Kumpulan Cerita Silat

07/01/2009

Meteor, Kupu-Kupu dan Pedang (07)

Filed under: Meteor, Kupu-Kupu dan Pedang — ceritasilat @ 4:55 pm

Oleh Gu Long

(Terima Kasih kepada danivn)

7. Sun Jian

“Sepertinya dia anak Sun Yu Bo,” jawab salah seorang anak buahnya.

“Maksudmu Sun Yu Bo yang biasa dipangil Lao Bo itu?”

“Benar, ia senang dipanggil Lao Bo.”

“Ada apa anaknya mencariku?”

“Kata orang, Lao Bo senang berteman. Mungkin dia datang buat berteman dengan Tuan.”

Sesungguhnya anak buah Mao Wei tahu mengapa Sun Jian datang, mereka hanya memilih kata-kata yang enak didengar majikannya.

Mao Wei tertawa. “Kalau begitu, persilahkan masuk.”

Sun Jian tidak perlu dipersilahkan masuk, ia sudah masuk sendiri sebab tidak suka menunggu terlalu lama di luar. Mereka yang melarangnya sudah terkapar dan tidak dapat bangun.

Mao Wei berdiri dan memelototinya.

Sun Jian tidak berlari, juga tidak melompat, namun hanya dengan dua tiga langkah ia telah berada di hadapan Mao Wei. Tidak ada yang bisa melukiskan kecepatan geraknya.

Mao Wei mulai takut. “Apa Tuan yang bernama Sun?”

Sun Jian hanya mengangguk, balik bertanya, “Dan kau adalah Mao Wei?”

“Apa maksud Tuan ke sini?” tanya Mao Wei.

“Apa kau mengenal istri Fang You Ping?” Sun Jian balas bertanya, “Benarkah kau berhubungan gelap dengannya?”

Pertanyaannya cekak aos, langsung ke permasalahan, membuat wajah Mao Wei seketika berubah. Anak buahnya pun sudah berada di dekatnya. Satu di antaranya yang berwajah bopeng mendekati Sun Jian, bermaksud mendorong dada putra Lao Bo itu.

Sun Jian membentak, “Kau berani?!”

Bila Sun Jian marah dari tubuhnya memancar tenaga yang sulit ditakar kekuatannya. Tangan si Bopeng segera ditarik kembali.

Menjadi tukang pukul memang tidak mudah, harus siap menjual nyawa demi majikan. Beberapa tahun belakangan Mao Wei semakin terkenal, sehingga si Bopeng jarang mengeluarkan tenaga guna menjalankan tugas.

Sudah beberapa tahun ini si Bopeng keenakan hidup, ia tidak ingin kehilangan pekerjaan. Segera ia mengepal tangan memukul dada Sun Jian.

Sun Jian tiba-tiba memegang pergelangannya, membalikan telapaknya, dan seketika memukul punggungnya.

Si Bopeng berteriak. Bersamaan dengan teriakan si Bopeng, terdengar tulang retak. Begitu ia roboh, tubuhnya langsung lemas seperti lumpuh.

Sun Jian melakukannya dengan tuntas, ia tidak ingin terlalu banyak berurusan dengan kroco seperti ini.

Anak buah yang tadi bersama-sama si Bopeng garang mengurung Sun Jian, sekarang tidak ada yang berani menyerang. Mereka sadar, melaksanakan tugas memang penting, tapi kalau harus menyerahkan nyawa begitu saja, mereka harus berpikir ulang.

Sun Jian enggan berurusan dengan mereka. Ia terus memelototi Mao Wei. “Pertanyaanku tadi sudah kau dengar?”

Wajah Mao Wei sudah merah dan nadi di leher sudah merongkol keluar. “Apa hubungannya denganmu?” tanyanya.

Sekali tangan Sun Jian mengayun langsung menghajar rusuk Mao Wei. Ini bukan jurus yang istimewa, tapi sangat cepat dan tepat, sama sekali tidak memberi kesempatan Mao Wei mengelak.

Teriakan Mao Wei lebih histeris daripada si Bopeng. Sudah puluhan tahun ia tidak kena pukul orang.

“Kali ini kau beruntung, tidak kupukul wajahmu. Lain kali, aku tidak akan sungkan lagi.”

Wajah Mao Wei sudah mengerut kejang menahan sakit, tapi ia masih berusaha mengangguk.

“Sekarang aku bertanya, dan kau harus jawab sejujurnya, mengerti?” tanya Sun Jian sambil menjambak baju di dada Mao Wei. Ia memelototinya dengan tajam.

Mao Wei hanya bisa mengangguk.

“Betulkah kau menggoda istri Fang You Ping?”

Mao Wei mengganguk lagi.

“Apa kau masih ingin berselingkuh dengannya?”

Mao Wei menggeleng kepala. Tiba-tiba dari tenggorokkannya keluar teriakan bercampur erangan, “Perempuan itu anjing betina, dia pelacur!”

Sun Jian melihat Mao Wei begitu marah. Sudah tentu kelak ia tidak akan berselingkuh lagi dengan perempuan itu. Mao Wei pasti menilai bahwa siksaan yang ia terima saat ini gara-gara perempuan itu.

Mao Wei, seperti kebanyakan orang yang bersalah, saat mengalami masalah cenderung menyalahkan orang lain. Ia sama sekali tidak merasa bersalah dan tidak mau disalahkan.

Sun Jian merasa sangat puas. “Baiklah, bila kau berjanji tidak akan berselingkuh lagi dengannya, umurmu lebih panjang.”

Mao Wei menarik nafas, mengira urusan selesai.

Ternyata Sun Jian masih berkata, “Kelak bila perempuan itu berselingkuh lagi dengan orang lain, aku tetap akan mencarimu.”

Mao Wei terkejut. Ia langsung protes, “Perempuan itu sudah terlahir sebagai pelacur, mana bisa kuawasi dia?”

“Kupikir kau pasti punya cara yang baik,” dingin jawaban Sun Jian.

Sesat Mao Wei tertegun, akhirnya berkata, “Baiklah, aku mengerti!”

Pertama kali Mao Wei melihat senyum di wajah Sun Jian saat ia berkata, “Betul, perempuan itu memang sudah ditakdirkan sebagai pelacur, kapan pun ia bisa berselingkuh lagi. Kau sudah mempunyai cara. Bila dijalankan, semakin cepat semakin baik.”

“Aku tahu,” kata Mao Wei patuh.

Tiba-tiba tangan Sun Jian kembali bergerak, kali ini menghantam tepat ulu hati Mao Wei.

Mao Wei langsung terbungkuk. Sayur dan arak yang tadi dimakannya tumpah semua.

Wajah Sun Jian tetap tersenyum. “Ini bukan untuk memberi pelajaran, melainkan hanya kenang-kenangan saja.”

Sekali Sun Jian memukul orang, sekurangnya setengah bulan tidak bisa bangun. Barusan ia bilang, itu bukan pukulan sesunguhnya, membuat Mao Wei tertawa tidak menangis pun tidak.

Tapi ia tahu, setiap kata Sun Jian harus didengar!

Sun Jian mendekati meja dan menghabiskan arak yang tersisa. Seketika ia mengerut dahi. “Dasar Orang Kaya Baru, tidak bisa membedakan arak bagus atau jelek, mana bisa membedakan perempuan baik atau tidak?”

Mao Wei menanggapi. “Walau perempuan itu pelacur, tapi sungguh perempuan yang menarik.”

“Bagaimana dengan istri-istrimu?”

“Mereka tidak dapat menandinginya.”

Sun Jian memelototi Mao Wei, kemudian mengeleng-geleng kepala. “Aku tidak percaya kata-katamu. Arak saja tidak bisa kau bedakan, apalagi perempuan!”

Belum habis perkataannya, ia sudah berkelebat masuk ke bagian dalam rumah karena melihat di balik tirai banyak perempuan yang mengintip. Begitu masuk ke dalam, Sun Jian langsung memilih yang tercantik dan membopongnya.

Perempuan itu sangat terkejut, tidak berani bergerak.

Mao Wei pun terkejut. “Kau… apa yang kau lakukan?”

“Tidak melakukan apa-apa, hanya melakukan yang biasa kau lakukan,” jawab Sun Jian. Dengan sebelah tangan ia membopong perempuan itu, sebelah tangan lainnya menarik Mao Wei dan membentak, “Hayo, antar aku keluar.”

Ia tidak ingin di tengah jalan bercapai lelah menghadapi para pengawal Mao Wei. Bukannya takut, hanya malas direpotkan saja.

Terpaksa Mao Wei mengantarkannya keluar. Air matanya hampir menetes. “Asal kau mau melepaskan Feng Jian, akan kuberi kau 1.000 tail emas.”

Sun Jian mengedip mata sambil menepuk pantat perempuan yang digendongnya. “Apa harga Feng ini begitu mahal?”

Mao Wei tidak menjawab.

“Apa kau menyukainya?”

Tetap tidak menjawab.

Sun Jian tertawa. “Lain kali kalau kau ingin berselingkuh dengan istri orang, kau pikir dulu istri sendiri.”

—–

Seekor kuda tinggi besar berada di depan pintu. Itulah kuda yang sangat bagus.

Begitu Sun Jian keluar pintu, ia langsung meloncat ke atas kuda, tidak memberi kesempatan Mao Wei bertindak.

Itulah pelajaran yang diberikan Sun Jian.

Sun Jian tidak banyak bicara, tapi setiap kata yang keluar dari mulutnya sulit dilupakan.

Kuda sudah menempuh jarak puluhan kilometer, perempuan yang berada di pundak Sun Jian tiba-tiba tertawa.

Sun Jian turut tertawa. Tanyanya, “Kau tidak pingsan?”

Feng Jian tetap tertawa. “Aku? Tidak! Sebenarnya sudah sedari tadi kuingin mengikutimu pergi.”

“Kenapa?”

“Karena kau lelaki jantan, kusangat tertarik padamu.”

“Apa perlakukan Mao Wei baik padamu?”

“Ia punya banyak uang, sangat pelit, tapi cukup baik padaku. Kalau tidak, mana mau ia mengeluarkan 1.000 tail emas?”

Sun Jian mengangguk, tidak bicara lagi.

Feng Jian justeru berkata, “Aku di punggungmu, sungguh tidak nyaman, lebih baik turunkan aku. Aku ingin duduk di pangkuanmu.”

Sun Jian menggeleng-geleng kepala. Tadi ia memilih perempuan ini karena punya alasan sendiri, terutama karena tatapan perempuan ini yang begitu binal padanya.

Feng Jian menghela nafas. “Kau memang lelaki aneh.”

Sun Jian membedal kuda lebih cepat lagi. Di depan tampak hutan yang luas. Begitu sepi, tidak ada orang.

“Kemana kau mau membawaku?” tanya Feng Jian.

“Ke suatu tempat yang tak terpikir olehmu.”

Feng Jian tertawa genit. “Kutahu kau tertarik padaku. Sebenarnya mau di sini atau di sana, di mana saja, ya sama saja…” Karena tidak mendapat tangapan, ia melanjutkan, “Aku mengenal seorang perempuan bernama Zhu Qing.”

“Oh!” hanya itu reaksi Sun Jian.

“Perempuan itu memang ditakdirkan sebagai pelacur. Tiap hari kerjanya hanya begituan melulu. Bila menyuruhnya tidak selingkuh, seperti berharap matahari terbit dari utara. Aku tidak mengerti dengan cara apa Mao Wei akan menghukumnya.”

Sun Jian berkata dingin, “Pelacur yang mati tidak akan bisa selingkuh lagi.” Seiring ucapannya, tangan yang tadi membopong Feng Jian tiba-tiba dilepas begitu saja.

Seketika perempuan itu jatuh seperti kantung terigu.

“Ada apa denganmu?” teriak Feng Jian.

Kuda Sun Jian sudah berlari beberapa meter ke depan sana, kini kembali lagi. Dingin tatapan Sun Jian dari atas kuda.

Feng Jian mengulur tangan. “Cepatlah tarik aku ke atas.”

Tanya Sun Jian, “Bila aku menarikmu naik, buat apa kubiarkan kau jatuh?”

Tadinya Feng Jian masih ingin bersikap genit, tapi sekarang wajahnya telah kaku karena takut.

Leave a Comment »

No comments yet.

RSS feed for comments on this post. TrackBack URI

Leave a comment

Blog at WordPress.com.