tidak sanggup berdiri.”

“O, jika begitu, katakanlah tempat hiat-to yang tertutuk itu, biarlah aku membukanya,” kata Toan Ki sambil memegangi bahu nona itu.

“Tidak, tidak perlu,” sahut Giok-yan. “Sebentar lagi hiat-to yang tertutuk akan buyar sendiri, engkau tidak perlu membukanya bagiku.”

Kiranya untuk membuka hiat-to yang tertutuk itu harus memijat “Sin-hong-hiat”, sedangkan Sin-hong-hiat itu terletak di bagian dada, sudah tentu Giok-yan merasa malu mengatakan hal ini.

Sebaliknya Toan Ki tidak tahu hal itu, ia malah berkata lagi, “Di sini sangat berbahaya, lebih baik kubuka hiat-tomu saja agar kita bisa melarikan diri.”

Tapi Giok-yan menggeleng kepala tanda tidak setuju. Ketika ia memandang ke belakang, dilihatnya Buyung Hok dan Ting Pek-jwan masih bertempur di tengah kepungan musuh. Karena khawatirkan keselamatan sang piauko, segera ia berkata, “Toan-kongcu, Piaukoku masih terkepung musuh, kita harus kembali ke sana untuk menolongnya.”

Pedih rasa Toan Ki mendengar ucapan itu. Ia tahu yang dipikir Giok-yan hanya Buyung Hok seorang saja. Seketika Toan Ki merasa putus asa, pikirnya, “Rinduku kepadanya terang takkan terkabul, hari ini biarlah aku membantu dia mencapai cita-citanya dan biarlah aku mati bagi Buyung Hok. Aku tidak mahir ilmu silat, tapi aku akan menerjang lagi ke dalam kepungan musuh dengan segala risiko.”

Karena pikiran itu, segera ia menjawab, “Baiklah, boleh kau tunggu di sini, biar aku menyerbu ke sana untuk menolong Piaukomu.”

Tapi Giok-yan berkata, “Tidak, tidak! Engkau tidak mahir ilmu silat, cara bagaimana hendak kau tolong dia?”

“Bukankah tadi aku pun dapat menggendongmu dan lolos dengan selamat?” sahut Toan Ki tersenyum.

Giok-yan tahu “Lak-meh-sin-kiam” yang menjadi andalan Toan Ki itu terkadang manjur dan terkadang tak berguna, maka ia masih khawatir, katanya pula, “Tadi hanya kebetulan saja, karena… karena kau khawatirkan keselamatanku dan mendadak Lak-meh-sin-kiam dapat dikeluarkan. Tetapi terhadap Piaukoku belum tentu dapat kau lakukan seperti terhadap diriku, mungkin… mungkin….”

“Jangan khawatir, terhadap Piaukomu aku pun akan perlakukan serupa seperti terhadap dirimu,” kata Toan Ki.

Namun Giok-yan tetap geleng kepala, katanya, “Toan-kongcu, kurasa tidak baik, hal itu agak berbahaya bagimu.”

“Nona Ong,” seru Toan Ki dengan membusungkan dada, “pendek kata, asalkan engkau yang minta aku menyerempet bahaya, biarpun mati juga aku tidak menolak.”

Kembali air muka Giok-yan berubah merah, sahutnya lirih, “Engkau sungguh sangat baik terhadapku, aku merasa sangat berterima kasih.”

“Tidak apa-apa, tidak apa-apa,” seru Toan Ki dengan bersemangat dan segera bermaksud menyerbu kembali ke medan pertempuran.

Tapi Giok-yan berkata pula, “Toan-kongcu, aku tak bisa bergerak, jika kau tinggalkan aku, tentu aku bisa celaka bila ada orang jahat datang kemari….”

Toan Ki menjadi bingung, ia garuk-garuk kepala dan berkata, “Ya, bagaimana ini… ini….”

Sebenarnya maksud Giok-yan ingin Toan Ki menggendongnya lagi dan kemudian pergi membantu Buyung Hok, cuma permintaan demikian sukar diucapkannya. Maklum, betapa pun adalah memalukan jika seorang anak perawan minta digendong seorang jejaka.

Karena itu ia bicara secara samar-samar dengan harapan Toan Ki dapat menangkap maksudnya, tapi dasar bebal, Toan Ki justru tidak mengerti, ia hanya garuk-garuk kepala dan kukur-kukur kuping dengan bingung.

Dalam pada itu suara pertempuran di sana terdengar semakin gemuruh, suara benturan senjata juga semakin ramai, nyata Buyung Hok semakin sengit melabrak lawan yang banyak itu.

Giok-yan menginsafi kekuatan musuh yang besar itu, ia menjadi khawatir dan tak menghiraukan rasa malu lagi, segera ia berkata, “Toan-kongcu, tolong suka menggendong aku lagi dan kita bisa lantas pergi membantu Piauko, bukankah cara ini paling baik!”

Toan Ki seperti sadar dari impian, serunya, “Ya, ya, betul! Goblok, mengapa aku tidak dapat memikirkan cara baik ini!”

Segera ia berjongkok dan membiarkan Giok-yan menggemblok di atas punggungnya.

Waktu pertama kali Toan Ki menggendong Giok-yan tadi, yang dipikir olehnya ialah gadis itu harus diselamatkan, lain tidak. Tapi sekarang kembali sesosok tubuh yang halus empuk menggemblok di atas punggungnya, kedua tangannya merangkul pula kedua kaki si nona, meski teralang oleh pakaian, tapi dapat juga dirasakan oleh Toan Ki kehalusan kulit badan nona cantik itu.

Selama ini, siang malam, baik dalam renungan maupun dalam impian, yang selalu terbayang dalam kalbu Toan Ki melulu Ong Giok-yan seorang. Telah diketahuinya bahwa nona itu ikut pergi bersama Buyung Hok, beratus kali, mungkin beribu kali Toan Ki memperingatkan dirinya sendiri agar lekas tinggal pergi ke arah sendiri saja, tapi aneh, kakinya seakan-akan tak berkuasa dan tanpa terasa tetap mengintil jejak nona itu dari jauh.

Sejak ia makan katak merah sehingga memiliki “Cu-hap-sin-kang” yang sakti itu, tanpa merasa ia telah memiliki ginkang yang tinggi, jalannya cepat dan enteng, maka selama dia menguntit di belakang Giok-yan itu sama sekali tak diketahui oleh Buyung Hok. Tentang Giok-yan dinaikkan ke atas pohon dan Buyung Hok melabrak musuh, semuanya itu disaksikan Toan Ki dengan jelas.

Maka ketika si thauto hendak membunuh Giok-yan dan memaksa supaya Buyung Hok menyerah, dengan sukarela Toan Ki terus tampil ke muka dan bersedia mewakilkan Buyung Hok untuk “menyerah”, tapi pihak musuh justru tidak sudi menerima “jasa baik” yang diajukan Toan Ki itu, akibatnya thauto itu mesti mengorbankan sebelah lengannya malah.

Sekarang Toan Ki menggendong Giok-yan lagi, mau tak mau perasaannya berdebar-debar dan pikirannya menyeleweng, namun segera ia mendamprat dirinya sendiri, “Toan Ki, dalam keadaan begini, mengapa kau berani timbul pikiran menyeleweng, kau benar-benar binatang! Orang kan gadis ‘ting-ting’ yang suci bersih dan agung tapi, kau pikirkan hal yang kotor, ini berarti kau telah menodai dia, sungguh kurang ajar dan harus dihajar, ya harus dihajar, ya harus dihajar!”

Terpikir “harus dihajar,” eh, betul-betul Toan Ki angkat tangan terus menampar beberapa kali pada muka sendiri, berbareng ia percepat langkahnya dan berlari ke depan bagai terbang.

Sudah tentu Giok-yan sangat heran atas kelakuan Toan Ki itu, ia tanya, “Ada apa Toan-kongcu?”

Dasar Toan Ki memang jujur, Giok-yan dipujanya sebagai bidadari dari kahyangan, tentu saja ia tidak berani berdusta, maka dengan terus terang ia menjawab, “Sungguh harus dihajar, sebab telah timbul pikiranku yang tidak hormat terhadap nona!”

Giok-yan paham kata-katanya itu sehingga mukanya berubah merah jengah seketika.

Pada saat itu tiba-tiba seorang tosu (imam) dengan pedang terhunus memapak ke arah mereka sambil berteriak, “Keparat, bocah ini berani datang mengacau lagi!”

Dan sekali tusuk, dengan gerak “Tok-liong-cut-tong” (Naga Berbisa Keluar dari Liang), langsung dada Toan Ki hendak diarah.

Dengan sendirinya Toan Ki menggunakan langkah ajaib “Leng-po-wi-poh” untuk menghindar. Tiba-tiba didengarnya bisikan Giok-yan, “Jika dia menusuk lagi dari kiri, cepat kau putar ke sebelah kanan dan tepuk ‘Thian-cong-hiat’ di bawah iganya.”

Benar juga, menyusul tosu itu menusuk pula dari sebelah kiri. Maka dengan cepat Toan Ki menggeser ke sebelah kanan, “plok”, kontan ia tepuk “Thian-cong-hiat” menurut ajaran Giok-yan tadi.

Rupanya hiat-to itu memang merupakan ciri kelemahan imam itu, meski tepukan Toan Ki itu tidak keras, tapi sudah cukup membuat imam itu tumpah darah dan ketakutan setengah mati, segera ia lari terbirit-birit.

Tapi baru saja tosu itu dihalau pergi, segera ada dua orang lelaki kekar menerjang tiba pula. Namun Giok-yan memang serbapintar dan serbapaham segala macam ilmu silat, dengan suara perlahan ia memberi sedikit petunjuk kepada Toan Ki dan segera pemuda itu dapat membereskan pula kedua lawan.

Melihat kemenangan yang diperoleh ternyata sangat gampang, sedang si nona selalu berbisik-bisik di tepi telinganya, hawa mulutnya yang sedap dan bau harum yang keluar dari badan nona itu membuat semangat Toan Ki berkobar-kobar meski pada saat itu jiwanya sedang dipertaruhkan di medan pertempuran.

Ketika ia merobohkan dua musuh pula, sementara itu jaraknya dengan Buyung Hok sudah tinggal beberapa meter saja. Sekonyong-konyong ada angin menyambar, tahu-tahu dua lonjor bayangan hijau seperti cambuk menyabat ke arah Toan Ki. Dan baru saja ia menggeser ke samping tiba-tiba salah satu cambuk itu dapat menegak di udara untuk kemudian menyambar pula dengan cepat dan gesit luar biasa.

Seketika Giok-yan dan Toan Ki menjerit kaget demi mengetahui bahwa kedua lonjor benda lemas itu ternyata bukan senjata melainkan dua ekor ular hidup.

Kalau pembaca tidak lupa, tentu masih ingat permulaan Toan Ki bertemu dengan Ciong Ling tatkala itu gadis cilik itu juga menggunakan ular hidup sebagai senjata, tapi Ciong Ling menggunakan senjata ular untuk mengalahkan musuh, sebaliknya sekarang musuh menggunakan ular hidup untuk menyerang Toan Ki sendiri, jadi keadaannya sama sekali berlainan.

Maka segera Toan Ki mempercepat langkahnya dengan maksud melampaui kedua penyerang itu, tak terduga kedua orang berbaju hijau yang bersenjata ular itu bertubuh pendek kecil dan gerak-gerik mereka pun sangat lincah, beberapa kali Toan Ki menyelinap ke sana dan ke sini selalu kena dicegat mereka. Diam-diam ia mengeluh, segera ia tanya Giok-yan, “Wah, bagaimana ini, nona Ong?”

Dalam hal ilmu silat boleh dikatakan Giok-yan serbatahu, tapi cara menggunakan ular sebagai senjata, terang ini tidak tercatat dalam kitab ilmu silat mana pun. Biasanya tidaklah susah baginya untuk mengenali setiap gerakan atau setiap jurus dari aliran mana pun, tapi untuk menaksir bagaimana serangan ular itu akan dilontarkan musuh sekarang dia boleh dikatakan mati kutu.

Diam-diam Giok-yan pikir, “Untuk menaksir jurus serangan ular hidup terang sangat susah, biasanya menangkap rampok harus menangkap benggolannya, kukira kedua pemain ular ini yang harus dirobohkan dahulu.”

Namun gerakan kedua pemilik ular itu kalau dibilang aneh memang juga aneh, dikatakan tidak aneh, tampaknya memang tidak aneh. Gerak-gerik mereka sangat cepat tapi sangat kaku dan bodoh, terang mereka tidak pernah belajar ginkang apa segala, namun demikian mereka dapat meloncat kian kemari secepat kera.

Karena itu, susah bagi Giok-yan untuk menaksir tipu serangan yang akan dilancarkan mereka, setiap kali ia suruh Toan Ki menyerang suatu tempat, aneh juga, selalu dapat dihindarkan oleh mereka dengan sangat lincah dan cerdik.

Begitulah, sembari berpikir cara untuk mengalahkan musuh Giok-yan terus memerhatikan juga keadaan sang piauko, dalam pada itu riuh ramai pula suara jeritan orang yang kesakitan, berpuluh orang yang terkena jarum berbisa Song Tho-kong tadi sama bergelimpangan di tanah sambil berteriak-teriak tak tahan.

Sedangkan orang berbaju hitam yang menawan Song Tho-kong tadi lagi mendesak agar menyerahkan obat penawar, tapi obat penawar yang dikehendaki itu justru dipendam di sebelah Buyung Hok, karena jeri kepada kelihaian Buyung Hok, si baju hitam tidak berani sembarangan maju, ia hanya berteriak-teriak mendesak kawannya agar menyerang lebih gencar dengan maksud mendapatkan obat penawar untuk menolong kawan-kawannya yang lain. Tapi untuk merobohkan Buyung Hok bukanlah pekerjaan yang gampang.

Tiba-tiba terdengar suara perintah seorang, tiga di antara pengeroyok Buyung Hok itu segera mundur, lalu digantikan oleh tiga orang baru yang terdiri dari tokoh pilihan semua. Lebih-lebih seorang di antaranya yang pendek ternyata memiliki tenaga yang hebat, ia putar sepasang senjata yang berbentuk palu baja. Ketika Buyung Hok menangkis dengan golok, lengannya tergetar sampai pegal, keruan ia terkejut. Maka waktu palu orang menghantam lagi, segera ia berkelit dan tidak mau menangkis pula.

Dalam pertarungan sengit itu, tiba-tiba terdengar seruan Ong Giok-yan, “Piauko, gunakan ‘Gin-ting-ban-cian’, lalu ganti dengan ‘Pi-kim-tang-hong’.”

Buyung Hok kenal kepandaian sang piaumoay dalam teori ilmu silat jauh lebih pintar daripada dia sendiri, cuma nona itu tidak suka berlatih sendiri, tapi untuk mengajar orang lain boleh dikatakan adalah seorang mahaguru yang sukar dicari.

Maka ia pun tidak meragukan petunjuk sang piaumoay itu, segera goloknya berputar hingga mengeluarkan cahaya kemilau dalam jurus “Gin-ting-ban-cian” atau pelita perak berlaksa buah.

Karena serangan yang lihai itu para pengeroyok dipaksa menghindar mundur. Dan pada saat itulah lengan baju kiri Buyung Hok terus mengebas dan dipuntir pula dalam jurus “Pi-kim-tang-hong” atau pentang lengan baju menahan angin.

Kebetulan saat itu si pendek sedang menghantam dengan kedua palunya dari atas dan bawah dalam gerak tipu Khay-thian-pi-te (Membuka Langit Memecahkan Bumi). Tapi mendadak terdengar suara “trang” yang amat keras sehingga memekakkan telinga, dengan tepat kedua palu si pendek saling bentur sendiri dan mencipratkan lelatu api.

Saking kuatnya tenaga si pendek sehingga kedua belah tulang lengan sendiri tergetar patah oleh getaran tenaga sendiri, kontan terjungkal dan tak sadarkan diri.

Kesempatan itu segera digunakan Buyung Hok untuk melontarkan pukulan ke depan untuk membantu Pau Put-tong mendesak mundur dua lawan yang tangguh. Waktu Put-tong memayang bangun Kongya Kian, ia lihat muka sang jiko sudah hitam gelap, tanda keracunan yang sudah kasip, kalau tidak lekas ditolong, tentu jiwa akan melayang dalam waktu singkat.

Di sebelah lain keadaan Toan Ki juga sudah berubah secara aneh. Ketika Giok-yan memberi petunjuk kepada Buyung Hok, dengan sendirinya keadaan Toan Ki tidak dapat diperhatikannya pada saat yang sama.

Bagi Toan Ki yang tiba-tiba mendengar si nona hanya membantu Buyung Hok dan tidak peduli lagi padanya, meski tubuh nona itu berada di atas gendongannya, namun hatinya telah melayang kepada Buyung Hok, hal ini membuat Toan Ki merasa hampa dan pedih, hingga air matanya hampir-hampir menetes.

Pada saat itulah, “crit-crit”, mendadak kedua ekor ular musuh menyambar tiba dan tepat memagut lengan kirinya.

“Aiii!” bukan Toan Ki yang menjerit, tapi Giok-yan yang berteriak kaget, “Toan-kongcu, engkau….”

“Ya, biarlah, biar mati digigit ulat saja,” kata Toan Ki dengan lesu dan bosan hidup.

Melihat warna kedua ekor ular itu belang-bonteng, kepala gepeng bersegitiga, terang ular-ular berbisa jahat, seketika Giok-yan menjadi bingung dan khawatir. Di luar dugaan mendadak kedua ular itu berkelojotan dua kali lalu jatuh ke tanah dan mati semua.

Seketika kedua orang yang memainkan ular itu pucat mukanya, mereka bicara beberapa kalimat dalam bahasa daerah mereka lalu putar tubuh dan melarikan diri.

Kiranya kedua orang itu sudah biasa memiara dan memuja ular, kini melihat Toan Ki tidak mati digigit ular mereka yang berbisa jahat, sebaliknya ular mereka yang mati sendiri, mereka menyangka Toan Ki adalah malaikat ular, rajanya ular, maka mereka ketakutan dan segera ngacir.

Giok-yan juga tidak tahu ilmu Cu-hap-sin-kang yang dimiliki Toan Ki itu, maka ia coba tanya, “Toan-kongcu, bagaimana engkau? Bagaimana?”

Memangnya Toan Ki lagi lesu dan berduka, tiba-tiba mendengar pertanyaan Giok-yan yang berulang-ulang dengan nada penuh perhatian, seketika ia girang kembali dan semangatnya terbangkit lagi.

Terdengar Giok-yan bertanya pula, “Engkau digigit ular-ular itu, bagaimanakah keadaanmu, Toan-kongcu?”

“Ah, tidak apa-apa, tidak apa-apa!” sahut Toan Ki cepat. Pikirnya asal kau mau memerhatikan diriku, biarpun setiap hari aku digigit ular beberapa kali juga tidak menjadi soal.

Segera ia mengangkat langkah dan menerjang ke depan untuk mendekati Buyung Hok.

Pada saat itu juga, tiba-tiba terdengar suara seorang yang sangat lantang berkumandang dari tengah udara, “Buyung-kongcu, para Tocu dan Tongcu! Selamanya kalian tiada permusuhan atau sakit hati apa-apa, buat apa kalian bertempur mati-matian secara demikian?”

Waktu semua orang mendongak ke arah datangnya suara maka terlihatlah di pucuk pohon sana berdiri seorang tojin (imam) berjenggot hitam tangan membawa sebatang hut-tim (kebut), tempat kakinya menginjak tertampak batang pohon itu mentul-mentul naik-turun gaya tojin itu tampak sangat gagah dan indah.

Di bawah sinar obor yang terang itu kelihatan wajah tojin itu putih bersih, usianya kira-kira setengah abad, dengan tersenyum ia berkata pula, “Jiwa orang-orang yang keracunan dalam keadaan berbahaya, maka paling penting harus menyembuhkan mereka dahulu. Hendaklah kalian suka terima usulku, sementara ini berhentilah bertempur, kalau ada perselisihan boleh dibereskan nanti!”

Melihat ginkang imam berjenggot hitam itu sangat hebat, Buyung Hok menduga ilmu silat orang tentu juga sangat lihai, memangnya ia pun sedang mengkhawatirkan keadaan Kongya Kian dan Hong Po-ok, segera ia gunakan kesempatan itu untuk bicara, “Jika tuan sudi memisahkan percekcokan ini sudah tentu kuterima dan aku bersedia berhenti bertempur.”

Habis berkata, ia putar goloknya sehingga berwujud satu lingkaran, lalu ia tarik kembali senjatanya ke depan dada dan berdiri tegak. Tapi dirasakannya pula lengan kanan masih nyeri pegal, nyata itulah akibat tangkisannya atas serangan palu baja si pendek tadi, diam-diam ia gegetun atas tenaga raksasa lawan yang hebat itu.

Dalam pada itu si baju hitam yang masih mencengkeram Song Tho-kong tadi lagi mendongak dan bertanya, “Siapakah nama tuan yang terhormat?”

Dan belum lagi tojin itu menjawab, tiba-tiba di tengah orang banyak terdengar seruan seorang, “Oh-lotoa, asal-usul orang ini tidak boleh dibuat main-main, ia adalah… adalah to… tokoh luar biasa, dia… dia adalah… adalah Kau… Kau….”

Berulang orang itu menyebut “Kau” dan tetap tidak sanggup menyambung seterusnya. Rupanya orang itu mempunyai penyakit bicara gagap, dalam gugupnya cara bicaranya menjadi lebih sulit dan susah diteruskan.

Tapi si baju hitam yang dipanggil sebagai Oh-lotoa itu cukup cerdik, tiba-tiba teringat satu orang olehnya, segera ia berseru, “Apakah dia adalah… adalah Kau-ong ‘Si Raja Ular Naga’, Put-peng Tojin?”

Si gagap menjadi girang, sebab kata-kata yang terhenti di tenggorokannya telah terkorek keluar, cepat ia berkata pula, “Be… betul! Dia… dia adalah… adalah Kau… Kau… Kau….”

Sampai di sini kembali tenggorokannya tersumbat lagi.

Segera Oh-lotoa memberi kiongchiu kepada imam di atas pohon dan berkata, “Apakah tuan ini Put-peng Tojin yang maha tersohor itu? Sudah lama kudengar nama Tojin yang besar, sungguh beruntung hari ini dapat berjumpa di sini.”

Tatkala dia bicara, sementara itu pertempuran sudah berhenti.

Maka dengan tersenyum tojin itu menjawab, “Ah, saudara terlalu memuji saja. Orang Kangouw mengira aku sudah lama meninggal dunia, makanya Oh-siansing merasa sangsi dan tidak percaya, bukan?”

Sambil bicara ia terus melompat turun. Anehnya daya menurunnya itu ternyata sangat perlahan hingga tubuhnya seperti tak berbobot. Rupanya lebih dulu ia telah mengebutkan kebutnya ke tanah, tenaga kebutan yang menimbulkan daya tolak itu menahan tubuhnya sehingga dia dapat turun dengan sangat lambat.

Bagi orang yang tidak tahu tentu mengira hal itu sangat ajaib dan seperti ilmu sihir saja, tapi bagi orang yang berkepandaian tinggi segera mengetahui bahwa kebutnya yang menimbulkan daya tolak dari bawah sehingga tubuhnya tertahan dan dapat menurun dengan perlahan. Tentu saja semua orang kagum tak terkira.

Segera Oh-lotoa bersorak, “Ginkang yang hebat!”

Sementara itu kaki Put-peng Tojin juga sudah menginjak tanah, lalu katanya pula, “Tentang percekcokan kalian, sebagai orang di luar garis tentu aku dapat melihat dengan lebih jelas bahwa pokok pangkalnya adalah lantaran salah paham saja. Sebab itulah bila sudi terima saranku, hendaknya kalian akhiri percekcokan ini secara bersahabat, sekarang boleh minta Song Tho-kong mengeluarkan obat penawar untuk menyembuhkan para kawan yang keracunan.”

Nada ucapan Put-peng Tojin itu sangat ramah tapi berwibawa sehingga orang sungkan menolak permintaannya. Apalagi berpuluh orang yang keracunan dan merintih-rintih di tanah itu memang juga sangat tersiksa sehingga kedua pihak sama-sama ingin bisa lekas menolong kawan mereka itu.

Maka Oh-lotoa lantas melepaskan Song Tho-kong, katanya, “Nah, Lau Song, mengingat maksud baik Put-peng Totiang, biarlah kita menurut saja.”

Song Tho-kong tidak bicara lagi segera ia lari ke sebelah Buyung Hok, kedua tangannya bekerja dengan cepat sehingga dalam sekejap saja tanah di situ telah digangsirnya menjadi sebuah lubang, dari situ dikeluarkan sebuah bungkusan.

Sesudah bungkusan itu dibuka, kiranya isinya adalah sepotong besi hitam. Dengan besi itu segera ia gunakan untuk menyedot jarum lembut yang melukai seorang di sisinya. Kiranya besi hitam itu adalah batu sembrani, agaknya jarum berbisa itu harus dikeluarkan lebih dulu untuk kemudian baru dibubuhi obat.

“Song-siansing,” dengan tertawa Put-peng Tojin berkata, “seorang kesatria harus memikirkan orang lain lebih dulu baru kemudian memikirkan kepentingannya sendiri. Apakah tidak lebih baik kau sembuhkan dulu kawan-kawan Buyung-kongcu itu?”

“Ah, toh akhirnya akan diobati semua, lebih dulu atau tidak juga sama saja,” Song Tho-kong.

Namun begitu tidak urung ia pun menurut kehendak Put-peng Tojin itu. Lebih dulu ia menyembuhkan Kongya Kian dan Hong Po-ok, lalu menyembuhkan pula tangan Pau Put-tong, habis itu barulah ia tolong kawan-kawan sendiri.

Jangan dikira potongan Song Tho-kong itu bundar buntak, tampaknya seperti ketolol-tololan, tapi gerak-geriknya ternyata sangat cepat, kesepuluh jarinya yang pendek gemuk itu bahkan lebih lincah daripada jari kaum gadis yang mahir menyulam. Maka tidak antara lama jarum berbisa pada luka semua orang sudah dikeluarkan serta dibubuhi obat oleh Song Tho-kong. Seketika rasa gatal pegal semua orang lenyap.

Namun demikian, ada juga beberapa orang di antaranya yang berwatak keras dan aseran terus mencaci maki kepada Song Tho-kong yang menggunakan senjata rahasia keji itu, dikutuknya kalau kelak mati tentu bangkainya tak terkubur.

Tapi Song Tho-kong diam saja, ia membungkam dan membudek, segala caci maki orang sama sekali tak digubrisnya.

“Oh-lotoa,” kata Put-peng Tojin dengan tersenyum, “berkumpulnya ke-36 tongcu dan ke-72 tocu di sini apakah berhubung dengan urusan orang di Thian-san itu?”

Oh-lotoa terkejut, tapi lahirnya sama sekali tidak memperlihatkan perasaannya itu, sahutnya, “Apa yang Put-peng Tojin maksudkan, sungguh aku tidak paham. Kami biasanya tinggal terpencar di berbagai penjuru dan jarang sekali berkumpul, hari ini kami saling berjanji untuk mengadakan pertemuan ramah tamah di sini, maksud tujuan lain tidak ada. Soalnya entah mengapa Buyung-kongcu dari Koh-soh menerjang ke sini sehingga terjadi percekcokan seperti tadi.”

“Aku sendiri juga secara kebetulan berlalu di sini, sungguh kami tidak tahu bahwa para tokoh kesatria sedang berkumpul di sini sehingga banyak mengganggu, untuk ini aku minta dimaafkan,” demikian kata Buyung Hok. “Mengenai maksud baik Put-peng Totiang untuk melerai percekcokan ini sehingga urusan tidak jadi meluas, sudah tentu kami juga merasa sangat berterima kasih. Sekarang biarlah kami mohon diri saja dan sampai berjumpa pula?”

Ia tahu berkumpulnya ke-36 tongcu dan ke-72 tocu yang terkenal sebagai tokoh kaum petualangan tentu mempunyai urusan penting yang dirahasiakan dan dengan sendirinya tidak ingin diketahui oleh orang luar. Buktinya barusan Put-peng Tojin menyebut tentang “orang di Thian-san” dan segera Oh-lotoa membelokkan pembicaraannya, terang sekali mereka pantang membicarakan “orang di Thian-san” itu. Kalau sekarang dirinya tidak mengundurkan diri, tentu nanti akan disangka dirinya sengaja hendak mencari tahu rahasia orang. Sebab itulah sesudah memberi hormat ke sekelilingnya, lalu ia ajak Pek-jwan dan lain-lain melangkah pergi.

Oh-lotoa membalas hormat Buyung Hok dan berkata, “Buyung-kongcu, hari aku Oh-lotoa beruntung dapat berkenalan dengan tokoh kesatria tersohor seperti dirimu sungguh merupakan suatu kehormatan besar bagi kami. Gunung selalu menghijau dan air sungai tetap mengalir, selamat berpisah dan sampai berjumpa pula.”

Dari ucapannya itu nyata ia memang tidak ingin Buyung Hok dan kawan-lawannya tinggal lebih lama di situ.

Tapi Put-peng Tojin lantas berkata, “Oh-lotoa, apakah kau tahu Buyung-kongcu ini orang macam apa?”

Oh-lotoa tampak tercengang, sahutnya, “Lam Buyung, Pak Kiau Hong, nama kebesaran Koh-soh Buyung sangat tersohor, masakah tidak tahu?”

“Itulah dia,” ujar Put-peng Tojin dengan tertawa. “Jika tahu ada seorang tokoh besar seperti ini mengapa kalian kesampingkan saja, bukankah sangat sayang? Padahal pada waktu biasa, kalau ada orang mengharapkan bantuan keluarga Buyung, ha, jangan kalian harap dapat menemuinya. Dan sekarang secara beruntung kalian telah dipertemukan dengan Buyung-kongcu di sini, sebaliknya kalian diam saja dan tidak memohon bantuannya, bukankah kalian ini sangat bodoh.”

“Tapi… tapi….” sahut Oh-lotoa dengan ragu.

“Hahaha! Put-peng Tojin tertawa. “Nama kebesaran Buyung-kongcu tersohor di seluruh jagat ini. Kini kalian telah kenyang menderita di bawah perlakuan sewenang-wenang Thian-san Tong-lo….”

Begitu mendengar nama “Thian-san Tong-lo” (Si Nenek Bocah dari Thian-san), seketika semua orang bersuara “haa” sekali. Suara terkejut, heran, takut, gusar dan macam-macam perasaan lain.

Rupanya setiap orang yang bersuara itu mempunyai kesannya sendiri-sendiri terhadap Thian-san Tong-lo yang disebut itu, tanpa terasa di antara orang-orang itu banyak yang gemetar ketakutan.

“Orang macam apakah Thian-san Tong-lo itu sehingga membuat mereka begini takut?” demikian diam-diam Buyung Hok bertanya di dalam hati.

Terdengar Put-peng Tojin menyambung, “Di bawah siksaan kejam dan hinaan Thian-san Tong-lo itu, hidup kalian sudah tentu tidak aman, para kesatria di jagat ini yang tahu nasib kalian ini juga akan menyesal. Sekarang kalian ada maksud berbangkit untuk melawannya, sudah tentu setiap orang ingin memberi bantuan sebisanya. Sedangkan orang yang berkepandaian rendah sebagai diriku juga bersedia mencurahkan sedikit tenaga, apalagi Buyung-kongcu yang sudah terkenal berbudi luhur, masakah beliau hanya berpeluk tangan tanpa ikut campur?”

Tapi dengan tertawa Oh-lotoa menjawab, “Entah Totiang mendapat berita dari mana, kami kira ini hanya kabar bohong saja. Tentang Tong-lo Popo, meski beliau memang agak sedikit keras terhadap kami, tapi semua ini adalah lantaran beliau ingin kami berbuat baik, untuk ini kami justru merasa sangat berterima kasih dan utang budi pada beliau, dari mana bisa dikatakan ‘hendak melawan’ beliau?”

“Hahahaha! Jika demikian, jadi aku sendiri yang salah duga dan suka iseng mencampuri urusan orang lain,” kata Put-peng Tojin. “Baiklah, mari Buyung-kongcu, kita bersama-sama pergi ke Thian-san untuk omong-omong dengan Tong-lo, kita akan sampaikan padanya bahwa para tongcu dan tocu di sini sangat berbakti pada beliau dan sekarang sedang sibuk hendak mengadakan perayaan ulang tahun baginya.”

Habis berkata, terus saja ia mendekati Buyung Hok.

Segera ada orang berteriak khawatir, “Oh-lotoa, jangan sampai dia merat begitu saja, kalau rahasia kita bocor, wah, bisa berabe!”

Lalu ada yang menanggapi, “Ya, orang she Buyung itu juga harus dibekuk sekalian! Bagaimanapun hari ini kita harus bekerja habis-habisan.”

Serentak ramailah suara orang melolos senjata dengan caci maki yang kotor, senjata yang tadinya mereka simpan kembali sekarang disiapkan lagi.

“Hah, apakah kalian bermaksud membunuh orang untuk menghilangkan saksi? Apa kalian kira begitu gampang?” jengek Put-peng Tojin.

Habis ini mendadak ia tarik suara dan berteriak, “Hu-yong Siancu dan Kiam-sin Loheng, di sini ada 36 tongcu dan 72 tocu sedang mengadakan komplotan keji untuk memberontak dan hendak melawan Tong-lolo, tapi rahasia mereka dipergoki olehku, sekarang aku hendak dibunuh mereka agar rahasia mereka tidak bocor. Wah, bisa celaka ini, tolong, lekas tolonglah! Jiwa Put-peng Tojin hari ini mungkin akan melayang ke nirwana!”

Suaranya yang keras itu berkumandang jauh ke lembah gunung sana sehingga dari segenap penjuru menggema suara kumandang yang ramai.

Dan baru lenyap suara Put-peng Tojin itu, dari puncak gunung arah barat sama terdengar suara seorang yang lantang menjawab, “Hidung kerbau (kata olok-olok kepada kaum tosu) Put-peng Tojin, jika kau dapat lari hendaklah lekas lari saja, kalau tak dapat lari boleh menyerahlah kepada nasibmu. Para anak cucu murid Tong-lolo ini susah untuk diajak bicara, untuk menolong jiwamu terus terang saja aku tidak sanggup, paling-paling aku hanya dapat menyampaikan berita tentang dirimu kepada Tong-lolo saja.”

Dari suaranya itu dapat ditaksir sedikitnya orang itu berada di tempat sejauh tiga-empat li.

Dan baru selesai ucapan orang itu, dari puncak sebelah utara berkumandang pula suara seorang wanita yang nyaring, “Hidung kerbau, jika kau mampus, semuanya itu adalah akibat perbuatanmu sendiri yang suka iseng mencampuri urusan orang lain. Habis, mereka sudah mengatur sendiri dengan baik, sekali mereka bergerak, maka Tong-lolo pasti akan celaka. Untuk ini biarlah sekarang juga aku akan berangkat ke Thian-san, ingin kutanya si nenek cara bagaimana dia akan bertindak.”

Dari suara ini, agaknya jarak tempat wanita ini lebih jauh lagi daripada suara orang lelaki yang duluan tadi.

Mendengar itu, seketika air muka Oh-lotoa dan kawan-kawannya berubah hebat. Jarak kedua orang yang bersuara itu ada beberapa li jauhnya untuk mengejar mereka terang tidak mungkin, tampaknya Put-peng Tojin sudah mengatur dengan baik, asal dia dalam keadaan bahaya, segera ia bersuara untuk minta bala bantuan pada kawan-kawannya. Apalagi dari suara kedua orang tadi terang mempunyai lwekang yang lihai, sekalipun Oh-lotoa dan kawan-kawannya dapat mengejarnya juga belum tentu dapat melawan mereka.

Oh-lotoa juga cukup cerdik dan dapat melihat gelagat, segera ia berseru, “Put-peng Totiang, Kiam-sin dan Hu-yong Siancu, jika kalian bertiga sudi membebaskan kami dari derita sengsara, sudah tentu kami sangat berterima kasih. Untuk bicara terus terang pada kalian, jika kalian sudah tahu duduknya perkara, rasanya kami pun tidak perlu berdusta. Maka sudilah kalian ikut hadir di sini untuk berunding bersama?”

“Ah, lebih baik kami berdiri di sisi yang agak jauh saja, agar bila terjadi apa-apa, untuk menyelamatkan jiwa juga lebih cepat,” sahut lelaki yang disebut “Kiam-sin” (Malaikat Pedang) itu. Sesungguhnya kami pun tidak ingin ikut campur urusan kalian ini, habis, apa sih faedahnya?”

“Benar,” sambung yang wanita. “Nah, hidung kerbau, biarlah kami jaga jalan lari bagimu, jika akhirnya kau mampus dicencang orang, sedikitnya kami masih bisa lolos untuk menyampaikan berita kematianmu bagi yang berkepentingan. Kalau tidak, tentu kematianmu nanti akan sia-sia belaka.”

“Ah, kalian suka berkelakar saja,” ujar Oh-lotoa dengan tertawa. “Sesungguhnya lawan terlalu lihai dan kami sudah kapok benar-benar padanya, maka setiap tindak tanduk kami terpaksa harus dilakukan dengan lebih hati-hati. Jika kalian bertiga sudi membantu, sudah tentu kami pun bukan manusia yang tak kenal budi. Adapun kami belum dapat memberi keterangan sejujurnya hal ini memang ada kesulitan kami, untuk ini diharap kalian sudi memaklumi.”

Ucapan Oh-lotoa ini boleh dikata sangat merendah diri dan benar-benar menyerah.

Buyung Hok saling pandang sekejap dengan Ting Pek-jwan, pikir mereka, “Nyata orang-orang ini sedang merencanakan sesuatu usaha yang mahapenting dan terang tidak suka dicampuri orang luar. Sebaliknya Put-peng Tojin dan kedua kawannya itu menyatakan hendak membantu segala, yang benar mereka juga mempunyai maksud tujuan jahat bagi kepentingan mereka sendiri. Untuk ini lebih baik kita jangan ikut campur saja.”

Karena pikiran yang sama itu, kedua orang saling memberi tanda, Pek-jwan juga memberi isyarat lebih baik tinggal pergi saja. Maka berkatalah Buyung Hok, “Tuan-tuan sekalian, andaikan di sini akan terjadi sesuatu betapa pun hebatnya, dengan tuan-tuan yang berkepandaian tinggi tentu cukup untuk mengatasi, apalagi sekarang ditambah pula dengan Put-peng Tojin bertiga, maka urusan betapa besarnya kukira tiada seorang pun yang dapat merintanginya, kukira tidak perlu kami ikut mengganggu di sini sehingga akan mengacaukan urusan kalian malah. Maka biarlah kami mohon diri saja.”

“Nanti dulu,” sahut Oh-lotoa. “Sekali urusan kami sudah diumumkan secara terbuka, maka soal ini berarti menyangkut keselamatan jiwa beberapa ratus kawan kami. Dari para tongcu dan tocu yang berkumpul di sini sekarang, mati hidup dan timbul atau tenggelam nasib kami hanya bergantung di ujung tanduk saja. Maka Buyung-kongcu, sesungguhnya bukan kami tidak memercayai kalian, soalnya urusan ini terlalu besar sehingga kami tidak berani menanggung risiko ini.”

Seketika Buyung Hok paham maksud orang, tanyanya, “Jadi saudara melarang kami pergi dari sini?”

“Sebenarnya bukan begitu maksud kami, tapi… tapi apa boleh buat,” sahut Oh-lotoa.

“Huh, peduli apa dengan Tong-lolo atau Tong-pepek segala, kami sendiri tidak pernah kenal namanya, apalagi orangnya, adapun urusan apa yang hendak kalian lakukan adalah urusanmu, kami jamin takkan membocorkan sepatah kata pun,” seru Pau Put-tong. “Memangnya kau sangka Koh-soh Buyung itu orang macam apa, masakah apa yang sudah kami ucapkan dianggap sebagai kentut saja? Kalau kalian bermaksud menahan kami secara kekerasan, haha, kukira juga belum tentu kalian mampu. Andaikan aku Pau Put-tong dapat kalian tahan, masakah kalian sanggup menahan Buyung-kongcu kami dan Toan-kongcu itu?”

Oh-lotoa percaya apa yang dikatakan Pau Put-tong itu. Memang benar sulit untuk menahan Buyung Hok, lebih-lebih Toan Ki yang mempunyai langkah ajaib itu.

Oh-lotoa coba memandang sekejap pada Put-peng Tojin dengan serbasusah, ia berharap imam itu mau memberi saran cara bagaimana harus diperbuatnya.

Maka berkatalah Put-peng Tojin, “Oh-lotoa, lawanmu itu benar-benar terlalu lihai, jika kau dapat tambah seorang pembantu, kan lebih baik? Ilmu silat Koh-soh Buyung-si siapa yang tidak tahu di dunia ini? Apalagi dia tidak mengharapkan sesuatu balas jasamu, tentu rezeki yang akan kalian peroleh kelak tidak nanti dia minta bagian, untuk ini hendaknya kau jangan khawatir. Yang paling utama ialah lawan kalian itu harus dibunuh. Kalau pergerakan kalian sekali ini tak mampu membunuhnya akan berarti tamatlah riwayat kalian. Nah, dengan adanya bala bantuan lihai sebagai Buyung-kongcu, mengapa kalian tidak mau mohon padanya?”

Sebenarnya Oh-lotoa masih enggan, tapi akhirnya ia tetapkan hati dan mendekati Buyung Hok serta memberi hormat, katanya, “Buyung-kongcu, selama berpuluh tahun ini kami para Tongcu dan Tocu telan kenyang tersiksa dengan penghidupan yang tidak layak bagi manusia, sekali ini kami sudah nekat akan mengadu jiwa dengan iblis tua itu, untuk mana diharapkan bantuanmu, atas budi kebaikanmu sudah tentu selamanya takkan kami lupakan.”

Meski permohonannya kepada Buyung Hok ini sebenarnya terpaksa, bukan timbul dari maksudnya yang sebenarnya, tapi ucapannya itu toh sangat sungguh-sungguh dan tulus ikhlas.

Sebenarnya Buyung Hok hendak menolak, sebab ia tidak ingin terlibat dalam urusan para petualang itu, tapi mendadak pikirannya tergerak, “Oh-lotoa ini menyatakan takkan melupakan budi untuk selamanya, jika demikian, rasanya ada manfaatnya juga bagiku. Di antara mereka ini tentu juga banyak orang pandai. Padahal bila aku hendak membangun kembali kerajaan Yan kami justru sangat membutuhkan tenaga, jika hari ini aku membantu mereka, kelak bila perlu tentu aku pun dapat minta bantuan mereka. Jago silat sebanyak beberapa ratus orang sungguh merupakan suatu pasukan penggempur yang hebat.”

Karena pikiran itu, segera ia berkata, “Tentu membantu, sebagai sesama orang Kangouw memang sudah seharusnya berbuat demikian….”

“Betul, betul!” seru Oh-lotoa dengan girang demi permintaannya diluluskan.

Dipublikasi ulang oleh Kumpulan Cerita Silat

34 Comments »

  1. http://resep-masakan.blog.plasa.com
    cukup seru ceritanya

    Comment by kristiawanagung — 15/06/2009 @ 3:23 pm

  2. http://resep-masakanku.blog.plasa.com
    trims atas cerita ini

    Comment by kristiawanagung — 15/06/2009 @ 3:24 pm

  3. http://resep_masakan.blog.plasa.com
    bagus dan menarik

    Comment by kristiawanagung — 15/06/2009 @ 3:25 pm

  4. http://surat-lamaran77.blog.plasa.com
    ini baru cerita silat

    Comment by kristiawanagung — 15/06/2009 @ 3:25 pm

  5. http://myfoodrecepy.blogspot.com
    ayo jangan menyerah

    Comment by kristiawanagung — 15/06/2009 @ 3:26 pm

  6. http://artikelresepmasakan.blogspot.com
    gue demen baca cerita silat

    Comment by kristiawanagung — 15/06/2009 @ 3:27 pm

  7. Mas kristiawanagung. Cari backlink, ya?

    Boleh saja. Cuma yang double, akan saya hapus.

    Comment by ceritasilat — 15/06/2009 @ 11:31 pm

  8. Kapan nih jilid 62 & selanjutnya? Terima kasih

    Comment by an — 18/06/2009 @ 5:54 am

  9. M3t pg Mas Wo..oW keren abis!!?..

    Comment by B0im — 18/06/2009 @ 6:37 pm

  10. Siapa yang GILA memasukkan cerita porno kesini? Tolong dihapus, spy tetap murni cerita silat. terima kasih.

    Comment by an — 23/06/2009 @ 5:32 am

  11. Untuk jilid 62 dan seterusnya, masih dicari.

    Comment by ceritasilat — 28/06/2009 @ 6:33 am

  12. Kapan nih jilid 62 & seterusnya? Thank you for your hardwork.

    Comment by an — 07/07/2009 @ 2:55 pm

  13. Kapan jilid 62 dstnya keluar? Sudah ngga tahan u/ baca terusannya. terima kasih

    Comment by an — 29/08/2009 @ 12:23 pm

  14. wah, link yg nyempil hrs dihapus dulu biar ga bingung bacanya.. sy copy paste ngga lihat ada beberapa link nyempil..

    Comment by ncomputing — 06/09/2009 @ 10:48 am

  15. Anggap aja ini hutang saya kepada para pecinta cersil. Hari ini akan saya edit seri kelanjutannya. Mudah-mudahan dalam beberapa hari ke depan bisa ditayangkan.

    Salam hormat.

    Comment by ceritasilat — 09/09/2009 @ 5:32 am

  16. Satu hal lagi untuk tambahan, orang ini mungkin orang paling sial dunia semesta Chin Yung, siapakah itu?

    1. memperoleh posisi pemimpin kai-pang melalui darah dan keringat
    2. ditendang keluar dari kai-pang dan terbuka identitasnya sebagai khitan semua karena ia tidak sedikit pun tertarik pada BeHujin (yang ****)
    3. orang-orang yang membawa dia naik ternyata menjadi orang-orang yang membunuh ayah dan ibunya (Buyung Bok, ayah Buyung Hok, namun dia masih hidup, dan membuat malapetaka)
    4. dituduh membunuh orangtua angkatnya, Suhu, dan beberapa orang lainnya
    5. dari pahlawan menjadi pecundang hanya dalam semalam
    6. semua orang ingin membunuhnya
    7. terpaksa membantai ratusan pejuang bulim
    8. membunuh calon istrinya karena kesalahan karena ia terlalu impulsif (lagi bahwa kesalahan BeHujin ****)
    9. berakhir terjebak dengan biang penyakit yaitu Aci ***
    10. saudara angkat nya kaisar Liao yang mengkhianatinya
    11. terbelah antara Liao dan Song
    12. bunuh diri pada akhirnya

    Cayhe punyakan soft copy sampai tamat tapi bolong-2 beberapa jilid. Kemana kirimnya agar supaya bisa diuwarkan di dunia Bu liem?

    Comment by Put Kai Hweesio — 08/10/2009 @ 12:55 pm

  17. kapan nih jilid berikut pendekar negeri taylinya. Sudah lama nih. terima kasih

    Comment by Anonymous — 24/10/2009 @ 3:38 pm

  18. Kapan pendekar negeri tayli jilid 62 & seterusnya keluar? Tolong dong jangan lama lama. Terima kasih

    Comment by an — 03/12/2009 @ 1:45 pm

  19. Waduhhhhh….
    Uda berbulan-bulan niihh….kangen ma jilid lanjutannya loooooo….
    Peace!!!!

    Comment by Q — 06/01/2010 @ 1:18 pm

  20. Tolong dong jilid berikut dari Pendekar negeri Tayli ini….sdh lama…
    Terima kasih

    Comment by an — 20/01/2010 @ 1:40 pm

  21. Pendekar Tayli, dimanakah engkau? Kenapa sdh lama tdk muncul muncul? Udah tahun macan nih… Terima kasih

    Comment by Anonymous — 14/02/2010 @ 6:47 am

  22. bagus nian ceritanya… dan inilah cersil yang terbaik di jagad ini dan di abad ini, judul asli tian liong pat poh, yang lain tian liong ba bu, 8 langkah menuju langit, it yan ci

    Comment by Icinno — 17/05/2010 @ 5:41 am

  23. Masih mencari-cari waktu untuk menyelesaikan cersil ini, Mas Icinno.

    Btw, terima kasih karena sudah mampir di sini

    Comment by ceritasilat — 17/05/2010 @ 12:34 pm

  24. cerita lengkap disini http://www.topmdi.net/chinyung_ebook/tayli_01.html

    Comment by pencari cersil — 11/09/2010 @ 4:33 pm

  25. Iya yah jadi amat sangat penasaran seperti apa akir ceritanya.
    Tolong bila sudah ada, biar semua penggemar seperti saya ini tidak penasaran terus.

    Comment by Hartono Suriya — 13/03/2011 @ 10:00 am

  26. Cayhe punya lengkap dalam bentuk word 2007. Kalo pengen kontak siauceng gundul tanpa pantangan di sasis1612@gmail.com

    Comment by Putkai Hweesio — 20/10/2011 @ 12:40 pm

  27. Lanjut terus, suhu. Murid akan selalu menunggu…

    Comment by Green Giant — 24/10/2011 @ 5:12 pm

  28. Seru habis cerita silat memang keen…terima kasih.

    Comment by buyung panyungai — 21/11/2012 @ 3:26 am

  29. Aku mau cetak & jilid, tapi Cerita Pendekar Negeri Tayli yg ke 58 koq ga ada????

    Comment by Agoes — 13/08/2013 @ 8:40 am

  30. Makasi cerita ny,kpan nih eps 62ny..???

    Comment by Muhammad Ramli Riamzhers Rms — 13/11/2013 @ 9:52 am

  31. Tidak Rame,basi ceritanya,cemen

    Comment by Vagina — 13/11/2013 @ 9:57 am


RSS feed for comments on this post. TrackBack URI

Leave a reply to Put Kai Hweesio Cancel reply

Blog at WordPress.com.