Kumpulan Cerita Silat

26/06/2008

Pendekar-Pendekar Negeri Tayli – 12

Filed under: Jin Yong, Pendekar-Pendekar Negeri Tayli — ceritasilat @ 2:22 am

Pendekar-Pendekar Negeri Tayli – 12
Oleh Jin Yong

(Terima Kasih Kepada Nra)

Tak tersangka, tiba-tiba tongkat bambu orang itu pun bergerak, “cus”, tongkat itu menutuk ke arahnya hingga kedua tenaga tutukan itu saling bentur di udara.

Kontan Po-ting-te tergetar mundur setindak, sebaliknya Jing-bau-khek juga tergeliat. Muka Po-ting-te sekilas memerah, sebaliknya wajah Jing-bau-khek sekilas bersemu hijau, namun sama lantas lenyap dalam sekejap saja.

Sungguh heran Po-ting-te tak terkatakan. Pikirnya, “Ilmu silat orang ini sangat tinggi, bahkan sudah terang satu sumber dengan diriku. Jelas kelihatan ilmu permainan tongkatnya ini ada hubungannya dengan It-yang-ci.”

Karena itu, segera ia memberi hormat dan bertanya, “Siapakah nama Cianpwe yang terhormat, sudilah kiranya memberi tahu?”

“Kau ini Toan Cing-beng atau Toan Cing-sun?” terdengar suara mendenging berbalik tanya padanya.

Melihat mulut orang tanpa bergerak, tapi dapat bicara, Po-ting-te menjadi lebih heran, sahutnya, “Aku Toan Cing-beng!”

“Hm, jadi kau inilah raja Po-ting-te negeri Tayli sekarang?” jengek orang aneh itu.

“Benar,” sahut Po-ting-te.

“Sesudah pertandingan barusan, ilmu silat kita siapa lebih tinggi?” tiba-tiba Jing-bau-khek itu tanya.

Untuk sejenak Po-ting-te berpikir, lalu menjawab, “Bicara tentang ilmu silat, memang engkau lebih menang sedikit. Tetapi kalau bergebrak sungguh-sungguh, aku bisa mengalahkan engkau.”

“Benar,” Jing-bau-khek itu mengaku, “betapa pun karena badanku sudah cacat. Ai, sungguh tidak nyata bahwa sesudah menjadi raja, sedikit pun engkau tidak telantarkan ilmu silatmu.”

Walaupun suaranya keluar dari perutnya dengan nada yang aneh, tapi tetap dapat terdengar ucapannya yang terakhir itu penuh mengandung rasa bimbang, sesal dan kecewa.

Karena tak bisa menerka asal usul orang, dalam sekejap itu benak Po-ting-te berputar macam-macam tanda tanya.

Saat itulah, tiba-tiba dari dalam rumah batu berkumandang keluar suara jeritan seorang yang keras dan serak. Itulah suara Toan Ki.

Cepat Po-ting-te berseru, “Ki-ji, kenapa kau? Jangan khawatir, segera dapat kutolongmu!”

Kiranya sehabis makan kedua ekor Bong-koh-cu-hap mestika itu, semula Toan Ki memang merasa agak segar. Tak tersangka sepasang katak merah itu adalah makhluk ajaib yang jarang terdapat di alam semesta ini, hidupnya berkat hawa Yang atau positif (lelaki) yang murni. Bila yang memakannya itu adalah Bok Wan-jing, maka dengan pembauran hawa Im dan Yang, seketika racun yang berkobar di dalam tubuh si gadis akan dapat dihapus.

Tapi sekarang yang memakannya adalah Toan Ki yang bertenaga Yang juga, tenaga kaum lelaki. Memangnya hawa Yang itu sedang bergolak di dalam tubuh Toan Ki, sekarang ditambah hawa Yang murni dari Cu-hap, keruan sebentar saja hawa Yang katak-katak itu bekerja, keadaan Toan Ki menjadi mirip api disiram minyak, saking panas oleh bergolaknya hawa Yang itu, sampai akhirnya Toan Ki hanya megap-megap dengan mulut menganga, dengan demikian dapatlah hawa yang bergolak di dalam tubuh itu sekadar dikeluarkan.

Tentang percakapan antara Po-ting-te dan Jing-bau-khek itu di luar rumah batu serta Po-ting-te menyuruhnya jangan khawatir segala, Toan Ki hanya dapat mendengarnya, tapi tidak sadar lagi akan maksudnya.

“Hm, Siaucu ini boleh juga dasar imannya, setelah minum ‘Im-yang-ho-hap-san’ ternyata masih mampu bertahan sampai sekarang,” demikian tiba-tiba Jing-bau-khek berkata.

Keruan Po-ting-te kaget, tanyanya ragu, “Kau…kau beri racun sejahat dan secabul itu, apa maksud tujuanmu sebenarnya?”

“Di dalam rumah ini terdapat pula adik perempuannya,” sahut Jing-bau-khek.

Maka mengertilah Po-ting-te akan muslihat keji orang. Sekalipun biasanya ia sangat sabar, kini ia tak tahan lagi, dengan ilmu It-yang-ci yang mahalihai itu menutuk. Segera Jing-bau-khek membalasnya dengan tongkat bambunya.

Menyusul tutukan kedua Po-ting-te dilancarkan pula, kali ini mengarah “Tan-cong-hiat” di dada lawan. Hiat-to ini adalah tempat yang mematikan, ia menduga musuh tentu akan menangis sepenuh tenaga.

Tak tersangka Jing-bau-khek itu hanya mendengus dua kali, ia tidak menangkis juga tidak berkelit, ia membiarkan dadanya ditutuk. Dalam pada itu jari Po-ting-te sudah menyentuh baju orang, ia menjadi curiga melihat lawannya terima saja diserang, segera ia tahan tutukannya itu di tengah jalan sambil tanya, “Kenapa kau rela mati?”

“Kalau aku mati di bawah tanganmu, itulah paling baik, biarlah dosa keluarga Toan dari Tayli akan bertambah lagi setingkat,” sahut Jing-bau-khek.

“Siapakah engkau sebenarnya?” tanya Po-ting-te pula.

Dengan perlahan Jing-bau-khek itu mengucap satu kalimat.

Mendengar itu, seketika wajah Po-ting-te berubah hebat, katanya dengan terputus-putus, “Ak…aku tidak percaya!”

Tiba-tiba Jing-bau-khek oper tongkat bambunya ke tangan kiri, lalu jari telunjuk tangan kanan menutuk ke arah Po-ting-te. Namun cepat Po-ting-te mengegos ke samping, berbareng balas menutuk sekali.

“Cus”, lagi-lagi tutukan kedua Jing-bau-khek itu dilontarkan dengan jari tengah. Dengan sikap prihatin Po-ting-te membalas pula dengan jari tengah pula.

Menyusul Jing-bau-khek menutuk pula dengan jari manis yang menyambar dari samping, kemudian tutukan keempat dilancarkan dengan jari kecil dengan gaya mencukit.

Dengan wajah sungguh-sungguh Po-ting-te membalas semua tutukan itu dengan jari-jari yang sama. Ketika tutukan kelima kalinya terjadi, kini Jing-bau-khek menggunakan jari jempol dengan gaya menekan ke depan.

Ciong Ling yang menonton di samping menjadi terheran-heran, sifat kanak-kanaknya menjadi timbul lagi hingga lupa rasa takutnya pada Jing-bau-khek itu. Dengan tertawa ia berseru, “He, apakah kalian sedang main sut-sutan)? Siapakah yang menang?”

Sembari berkata, Ciong Ling berjalan mendekati. Tapi sekonyong-konyong serangkum angin keras menyambar ke arahnya, seketika dadanya sesak seakan-akan ditikam senjata tajam.

Untung Po-ting-te sempat ayun sebelah tangannya hingga tubuh Ciong Ling dapat didorong mundur, menyusul Po-ting-te sendiri pun melesat mundur untuk memegang badan si gadis dengan wajah guram, katanya, “Apakah kau sudah tidak sayang pada jiwamu lagi?”

“Huak,” terus saja Ciong Ling tumpahkan darah segar, dengan tercengang ia menjawab, “Ap…apa dia hendak membunuhku?”

“Bukan,” sahut Po-ting-te. “Aku sedang mengadu kepandaian dengan dia, orang luar tidak boleh sembarangan mendekat.”

Habis itu, Po-ting-te urut beberapa kali punggung Ciong Ling hingga pernapasan gadis itu lancar kembali.

“Sekarang kau percaya tidak?” demikian Jing-bau-khek bertanya pada Po-ting-te.

Segera Po-ting-te melangkah maju, ia memberi hormat dan berkata, “Toan Cing-beng memberi hormat pada Cianpwe.”

“Kau panggil aku Cianpwe, jadi tidak sudi mengakui siapa diriku atau memang belum mau percaya?” tanya Jing-bau-khek itu.

“Cing-beng adalah pemimpin suatu negeri, mempunyai tanggung jawab yang berat, setiap tindak tanduk dengan sendirinya tidak boleh sembrono,” demikian jawab Po-ting-te. “Cing-beng sendiri tidak punya anak, Toan Ki itu adalah satu-satunya anak laki-laki keluarga Toan kami, maka mohon Cianpwe suka memberi ampun dan lepaskan dia.”

“Tidak, aku justru ingin keluarga Toan rusak moral dan runtuh iman, hilang anak putus turunan. Dengan susah payah kucari kesempatan dan baru hari ini berhasil, mana boleh sembarangan kubebaskan dia?”

“Toan Cing-beng tidak dapat terima perbuatanmu ini!” seru Po-ting-te dengan suara keras.

“Hehe, kau mengaku sebagai raja Tayli, tapi bagiku kau tidak lebih daripada pemberontak yang rebut kekuasaan. Jika kau berani, boleh kau kerahkan pasukan dan pengawalmu ke sini. Tapi ingin kukatakan padamu, memang kekuatanku tidak bisa melawanmu, namun bila aku mau bunuh si bangsat cilik Toan Ki rasanya teramat mudah.”

Wajah Po-ting-te menjadi pucat pasi. Ia tahu apa yang dikatakan orang memang benar, bila dirinya bertambah lagi seorang pembantu, tentu Jing-bau-khek ini takkan mampu melawannya, tapi Toan Ki segera akan menjadi korban, apalagi orang terhitung kaum Cianpwe, mana boleh dirinya melawan orang tua. Maka terpaksa ia tanya, “Habis, cara bagaimana baru engkau bersedia membebaskan Ki-ji?”

“Tidak susah, mudah sekali!” sahut Jing-bau-khek. “Lekas kau jadi Hwesio dan serahkan takhtamu padaku, segera akan kubebaskan Toan Ki.”

“Warisan leluhur, mana boleh sembarangan kuberikan pada orang lain?” sahut Po-ting-te.

“Jika begitu, boleh menanti saja, bila Toan Ki dan adik perempuannya sudah melahirkan anak, segera kulepaskan dia,” kata Jing-bau-khek.

“Lebih baik lekas kau bunuh dia saja,” sahut Po-ting-te.

“Tidak,” kata Jing-bau-khek. “Selain itu, masih ada lagi dua jalan.”

“Dua jalan apa?” tanya Po-ting-te.

“Pertama, secara mendadak kau serang aku, karena tak sempat jaga diri, dapat kau bunuh aku dengan mudah dan tentu dapat kau tolong keponakanmu itu.”

“Aku tidak pernah membokong orang, juga tidak padamu!” ujar Po-ting-te.

“Hm, sekalipun kau hendak kau bokong aku juga belum mampu,” sahut Jing-bau-khek. “Dan jalan kedua, boleh kau suruh Toan Ki tempur aku dengan It-yang-ci, asal dia bisa menang, bukankah dia dapat lolos? Hehe, hehe!”

Sungguh gusar Po-ting-te tak terkatakan, namun dia masih dapat mengendalikan diri, katanya pula, “Ki-ji tak tahu ilmu silat, ia tidak pernah belajar ilmu It-yang-ci.”

“Putra keluarga Toan tak bisa It-yang-ci? Hah, siapa yang mau percaya!” jengek Jing-bau-khek.

“Sejak kecil Ki-ji hanya baca kitab dan tekun beribadat, hatinya welas asih, ia bertekad tidak mau belajar silat,” demikian Po-ting-te menjelaskan.

“Huh, kembali seorang laki-laki berhati palsu lagi. Orang demikian kalau menjadi raja Tayli juga takkan menguntungkan rakyatnya, lebih baik lekas dibunuh saja.”

“Cianpwe,” tiba-tiba Po-ting-te berseru dengan bengis, “kecuali itu tadi, apakah masih ada jalan lain pula?”

“Dahulu kalau aku diberi jalan lain, tentu tak jadi seperti sekarang ini,” sahut Jing-bau-khek dingin. “Kalau orang lain tidak memberi jalan padaku, kenapa aku harus memberi jalan padamu?”

Po-ting-te menunduk dan berpikir sejenak, mendadak ia angkat kepala dengan sikap yang penuh kepercayaan, serunya, “Ki-ji, selekasnya aku akan berdaya untuk menolongmu, janganlah kau lupa bahwa kau adalah keturunan keluarga Toan!”

Terdengar Toan Ki berseru menjawab, “Pekhu, lekas masuk ke sini dan…dan menutuk mati aku saja!”

“Apa? Jadi kau sudah melakukan perbuatan yang merusak kehormatan keluarga Toan kita?” bentak Po-ting-te.

“Tidak! Tapi Titji (keponakan) merasa panas bagai dibakar, tak sanggup…tak sanggup hidup lagi!”

“Mati atau hidup sudah takdir Ilahi, biarkan saja terjadi apa mestinya!” seru Po-ting-te.

Habis itu ia gandeng tangan Ciong Ling dan melompat lewat pagar pohon.

“Nona cilik, terima kasih engkau telah tunjukkan jalannya, semoga engkau mendapat ganjaran yang pantas,” kata Po-ting-te pada Ciong Ling, lalu tinggal pergi kembali ke depan rumah utama tadi.

Dalam pada itu pertarungan yang berlangsung itu sudah mulai kentara kekuatan masing-masing, Bu-sian-tio-toh Leng Jian-li dan Tiam-jong-san-long Tang Su-kui berdua menempur Lam-hay-gok-sin sudah jelas di atas angin. Sebaliknya Jay-sin-khek Siau Tiok-sing dan Pit-bak-seng Cu Tan-sin yang mengerubut Yap Ji-nio malah terdesak oleh golok tipis tokoh kedua Su-ok itu.

Si Pek-hong tampak putar kebutnya dengan kencang hingga sepasang Siu-lo-to lawannya susah menembus pertahanannya.

Di sebelah sana In Tiong-ho masih main udak-udakan dengan Pah Thian-sik. Napas In Tiong-ho tampak megap-megap bagai kerbau sekarat, sebaliknya Thian-sik masih dapat melompat dan melejit dengan enteng dan cekatan.

Sedang Sian-tan-hou Ko Sing-thay tetap acuh tak acuh menggendong tangan mondar-mandir di samping, nyata ia sudah yakin akan kemenangan di pihaknya, maka terhadap pertarungan sengit di depannya itu dianggapnya sepi saja. Padahal ia justru pasang telinga dan mata memusatkan antero perhatiannya mengikuti situasi medan pertempuran, asal tidak ada kawannya menghadapi bahaya, ia pun tidak perlu turun tangan membantu.

Dan karena tidak melihat adik pangerannya berada di situ, segera Po-ting-te tanya, “Ke mana adik Sun pergi?”

“Tin-lam-ong mengejar Ciong-kokcu dan sedang mencari Toan-kongcu,” sahut Sing-thay.

Segera Po-ting-te berseru, “Kita sudah ada rencana lain, harap semua mundur dulu.”

Mendadak Pah Thian-sik berhenti lari. Tapi In Tiong-ho masih terus menubruk ke arahnya. “Plak”, cepat Thian-sik melontarkan pukulan ke belakang. Ketika In Tiong-ho menangkis, kontan dada terasa sesak, darah hampir tersembur keluar dari mulutnya. Sekuatnya ia tahan, namun pandangannya menjadi remang-remang, susah lagi melihat datangnya lawan.

Untung Thian-sik tidak menghantam lebih jauh, sebaliknya cuma menjengek dan berkata, “Terima kasih!”

Dalam pada itu, tampak Toan Cing-sun telah muncul juga dari semak-semak pohon sana, segera ia tanya, “Hong-heng, apakah Ki-ji sudah…sudah ditemukan?”

Sebenarnya ia hendak tanya apakah sudah “tertolong”, tapi karena tidak melihat Toan Ki, ia tanya apakah sudah diketemukan atau belum.

“Sudah ketemu,” sahut Po-ting-te mengangguk. “Marilah kita pulang saja dahulu.”

Mendengar perintah “gencatan senjata” raja mereka, Leng Jian-li dan kawan-kawannya lantas hendak berhenti. Namun Yap Ji-nio, Lam-hay-gok-sin dan Cin Ang-bian sedang bernafsu melabrak lawannya, seketika mereka tidak rela berhenti begitu saja.

Po-ting-te bekernyit kening melihat itu, katanya pula, “Marilah kita pergi saja!”

Ko Sing-thay mengiakan, berbareng ia keluarkan senjata “Giok-tik” atau seruling kemala, sekali bergerak, segera punggung Cin Ang-bian ditutuknya.

“Huh, tidak malu, main keroyok!” damprat Ang-bian dengan gusar sambil menangkis.

Maka terdengarlah suara “crang-cring” dua kali, sepasang Siu-lo-to kena ditekan ke bawah, kesempatan mana segera digunakan Si Pek-hong untuk melompat mundur.

Menyusul Ko Sing-thay kebas lengan bajunya yang longgar itu hingga berjangkit serangkum angin keras, ia tahan agar Cin Ang-bian tidak menyerang lebih jauh lawannya, lalu serulingnya menutuk pula ke arah Lam-hay-gok-sin, dan sekali serulingnya membalik, kini Yap Ji-nio yang diincar.

Kedua gerak serangan itu semuanya menyerang titik kelemahan musuh yang terpaksa mesti menghindar. Maka Lam-hay-gok-sin dan Yap Ji-nio menjadi kaget, cepat mereka melompat mundur beberapa tindak.

Sebenarnya ilmu silat Ko Sing-thay tidak lebih tinggi daripada ketiga lawannya itu, soalnya sudah lama dia mengikuti pertarungan mereka dari samping, sebelumnya ia sudah merencanakan tipu serangan hebat untuk melayani ketiga orang itu. Asal tipu serangan yang sudah disiapkan lebih dulu itu dilontarkan, seketika ketiga orang itu pasti kelabakan dan terpaksa melompat mundur.

Mendelik mata Lam-hay-gok-sin yang bundar kecil sebesar kacang itu, ia terkejut tercampur kagum, serunya, “Setan, hebat benar, sungguh tidak nyana…”

Ia tidak melanjutkan kata-katanya yang bermaksud “tidak nyana begini lihai kepandaianmu, rasanya aku memang bukan tandinganmu.”

Dalam pada itu Si Pek-hong lantas tanya Po-ting-te, “Hong-heng, bagaimana dengan Ki-ji?”

Meski dalam batin Po-ting-te sangat khawatir, namun lahirnya ia tetap tenang saja, sahutnya, “Tidak apa-apa, saat ini justru adalah kesempatan yang paling bagus untuk menggemblengnya, lewat beberapa hari lagi tentu dia akan bebas.”

Habis berkata, segera ia putar tubuh dan mendahului berangkat.

Cepat Sugong Pah Thian-sik berlari ke depan sebagai pembuka jalan. Sedang suami istri Toan Cing-sun menyusul di belakang Po-ting-te, lalu para pengiring dan tokoh-tokoh Hi-jiau-keng-dok, paling akhir adalah Ko Sing-thay yang mengawal dengan berlenggang seenaknya.

Nyata, dengan serangan yang lihai tadi, Ko Sing-thay telah bikin lawan-lawannya merasa jeri. Biarpun Lam-hay-gok-sin biasanya sangat garang dan buas, kini juga tidak berani sembarangan menantang pula.

Setelah belasan tindak berjalan, tiba-tiba Toan Cing-sun menoleh dan memandang Cin Ang-bian. Saat itu, dengan termangu-mangu Ang-bian juga sedang memandang bekas kekasihnya itu. Dua pasang mata ketemu, seketika mereka sama terkesima.

“Keparat!” mendadak Lam-hay-gok-sin membentak, “Apakah kau masih belum mau pergi dan ingin berkelahi pula dengan Locu (bapakmu)?”

Toan Cing-sun kaget, cepat ia berpaling kembali, ia lihat sang istri sedang memandangnya dengan sikap dingin, dengan kikuk lekas ia percepat langkah dan keluar Ban-jiat-kok.

Sesudah rombongan sampai di Tayli, Po-ting-te berkata, “Mari kita berkumpul semua di istana untuk berunding!”

Sampai di pendopo istana, Po-ting-te duduk di tengah, Toan Cing-sun suami istri di sisinya, sedang Ko Sing-thay dan lain-lain hanya berdiri.

Segera Po-ting-te suruh dayang membawakan kursi dan suruh semua orang ikut duduk. Habis itu, ia perintahkan semua dayang keluar ruangan, lalu menceritakan keadaan Toan Ki yang dikurung oleh musuh itu.

Mendengar itu, semua orang tahu bahwa kunci dari mati hidup Toan Ki terletak pada diri Jing-bau-khek itu. Tapi demi mendengar Po-ting-te bilang orang aneh itu pun paham It-yang-ci, bahkan lebih lihai daripada sang raja, keruan tiada seorang pun yang berani sembarangan buka suara.

Sebab harus diketahui bahwa It-yang-ci adalah ilmu khas warisan keluarga Toan turun-temurun, hanya diajarkan pada anak laki-laki dan tidak kepada anak perempuan. Dan kalau Jing-bau-khek itu pun mahir ilmu sakti itu, dengan sendirinya dia pasti juga berasal dari keturunan keluarga Toan.

Sedang semua orang menunduk berpikir, Po-ting-te berkata pada Toan Cing-sun, “Adik Sun, coba kau terka siapakah gerangan orang itu?”

Cing-sun geleng kepala, sahutnya, “Aku tidak bisa menebaknya, barangkali orang dari Cing-peng-si kembali menjadi orang preman dan menyamar?”

“Bukan,” sahut Po-ting-te, “dia adalah Yan-king Taycu!”

Mendengar nama “Yan-king Taycu” atau putra mahkota Yan-king itu, seketika semua orang terkejut.

“Yan-king Taycu?” Cing-sun menegas. “Bukankah sudah lama dia meninggal? Besar kemungkinan orang itu memalsukan beliau untuk menipu belaka.”

“Nama orang bisa dipalsu, apakah It-yang-ci juga dapat dipalsu?” sahut Po-ting-te dengan menghela napas. “Memang banyak juga orang Bu-lim mencuri belajar ilmu silat aliran lain, akan tetapi rahasia Lwekang It-yang-ci kita cara bagaimana bisa dicurinya? Maka menurut pendapatku, orang ini pastilah Yan-king Taycu adanya, hal ini tidak perlu disangsikan lagi.”

Cing-sun pikir sejenak, lalu berkata, “Jika Toako sudah jelas mengenalnya, ini berarti dia tokoh pilihan keluarga Toan kita, tapi sebab apa dia malah hendak merusak nama baik keluarga kita sendiri?”

“Orang ini cacat badan, dengan sendirinya sifat-sifatnya sangat menyendiri dan aneh, segala tindak tanduk dengan sendirinya juga abnormal,” demikian Po-ting-te menjelaskan. “Apalagi takhta kerajaan Tayli sudah kududuki, dengan sendirinya ia tidak senang, maka kita berdua hendak dihancurkannya habis-habisan.”

“Toako sudah lama naik takhta dan didukung penuh oleh seluruh rakyat, negara pun aman tenteram, rakyat hidup sejahtera, jangankan Yan-king Taycu datang kembali, sekalipun Siang-tek-te hidup kembali juga sukar menggantikan takhta Toako,” demikian ujar Cing-sun.

Segera Ko Sing-thay juga bangkit, dan berdatang sembah, “Apa yang dikatakan Tin-lam-ong memang tepat. Urusan akan menjadi beres bila Yan-king Taycu mau bebaskan Toan-kongcu dengan baik-baik, kalau tidak, kita pun tidak kenal lagi apakah dia itu Taycu apa segala, kita hanya anggap dia sebagai kepala Su-ok yang mahajahat serta pantas dibasmi. Biarpun ilmu silatnya tinggi, akhirnya juga takkan mampu lawan kita yang berjumlah lebih banyak.”

Kiranya pada masa 14 tahun yang lalu, tatkala itu raja Tayli Toan Lian-cit dengan gelar Siang-tek-te, telah dibunuh oleh menteri dorna Nyo Cit-ceng. Kemudian keponakan sang raja dapat membasmi pemberontakan Nyo Cit-ceng, lalu naik takhta sendiri dengan gelar Siang-beng-te.

Tapi Siang-beng-te tidak suka menjadi raja, ia hanya bertakhta satu tahun, lalu mengundurkan diri untuk menjadi Hwesio, ia serahkan takhtanya kepada adik sepupunya Toan Cing-beng, yaitu Po-ting-te yang sekarang.

Siang-tek-te sebenarnya mempunyai seorang putra kandung yang disebut oleh para menteri dengan gelar Yan-king Taycu. Tapi sewaktu terjadi kudeta oleh Nyo Cit-ceng, Yan-king Taycu telah menghilang hingga semua orang menyangka dia juga dibunuh oleh pemberontak. Siapa duga setelah belasan tahun lamanya, kini mendadak muncul kembali.

Maka sesudah mendengar pendapat Ko Sing-thay tadi, Po-ting-te berkata sambil geleng kepala, “Tidak, aku tidak setuju. Takhtaku ini memangnya adalah hak Yan-king Taycu. Tatkala itu disebabkan dia menghilang, makanya Siang-beng-te menerima takhta ini, kemudian diserahkan padaku. Tapi kini kalau Yan-king Taycu sudah kembali, takhta kerajaan ini sepantasnya kukembalikan padanya.”

Lalu ia menatap Ko Sing-thay dan menyambung, “Andaikan mendiang ayahmu masih hidup, tentu ia pun sependapat denganku.”

Kiranya Ko Sing-thay ini tak-lain tak-bukan adalah putranya Ko Ti-sing, itu menteri setia yang membantu Siang-tek-te membasmi pemberontakan.

Segera Ko Sing-thay melangkah maju, ia menyembah dan bertutur pula, “Mendiang ayahku membaktikan dirinya kepada negara dan cinta pada rakyat. Padahal Jing-bau-khek ini mengaku sebagai kepala dari Su-ok yang mahajahat, kalau dia yang merajai negeri Tayli ini, maka susah dibayangkan betapa celakanya rakyat jelata akan menderita akibat angkara murkanya itu. Maka pendapat Hongsiang tentang akan menyerahkan takhta padanya, hamba sekalipun mati tak bisa terima.”

Cepat Leng Jian-li pun menyembah, katanya, “Tadi Jian-li juga mendengar gembar-gembor Lam-hay-gok-sin itu, katanya kepala Su-ok mereka berjuluk ‘kejahatan sudah melebihi takaran’. Coba pikiran, andaikan benar orang itu adalah Yan-king Taycu, lalu Hongsiang menyerahkan takhta ini kepada seorang yang kejam dan durhaka seperti dia untuk memerintah rakyat Tayli ini, maka pastilah negara akan hancur dan rakyat akan celaka!”

“Harap kalian bangun, apa yang kalian katakan memang ada benarnya juga,” sahut Po-ting-te. “Cuma Ki-ji berada dalam cengkeramannya, kecuali kuserahkan takhta padanya, jalan lain rasanya tiada lagi.”

“Toako,” kata Cing-sun, “selama ini kita kenal peraturan ‘orang tua ada kesulitan, yang muda harus berusaha menolong’. Meski Ki-ji sangat disayang oleh Toako, mana boleh Toako rela melepaskan takhtamu hanya untuk keselamatannya seorang? Andaikan Ki-ji dapat diselamatkan, rasanya ia pun merasa berdosa pada rakyat negeri Tayli ini.”

Po-ting-te tidak berkata pula, ia bangkit sambil berjalan mondar-mandir di ruangan pendopo itu, tangan kiri mengelus jenggot, tangan lain ketuk-ketuk perlahan jidat sendiri.

Semua orang tahu bila sang raja sedang menghadapi sesuatu kesulitan, selalu dia memeras otak seperti demikian, maka tiada seorang pun yang berani bersuara mengganggu.

Sesudah mondar-mandir agak lama, kemudian berkatalah Po-ting-te, “Perbuatan Yan-king Taycu ini benar-benar keji sekali, racun ‘Im-yang-ho-hap-san’ yang dia minumkan pada Ki-ji itu sangat lihai, orang biasa sangat sukar bertahan. Maka kukhawatir saat ini Ki-ji sudah…sudah khilaf oleh pengaruh racun serta sudah berbuat… Ai, tapi kejadian ini adalah muslihat yang sengaja diatur musuh, tak dapat menyalahkan Ki-ji.”

Toan Cing-sun menunduk dengan rasa malu, sebab, kalau soal ini diungkat secara mendalam, semuanya adalah gara-gara perbuatannya sendiri yang sok bangor itu.

Tiba-tiba Po-ting-te berpaling pada Ko Sing-thay dan tanya, “Sing-thay, tahun ini putrimu itu berusia berapa?”

“Siauli (putriku) tahun ini berumur delapan belas,” sahut Sing-thay.

“Bagus!” ujar Po-ting-te. Lalu ia berkata lagi kepada Cing-sun, “Sun-te, kita tetapkan untuk melamar putri Sian-tan-hou sebagai menantu. Pah-sugong, harap kau pergi ke bagian protokol untuk mengatur peresmian lamaran ini serta menyediakan emas kawin yang diperlukan. Peristiwa ini harus dirayakan semeriahnya hingga setiap pelosok negeri Tayli ini mengetahui semua.”

Suami-istri Toan Cing-sun, Ko Sing-thay dan Pah Thian-sik merasa keputusan itu terlalu mendadak datangnya. Namun segera mereka pun paham bahwa tindakan Po-ting-te ini adalah demi nama baik keluarga serta kehormatan Toan Ki yang masih suci bersih itu.

Asal setiap orang di seluruh negeri sudah tahu bahwa istri Toan Ki adalah putri Sian-tan-hou Ko Sing-thay, sekalipun kemudian Yan-king Taycu menyebarkan desas-desus bahwa Toan Ki mengadakan hubungan tak susila dengan adik perempuannya sendiri, tentu orang luar akan menganggapnya sebagai dusta dan fitnah belaka, paling-paling juga cuma setengah percaya setengah tidak.

Maka Toan Cing-sun menjawab, “Siasat Hong-heng ini memang sangat bagus. Sudah lama kudengar putri Sian-tan-hou cantik molek, pintar lagi berbakti, sungguh seorang istri yang susah dicari. Tetapi tabiat Ki-ji agak aneh juga, maka lebih baik kita tunggu kalau dia sudah lolos dari bahaya, kemudian beri tahukan hal ini padanya, lalu mengatur emas kawin untuk memastikan perjodohan ini.”

“Sudah tentu aku pun tahu watak Ki-ji memang suka bandel,” ujar Po-ting-te. “Misalnya waktu kita hendak ajarkan It-yang-ci padanya, tapi betapa pun ia tidak mau belajar, sungguh seorang yang tidak tahu adat. Tapi mengenai perjodohan, selamanya harus tunduk pada pilihan orang tua, masakah dalam hal ini ia berani membangkang perintah kalian suami istri? Apalagi hal ini demi menyelamatkan nama baik keluarga Toan, demi kehormatan selama hidupnya, bagaimanapun ia tidak boleh membangkang.”

“Kabarnya putri Ko-hiante itu badannya rada lemah, maka urusan ini paling baik dirundingkan lebih masak dulu,” ujar Cing-sun.

Po-ting-te merasa alasan adik pangeran itu terlalu dicari-cari, maka katanya pula, “Soal badan lemah bukan soal penting. Ilmu silat Ko-hiante begitu tinggi, asal dia ajarkan sedikit kepandaian Lwekang, dalam waktu singkat tentu badannya akan sehat kuat.”

“Namun…namun….” kata Cing-sun.

“Sun-te,” demikian Po-ting-te memotong sebelum adik pangeran itu bicara lebih lanjut, “sejak tadi kau selalu menolak saja, sebenarnya apa maksudmu? Apakah dalam hatimu ada sesuatu yang kurang senang terhadap Ko-hiante?”

“O, tidak, tidak!” cepat Cing-sun menjawab. “Hubungan Ko-hiante denganku laksana saudara sekandung. Kalau kami berdua dapat besanan lagi, tentu lebih bagus. Ehm, ka…kabarnya Pah-sugong juga mempunyai seorang putri dan Hoan-suma juga ada dua anak perempuan. Marilah kita pun ajukan mereka itu sebagai calon.”

Thian-sik tertawa, katanya, “Tapi anak Thian-sik itu baru lahir tahun yang lalu, sampai sekarang pun usianya belum genap setahun. Sedang kedua putrinya Hoan-suma, yang satu adalah menantuku yang tertua, sedang yang lain konon sudah bertunangan, yaitu mendapat putra sulung Hoa-suto.”

Po-ting-te menjadi kurang senang juga atas sikap adiknya itu, segera katanya pula, “Sun-te, percumalah engkau sama bertugas dengan Thian-sik bertiga, masakah urusan mereka itu sedikit pun tak kau ketahui?”

Melihat kakak bagindanya rada gusar, Cing-sun tidak berani buka mulut lagi.

“Tin-lam-ongya,” tiba-tiba Sing-thay berkata, “sejak kecil Sing-thay sudah bergaul dengan Ongya, hubungan kita boleh dikatakan melebihi saudara sekandung, di antara kita biasanya tidak pernah kenal istilah rahasia, maka sudilah katakan bila ada dengar sesuatu yang menjelekkan nama baik putriku hingga terasa tidak sesuai untuk menjadi menantumu? Jika benar begitu, hendaklah katakan terus terang, Sing-thay tak nanti merasa tersinggung.”

Cing-sun agak ragu, tapi kemudian berkata, “Jika demikian, biarlah Cing-sun bicara, tapi harap Ko-hiante jangan marah.”

“Silakan Ongya bicara terus terang saja,” sahut Sing-thay.

“Begini,” kata Cing-sun dengan merandek sejenak, “sejak kecil putrimu sudah kehilangan ibu, betapa pun Hiante rada memanjakan dia. Konon watak putrimu sangat keras, suka turuti kemauan sendiri. Kabarnya dia sudah mendapat seluruh ilmu silat Hiante, bahkan katanya lebih hebat daripadamu. Jika begitu, kelak bila dia sudah menjadi menantuku, mungkin…mungkin, hehe, aku menjadi khawatir kalau Ki-ji akan menderita selama hidupnya. Ki-ji sedikit pun tidak suka ilmu silat dan melulu mahir beberapa langkah ‘Leng-po-wi-poh’ itu untuk berlari kian kemari di dalam kamar guna menghindarkan hajaran putrimu, hidup demikian bukankah tiada artinya lagi.”

Po-ting-te terbahak-bahak oleh keterangan itu, katanya, “Sun-te, sebabnya kau ragu-ragu kiranya melulu soal demikian saja.”

Cing-sun melirik Si Pek-hong sekejap, lalu menyahut dengan tertawa, “Toako, adik iparmu selalu selisih paham denganku, pada waktu cekcok, untung kepandaian kami berdua sama kuatnya hingga Siaute tidak sampai dihajar olehnya, kalau sebaliknya, wah, bisa runyam.”

Mendengar itu, mau tak mau semua orang tersenyum geli juga.

Dengan dingin Si Pek-hong berkata, “Asal Ki-ji dapat mempelajari It-yang-ci keluarga Toan, tentu tiada tandingannya di dunia ini, biarpun dia menikah dengan lima atau sepuluh perempuan bawel juga tidak perlu takut.”

Di balik kata-katanya itu terang ia sengaja berolok-olok “It-yang-ci.”

Namun Cing-sun hanya tersenyum saja tanpa menjawab.

Segera Ko Sing-thay bicara pula, “Siauli (putriku) meski benar kurang mendapat didikan, tapi rasanya juga takkan berbuat sembarangan. Sing-thay sudah banyak menerima budi, tidak berani menerima budi lebih besar lagi dari Hongsiang dan Tin-lam-ong.”

Po-ting-te tertawa, katanya, “Jika putrimu bisa bantu menghajar sedikit anak kami yang suka bikin gara-gara itu, kami bersaudara justru merasa sangat berterima kasih, itu berarti putrimu telah berjasa mendidik anak kami itu. Sing-thay, siapa nama anak itu? Apakah benar rada…rada keras wataknya?”

“Putri hamba bernama ‘Bi’, hanya satu huruf saja,” sahut Sing-thay. “Sejak kecil ia tidak pernah keluar rumah, tabiatnya sangat ramah. Mungkin ada orang yang dendam pada Sing-thay, maka sengaja menyebarkan kabar tidak benar itu dan dapat didengar Ongya.”

Nyata dia menjadi kurang senang karena mendengar Tin-lam-ong menyatakan watak putrinya kurang baik.

Maka cepat Cing-sun mendekati Ko Sing-thay, ia gandeng tangan kawan karib itu dan berkata dengan tertawa, “Ko-hiante, aku tadi salah omong, hendaklah engkau jangan pikirkan lebih jauh.”

“Nah, urusan boleh diputuskan demikian,” kata Po-ting-te kemudian dengan tersenyum. “Thian-sik, aku menugaskanmu sebagai Lap-jay-su, supaya kau bisa menarik komisi sebagai comblang dari kedua belah pihak.”

Lap-jay-su atau duta pengantar emas kawin di kalangan kerajaan adalah sama dengan comblang di kalangan rakyat jelata. Kalau urusan selesai, umumnya dari pihak pengantin laki-laki dan perempuan akan memberi hadiah cukup besar.

Maka dengan tertawa Pah Thian-sik menerima tugas itu sambil mengucapkan terima kasih.

“Segera kau teruskan perintahku pula agar Han-lim-ih (bagian perpustakaan) mencatat dalam buku silsilah, aku mengangkat adikku Cing-sun sebagai Hong-thay-te (adik pangeran mahkota),” demikian perintah Po-ting-te lebih lanjut.

Cing-sun terperanjat, cepat ia berlutut menyembah, “Usia Toako masih muda, kesehatan kuat, luhur budi dan bijaksana, tentu akan diberkahi Thian yang mahakuasa dengan keturunan banyak, maka keputusan tentang Hong-thay-te ini hendaklah ditunda dahulu.”

Po-ting-te bangunkan adik pangeran itu, katanya, “Kita bersaudara adalah dwitunggal, dua badan satu jiwa. Nasib negeri Tayli ini terletak di tangan kita berdua, jangankan aku memang tidak punya anak, sekalipun punya keturunan juga takhtaku kelak akan kuturunkan padamu. Sun-te, keputusanku sudah lama tersirat dalam hatiku, pula rakyat di seluruh negeri pun sudah lama tahu, hari ini hanya kutetapkan secara resmi saja, biar Yan-king Taycu yang bertujuan jahat itu hilang harapannya!”

Karena berulang menolak tetap tak diizinkan, akhirnya terpaksa Cing-sun menerima dengan baik serta mengaturkan terima kasih pada Hongsiang.

Segera Ko Sing-thay dan lain-lain saling memberi selamat kepada Toan Cing-sun.

Perlu diketahui bahwa Po-ting-te sendiri memang tidak punya keturunan, maka sudah bukan rahasia lagi bahwa kelak yang akan menggantikannya pasti Tin-lam-ong, hal ini sama sekali tidak mengherankan mereka.

Dengan tertawa Pah Thian-sik memberi tangan juga kepada Ko Sing-thay, maksudnya memberi selamat bahwa bila kelak Toan Ki menggantikan takhta ayahnya, dengan sendirinya putrimu adalah permaisuri, maka uang jasaku sebagai comblang ini harus istimewa.

Akhirnya Po-ting-te berkata, “Sekarang silakan semua pergi mengaso. Tentang urusan Yan-king Taycu itu harap jangan sampai bocor.”

Semua orang mengiakan dan memberi hormat lalu mengundurkan diri.

Setelah dahar, Po-ting-te tidur siang sebentar. Ketika bangun, ia dengar di luar ramai dengan suara musik yang meriah, suara letusan mercon bergemuruh di mana-mana. Dayang yang melayaninya itu memberi laporan, “Oleh karena putra Tin-lam-ong mengirim Lap-jay kepada putri Sian-tan-hou, maka di luar istana rakyat ikut merayakannya dengan meriah.”

Perlu diketahui bahwa tatkala itu seluruh negeri Tayli dalam keadaan aman tenteram dengan pemerintahan yang bijaksana, rakyat hidup makmur sejahtera, maka dukungan rakyat kepada raja, Tin-lam-ong, Sian-tan-hou dan para pembesar lain, luar biasa besarnya. Ketika mendengar keluarga Toan dan Ko besanan, segenap penduduk kota Tayli ikut riang gembira.

Segera Po-ting-te memberi perintah, “Sampaikan titahku agar besok dimeriahkan dengan membakar kembang api, segala larangan di kota Tayli dicabut untuk sementara, semua angkatan bersenjata diberi cuti agar bisa ikut merayakan, orang tua dan anak piatu diberi hadiah tersendiri.”

Ketika titah raja itu disampaikan kepada umum, segenap rakyat Tayli seketika makin bersorak-sorai gembira.

Menjelang petang, Po-ting-te menyamar dengan pakaian preman dan keluar sendirian. Ia tarik topinya yang lebar itu ke bawah hingga hampir menutupi matanya, dengan demikian orang lain sukar mengenalnya. Sepanjang jalan ia lihat rakyat menyanyi dan menari dengan riangnya, laki-perempuan, tua-muda hilir mudik dengan ramai.

Betapa bersyukurnya Po-ting-te menyaksikan negerinya yang sentosa itu. Diam-diam ia berdoa, “Semoga rakyat negeri Tayli turun-temurun senantiasa diberkahi kegembiraan seperti ini, maka aku Toan Cing-beng sekalipun tidak punya keturunan juga takkan menyesal.”

Sesudah keluar kota, langkah Po-ting-te lantas dipercepat, makin lama makin sunyi tempat yang dituju, kira-kira belasan li jauhnya, setelah melintasi beberapa lereng bukit, sampailah di suatu kelenteng kuno kecil, di atas papan kelenteng itu tertulis tiga huruf “Liam-hoa-si” atau kelenteng petik bunga.

Po-ting-te berhenti di depan kelenteng sambil berdoa sejenak, lalu mengetuk pintu dengan perlahan.

Tidak lama, pintu dibuka dan muncul seorang Hwesio kecil, tanyanya sambil memberi hormat, “Ada keperluan apakah kunjungan tuan tamu ini?”

“Harap sampaikan pada Ui-bi Taysu, katakan sobat lama Toan Cing-beng mohon bertemu,” sahut Po-ting-te.

“Silakan masuk,” kata padri cilik itu.

Po-ting-te dibawa ke ruangan tengah melalui suatu pekarangan yang sunyi, kata padri kecil itu, “Harap tuan tamu suka menunggu sebentar, biar kulaporkan kepada Suhu.”

Po-ting-te mengiakan, ia mondar-mandir di ruangan itu sambil menggendong tangan.

Selama hidup Po-ting-te tidak pernah berdiri di luar rumah untuk menunggu orang, yang selalu terjadi ialah orang lain menanti di luar istana hendak menghadap padanya. Namun begitu, ternyata sedikit pun ia tidak gelisah, ia tetap menanti dengan sabar di dalam kelenteng yang seakan-akan memberi rahmat padanya itu, sama sekali ia lupa bahwa dirinya adalah seorang raja.

Agak lama kemudian, tiba-tiba terdengarlah suara seorang tua berkata dengan tertawa, “Toan-hiante, rupanya engkau sedang dirundung sesuatu kesulitan?”

Waktu Po-ting-te menoleh, terlihatlah seorang padri tua bermuka sudah penuh keriput, berperawakan tinggi besar, sedang melangkah masuk dari pintu samping.

Kedua alis padri tua ini sangat panjang hingga melambai ke bawah, bulu alisnya bersemu kuning hangus. Ia bukan lain adalah Ui-bi Hwesio yang hendak ditemuinya itu.

Po-ting-te memberi hormat, lalu katanya, “Maafkan mengganggu ketenteraman Taysu.”

Ui-bi Hwesio (padri alis kuning) hanya tersenyum, sahutnya, “Mari masuk.”

Po-ting-te ikut masuk ke suatu pondok kecil, di situ tampak enam Hwesio setengah umur berjubah abu-abu serentak membungkuk memberi hormat kepada mereka.

Po-ting-te tahu keenam Hwesio itu adalah anak murid Ui-bi Taysu, segera ia membalas hormat mereka, lalu duduk bersila di atas tikar di sisi kiri sana.

Sesudah Ui-bi Hwesio juga duduk di tikar sebelah kanan, Po-ting-te lantas berkata, “Aku mempunyai seorang keponakan bernama Toan Ki, waktu berusia tujuh tahun, pernah kubawa dia ke sini untuk mendengarkan khotbah Suheng.”

“Ya, anak itu memang pintar, sungguh anak bagus, anak bagus!” ujar Ui-bi.

“Setelah mendapat rahmat Buddha, wataknya juga welas asih, tidak mau belajar silat, katanya agar tidak membunuh sesamanya,” tutur Po-ting-te.

“Tidak bisa ilmu silat juga bisa membunuh orang. Sebaliknya mahir ilmu silat, belum tentu akan membunuh orang,” ujar Ui-bi.

Po-ting-te membenarkan. Lalu ia pun bercerita tentang Toan Ki yang bandel, tidak mau belajar silat, minggat dari rumah, lalu berkenalan dengan Bok Wan-jing dan kemudian tertawan oleh Yan-king Taycu yang bergelar “orang jahat nomor satu di jagat” itu.

Dengan tersenyum Ui-bi mendengarkan cerita itu tanpa menyela. Keenam muridnya yang berdiri di belakangnya dengan tangan lurus ke bawah pun diam saja, bahkan bergerak sedikit pun tidak.

Habis Po-ting-te bicara, kemudian Ui-bi berkata dengan perlahan, “Jikalau Yan-king Taycu adalah saudara sepupumu, kau sendiri memang tidak enak bergebrak dengan dia, seumpama kau kirim bawahanmu untuk menghadapi dia dengan kekerasan, rasanya juga tidak pantas, maksudmu demikian bukan?”

Po-ting-te mengangguk, sahutnya, “Suheng memang bijaksana!”

Ui-bi tersenyum, ia tidak berkata pula, tapi mendadak mengulur jari tengah terus menutuk perlahan ke arah dada Po-ting-te.

Po-ting-te tersenyum juga, ia pun ulur jari telunjuknya tepat menutuk ujung jari orang. Seketika tubuh kedua orang sama tergeliat sedikit, lalu menarik kembali tangan masing-masing.

Dengan berkerut kening berkatalah Ui-bi, “Toan-hiante, aku punya Kim-kong-ci-lik toh tidak bisa menangkan It-yang-cimu yang hebat?”

“Tapi dengan kebijaksanaan dan kecerdikan Suheng, tidak perlu menang dengan tenaga jari,” ujar Po-ting-te.

Ui-bi tidak berkata pula, ia menunduk berpikir.

Tiba-tiba Po-ting-te bangkit dan berkata, “Sepuluh tahun yang lalu Suheng pernah minta aku membebaskan cukai garam bagi segenap rakyat negeri Tayli. Tapi tatkala itu, karena perbendaharaan negara belum mengizinkan, pula Siaute bermaksud menunggu bila adikku Cing-sun menggantikan takhtaku, barulah aku melaksanakan politik dalam negeri itu agar setiap rakyat jelata berterima kasih kepada adikku. Tetapi kini aku berpikir lain, besok juga Siaute akan memberi perintah pembebasan cukai garam demi kebahagiaan rakyat.”

Ui-bi berbangkit juga dan memberi hormat, katanya, “Hiante sudi beramal bagi rakyat seluruh negeri, aku merasa terima kasih tak terhingga.”

Lekas Po-ting-te membalas hormat orang, lalu tanpa bicara lagi ia tinggal keluar dari kelenteng itu.

Pulang sampai di istana, segera Po-ting-te memerintahkan dayang mengundang Pah Thian-sik dan Hoa-suto serta memberitahukan kepada mereka tentang keputusan menghapuskan cukai garam itu.

Mengetahui itu, kedua Sugong dan Suto ikut berterima kasih dan memberi pujian atas kebijaksanaan sang raja.

“Dan untuk selanjutnya, segala pembiayaan di dalam istana harus diperkecil dan dihemat,” demikian pesan Po-ting-te lebih lanjut. “Sekarang pergilah kalian, coba rundingkan dan periksa secara teliti, apakah ada pengeluaran lain yang dapat dihemat pula.”

Segera kedua pejabat tinggi itu mengiakan dan mengundurkan diri.

Meski urusan diculiknya Toan Ki diperintahkan oleh Po-ting-te agar dirahasiakan, namun Hoa-suto dan Hoan-suma adalah orang-orang kepercayaan Po-ting-te, dengan sendirinya tidak perlu dirahasiakan, maka sejak tadi Pah Thian-sik sudah beri tahukan hal itu kepada kedua rekannya itu.

Waktu itu Hoan-suma sedang menantikan kabar apa yang bakal dibawa kembali oleh kedua kawannya yang dipanggil menghadap ke istana itu. Maka sesudah Pah Thian-sik dan Hoa-suto memberitahukan tentang keputusan raja akan membebaskan cukai garam serta menghemat anggaran belanja negara, Hoan-suma ikut bergirang, katanya, “Hoa-toako dan Pah-hiante, sebabnya Hongsiang memutuskan untuk menghapuskan pajak garam, tentunya disebabkan putra Tin-lam-ong masih berada dalam cengkeraman musuh, maka ingin mohon belas kasihan Tuhan agar calon mahkota itu diberi berkah untuk pulang dengan selamat. Kita bertiga sama sekali tak bisa ikut menanggung beban kesukaran junjungan kita, masakah kita masih ada muka menjabat kedudukan setinggi ini di pemerintahan kerajaan?”

“Ucapan Hoan-jiko memang tidak salah, apa barangkali engkau mempunyai tipu daya yang bisa menolong Toan-kongcu?” tanya Thian-sik.

Hoan-suma ini bernama satu huruf “Hua” saja, tabiatnya jenaka, tapi banyak tipu akalnya, maka jawabnya kemudian, “Jika musuh benar-benar adalah Yan-king Taycu, terang Hongsiang tak ingin bermusuhan dengan dia secara terang-terangan. Siaute sih mempunyai suatu akal, cuma diperlukan pengorbanan tenaga Hoa-toako.”

“Kalau tenagaku bisa dipakai, masakah aku berani menolak? Lekaslah terangkan tipu akalmu!” sahut Hoa-suto cepat.

“Menurut keterangan Hongsiang,” demikian Hoan Hua, “katanya ilmu silat Yan-king Taycu itu lebih tinggi daripada Hongsiang sendiri. Maka bila kita memakai kekerasan, terang takkan dapat menolong Toan-kongcu. Kalau Hoa-toako sudi, dapat juga pekerjaan Hoa-toako yang dulu coba-coba dilakukan lagi sekarang.”

Wajah Hoa-suto yang lebar dan rada kekuning-kuningan itu menjadi merah, sahutnya dengan tertawa, “Ah, kembali Jite hendak menggoda aku.”

Kiranya Hoa-suto ini asalnya bernama A Kin, meski sekarang berkedudukan tinggi di negeri Tayli, tapi dahulunya berasal dari kaum miskin, sebelum dia mendapat pangkat, kerjanya ialah membongkar kuburan. Kepandaiannya yang paling mahir adalah mencuri isi kuburan keluarga bangsawan dan hartawan. Sebab dalam kuburan orang-orang demikian tentu banyak disertai pendaman harta pusaka. Dan Hoa A Kin lantas menggangsir dari tempat jauh, ia menggali satu jalanan di bawah tanah sampai menembus ke dalam kuburan yang menjadi sasarannya, di situlah dia mencuri isi kuburan yang berharga itu.

Caranya membongkar kuburan itu dengan sendirinya sangat memakan tenaga dan waktu, untuk menggangsir satu kuburan terkadang diperlukan waktu sebulan atau dua bulan lamanya, tetapi dengan caranya menggangsir itu justru sangat kecil sekali risikonya akan diketahui orang.

Suatu kali, ia berhasil menggangsir ke dalam suatu kuburan kuno, di situ ia mendapatkan sejilid kitab pusaka ilmu silat. Ia lantas melatihnya menurut petunjuk kitab itu hingga memperoleh ilmu Gwakang (kekuatan luar) yang sangat tinggi, akhirnya ia pun lepaskan pekerjaannya yang tak bermoral itu serta mengabdikan diri kepada kerajaan, karena jasa-jasanya selama bertugas, akhirnya pangkatnya mencapai Suto seperti sekarang ini, yaitu setingkat dengan pembantu menteri.

Sesudah menjadi pembesar, ia anggap namanya yang dulu terlalu kampungan, makanya lantas diganti menjadi Hek-kin. Di antara kawan-kawan karibnya, kecuali Hoan Hua dan Pah Thian-sik berdua, orang lain jarang yang tahu asal usulnya.

Maka dengan tertawa Hoan Hua menjawab, “Mana Siaute berani menggoda Toako? Tapi maksudku bila kita dapat menyelundup ke dalam Ban-jiat-kok, di situ kita menggangsir satu jalan di bawah tanah yang menembus ke tempat kurungan Toan-kongcu, maka dengan bebas tanpa diketahui oleh musuh, kita tentu dapat menolongnya keluar.”

“Bagus, bagus!” teriak Hek-kin sambil tepuk paha sendiri.

Menggangsir kuburan sebenarnya adalah pekerjaan yang paling digemari Hoa Hek-kin. Meski sudah belasan tahun lamanya pekerjaan itu tak pernah lagi dilakukan, namun terkadang bila teringat kembali, tangannya menjadi gatal lagi.

Soalnya cuma pangkatnya sekarang sudah tinggi, hidupnya tidak kekurangan, kalau mesti menjalankan pekerjaan menggangsir, bagaimana jadinya kalau diketahui orang? Maka kini demi ada yang mengusulkan agar dirinya melakukan pekerjaan lama lagi, ia menjadi girang sekali.

“Nanti dulu, Hoa-toako jangan buru-buru senang dulu,” demikian kata Hoan Hua pula. “Dalam urusan ini kita masih banyak kesulitannya. Terutama hendaklah diketahui bahwa Su-tay-ok-jin (empat mahadurjana) telah berada di Ban-jiat-kok semua. Suami-istri Ciong Ban-siu dan Siu-lo-to Cin Ang-bian tergolong tokoh-tokoh lihai pula, kalau kita hendak menyelundup ke sana, sesungguhnya tidaklah gampang. Lagi pula, Yan-king Taycu ini senantiasa duduk jaga di depan rumah batu tempat Toan-kongcu dikurung, kalau kita harus menggali melalui bawahnya, apakah tidak mungkin akan diketahui olehnya?”

Hoa Hek-kin berpikir sejenak, sahutnya kemudian, “Jalan yang akan kita gangsir itu harus menembus ke dalam rumah itu melalui belakang untuk menghindari tempat jaga Yan-king Taycu itu.”

“Tapi Toan-kongcu setiap saat terancam bahaya, kalau kita menggangsir perlahan, apakah masih keburu?” ujar Hoan Hua, Hoan-suma.

“Kalau perlu, marilah kita bertiga kerja keras serentak,” usul Hoa-suto. “Cuma untuk itu kalian harus menjadi muridku sebagai tukang gangsir kuburan.”

“Kita adalah Sam-kong (tiga menteri) dari Tayli, biarpun mesti bekerja menggangsir, tugas ini betapa pun tak boleh ditolak,” sahut Pah Thian-sik dengan tertawa.

Maka tertawalah ketiga orang itu.

“Kalau sudah mau bekerja, marilah sekarang juga kita mulai,” ajak Hoa-suto.

Segera Pah Thian-sik melukiskan situasi lembah Ban-jiat-kok itu, dengan riang gembira Hoa Hek-kin lantas merencanakan di mana akan dimulai dan di mana akan berakhir dari lorong yang akan digangsirnya nanti.

Sedang mengenai cara bagaimana harus menghindari pengintaian musuh dan cara bagaimana mengitari rintangan batu padas di bawah tanah, hal ini memang merupakan kepandaian Hoa-suto yang tiada bandingannya, maka tidak perlu dipersoalkan.

*****

Kembali lagi mengenai Toan Ki.

Sesudah dia memakan sepasang Bong-koh-cu-hap itu, hawa Yang dalam tubuhnya semakin bergolak, saking luar biasa panasnya, akhirnya ia jatuh pingsan.

Dan pingsannya itu justru menolongnya terhindar dari penderitaan selama semalam. Sudah tentu ia tidak sadar bahwa sehari semalam itu di luar sudah terjadi banyak perubahan. Ayahnya telah diangkat menjadi calon pengganti paman dan dia sendiri sudah dilamarkan putrinya Ko Sing-thay, Ko Bi, sebagai istri. Di seluruh kota Tayli saat itu sedang diadakan perayaan besar untuk memeriahkan kedua peristiwa gembira itu, sekaligus untuk merayakan dihapus pajak garam rakyat oleh pemerintah. Sedangkan dia sendiri masih bersandar di dinding batu itu dalam keadaan tidak sadar.

Sampai esok tengah hari, barulah Toan Ki agak sadar ketika bekerjanya racun Im-yang-ho-hap-san dan Bong-koh-cu-hap yang sangat panas itu kebetulan berhenti bersama untuk sementara. Tapi setelah berhenti dan bila kumat lagi, maka racun itu akan bertambah hebat. Toan Ki tidak tahu bahaya apa yang masih mengeram di dalam tubuhnya, dengan sadarnya pikiran, walaupun badan masih sangat lemas, ia menyangka racun sudah mulai hilang.

Dan selagi ia hendak bicara dengan Bok Wan-jing, tiba-tiba terdengar di luar rumah batu itu ada suara seorang tua lagi berkata, “Sembilan garis malang melintang, entah betapa banyak digemari orang. Apakah Kisu juga ada minat untuk coba-coba satu babak denganku?”

Toan Ki menjadi heran, ia coba mengintip keluar melalui celah-celah batu. Maka tertampaklah seorang Hwesio tua bermuka keriput dan beralis kuning panjang sedang berjongkok sambil menggunakan jari tangannya lagi menggores-gores garis lurus di atas sebuah batu besar yang rata. Begitu hebat tenaga jarinya itu hingga terdengar suara “srak-srek” disertai berhamburnya bubuk batu, lalu jadilah satu garis lurus yang panjang di atas batu itu.

Toan Ki terkejut. Meski dia tidak mahir ilmu silat, tapi sebagai keturunan tokoh silat terkemuka, sering juga ia menyaksikan sang ayah dan pamannya waktu berlatih It-yang-ci. Ia pikir wajah padri tua ini seperti sudah pernah kenal, tenaga jarinya ternyata sedemikian lihainya, mampu menggores batu menjadi satu garis yang dalam. Tenaga jari demikian adalah semacam ilmu Gwakang yang mengutamakan kekerasan tenaga melulu, agaknya berbeda dengan It-yang-ci yang dilatih paman dan ayahnya itu.

Maka terdengar pula suara seorang yang tak jelas berkata, “Bagus, sungguh Kim-kong-ci-lik yang hebat!”

Terang itu adalah suara si baju hijau alias “Ok-koan-boan-eng.”

Segera tertampak sebatang tongkat bambu menjulur ke atas batu, dengan rajin ia pun menggores satu garis di atas batu itu, cuma kalau Ui-bi-ceng atau padri alis kuning itu menggores garis lurus, maka garisan tongkat sekarang melintang, hingga berwujud satu garis palang dengan goresan padri tadi.

Dari dalam rumah batu itu Toan Ki tidak bisa melihat bagaimana cara bergerak Jing-bau-khek itu, ia pikir tongkat itu dengan sendirinya lebih keras daripada jari manusia, sudah tentu lebih menguntungkan bagi yang memakainya. Namun jari lebih pendek dan tongkat lebih panjang, untuk menggores garisan di atas batu dengan memakai tongkat sepanjang itu, terang tenaga yang dikeluarkan akan jauh lebih besar daripada memakai jari.

Lalu terdengar Ui-bi-ceng berkata dengan tertawa, “Jika Toan-sicu sudi memberi petunjuk, itulah sangat baik.”

Habis berkata, kembali ia menggaris lagi di atas batu dengan jarinya.

Segera Jing-bau-khek menambahi garisan melintang lagi seperti tadi. Dengan demikian, yang satu menggaris lurus dan yang lain menggaris melintang, makin lambat menggores garisan sendiri, agar setiap garis bisa dilakukan dengan cukup dalam dan sama rajinnya seperti semula.

Harus diketahui bahwa pertandingan di antara tokoh-tokoh terkemuka, soal menang atau kalah melulu tergantung sedikit selisih saja, asal satu garisan di antaranya menunjukkan kurang dalam atau menceng, maka itu berarti sudah kalah.

Maka kira-kira sepertanak nasi lamanya, sebuah peta catur yang berjumlah 19 garis malang melintang itu sudah selesai digaris dengan rajin.

Diam-diam Ui-bi-ceng membatin, “Apa yang dikatakan Po-ting-te memang tidak salah. Tenaga dalam Yan-king Taycu ini benar luar biasa dan sedikit pun tidak di bawah Po-ting-te sendiri.”

Sebaliknya Yan-king Taycu alias Jing-bau-khek itu terlebih kejut lagi, kalau datangnya Ui-bi-ceng memang disengaja dan sudah siap sedia sebelumnya, adalah Yan-king Taycu sendiri sama sekali tidak menyangka apa-apa, maka pikirnya, “Aneh, dari manakah mendadak bisa muncul seorang Hwesio tua selihai ini? Terang datangnya ini adalah atas undangan Toan Cing-beng, dalam saat demikian, kalau Toan Cing-beng ikut menyerbu ke dalam untuk menolong Toan Ki, terang aku tak berdaya untuk merintanginya.”

Dalam pada itu Ui-bi-ceng sedang berkata, “Betapa tinggi kepandaian Toan-sicu, sungguh aku sangat kagum, maka dalam hal kekuatan catur rasanya juga akan berpuluh kali lebih pandai daripadaku, terpaksa kuminta Toan-sicu suka mengalah empat biji dahulu.”

Jing-bau-khek tercengang, pikirnya, “Meski aku tak kenal asal usulmu, tapi tenaga jarimu begini lihai, dengan sendirinya adalah orang kosen yang tidak sembarang. Baru mulai menantang bertempur kenapa buka mulut lantas minta aku mengalah?”

Segera katanya, “Kenapa Taysu mesti merendah diri, jika harus menentukan kalah menang, dengan sendirinya kita harus maju sama tingkat dan sama derajat.”

“Tidak, tetap kuminta Toan-sicu harus mengalah empat biji,” sahut Ui-bi-ceng.

“Aneh juga usul Taysu ini,” ujar Jing-bau-khek dengan tawar. “Jikalau Taysu mengaku kepandaian caturmu tidak lebih tinggi daripadaku, maka tak perlulah kita bertanding.”

“Kalau begitu, sudilah memberi tiga biji saja, bagaimana?” kata Ui-bi-ceng pula.

“Biarpun memberi satu biji, namanya juga mengalah,” sahut Jing-bau-khek alias Yan-king Taycu.

“Hahaha!” tiba-tiba Ui-bi-ceng tertawa. “Kiranya dalam ilmu main catur, kepandaianmu sangat terbatas, jika demikian biarlah aku yang memberi padamu tiga biji.”

“Itu pun tidak perlu,” sahut Jing-bau-khek. “Mari kita mulai dengan kedudukan sama.”

Diam-diam Ui-bi-ceng bertambah waspada dan prihatin, pikirnya, “Orang ini tidak sombong juga tidak gopoh, sebaliknya tenang dan sukar diduga, sungguh merupakan lawan yang tangguh. Meski aku sudah memancingnya dengan berbagai jalan, toh ia tetap tidak berubah sikap.”

Kiranya Ui-bi-ceng menginsafi dirinya tiada harapan buat menangkan It-yang-ci dari Jing-bau-khek itu. Ia tahu orang yang gemar catur, umumnya suka menang sendiri, bila diminta agar mengalah dua-tiga biji catur, biasanya tentu diluluskan.

Sebagai seorang pertapa, Ui-bi-ceng memandang soal nama sebagai sesuatu yang tak berarti. Asal Yan-king Taycu bersedia mengalah sedikit dalam permainan catur itu, maka dalam pertarungan sengit itu dia akan ada harapan buat menang.

Siapa duga sifat Yan-king Taycu itu ternyata lain daripada yang lain, ia tidak mau ambil keuntungan atas orang lain, tapi juga tidak mau dirugikan orang, setiap tindak tanduknya sangat prihatin dan tegas.

Karena tiada jalan lain lagi, terpaksa Ui-bi-ceng berkata, “Baiklah, engkau adalah tuan rumah, aku adalah tamu, aku yang main dulu.”

“Tidak,” sahut Jing-bau-khek. “Tamu mana boleh merebut hak tuan rumah? Aku yang main dulu!”

“Wah, jika demikian, rupanya kita harus sut dulu,” kata Ui-bi-ceng. “Baik begini saja, coba kau terka umurku tahun ini ganjil atau genap? Jika betul engkau terka, kau main dulu, kalau salah terka, aku main dulu.”

“Umpama tepat aku menerkanya, tentu engkau juga menyangkal,” ujar Jing-bau-khek.

“Baiklah, boleh engkau menerka sesuatu yang tidak mungkin aku bisa menyangkal,” kata Ui-bi-ceng pula. “Coba kau terka, bila aku berumur 70 tahun, jari kakiku akan ganjil atau genap?”

Teka-teki ini benar-benar sangat aneh. Mau tak mau Jing-bau-khek harus berpikir, “Umumnya jari kaki orang berjumlah sepuluh, jadi genap. Tapi dia menegaskan bila sudah berumur 70, terang maksudnya agar aku menyangka kelak jari kakinya akan berkurang satu, jika demikian halnya, tentu aku akan menerka jarinya berjumlah ganjil. Namun seperti dikatakan ilmu siasat bahwa kalau berisi, katakanlah kosong; kalau kosong katakanlah berisi. Jangan-jangan jari kakinya tetap sepuluh, tapi sengaja main gertak. Mana bisa aku ditipu olehnya?”

Karena itu, segera ia menjawab, “Berjumlah genap!”

“Salah, tapi berjumlah ganjil,” kata Ui-bi-ceng.

“Coba buka sepatu, periksa buktinya,” sahut Jing-bau-khek.

Terus saja Ui-bi-ceng membuka sepatu dan kaus kaki kiri, ternyata jari kakinya masih tetap utuh berjumlah lima. Ketika Jing-bau-khek memerhatikan wajah padri itu, ia lihat orang tersenyum, sikapnya tenang-tenang saja, mau tak mau ia membatin, “Wah, kiranya jari kaki kanannya memang cuma tinggal empat.”

Dalam pada itu Ui-bi-ceng sedang membuka sepatu lagi dengan perlahan, ketika mulai menanggalkan kaus kakinya, hampir-hampir Jing-bau-khek berseru jangan membuka lagi dan menyilakan orang main dulu. Namun sekilas timbul pula pikirannya, “Ah, tidak bisa, jangan aku tertipu olehnya.”

Dan benar juga, ia lihat kaus kaki kanan padri itu sudah dilepas dan jari kaki itu pun tampak masih utuh berjumlah lima tanpa cacat apa-apa.

Meski badan Jing-bau-khek itu sudah cacat dan mukanya kaku tanpa emosi hingga tidak kentara apa yang dirasakannya waktu itu, sebenarnya dalam sekejap itu hatinya sudah berganti berbagai perasaan untuk menduga-duga sebenarnya apa maksud tujuan perbuatan Ui-bi-ceng itu. Dan ia menjadi bersyukur ketika akhirnya melihat tebakannya jitu, yaitu jari kedua kaki padri itu toh tetap berjumlah genap sepuluh.

Di luar dugaan, sekonyong-konyong Ui-bi-ceng terus angkat telapak tangan kanan dan memotong ke bawah sebagai pisau, “krek”, tahu-tahu jari kecil kaki kanan itu telah dipotong putus.

Sekalipun keenam anak muridnya yang berdiri di belakang sang guru itu sudah dalam belajar ilmu Buddha, setiap orangnya bisa berlaku tenang meski menghadapi keadaan bagaimanapun. Tapi mendadak tampak sang guru membikin cacat anggota badan sendiri, darah lantas mengucur pula, keruan mereka terperanjat, bahkan murid termuda yang bernama Boh-ban Hwesio, sampai berseru kaget.

Cepat murid keempat, Boh-gi Hwesio, mengeluarkan obat luka untuk dibubuhkan di atas kaki Suhunya itu.

Menyusul berkatalah Ui-bi-ceng dengan tertawa, “Tahun ini aku berumur 69, bila berumur 70 tahun nanti, persis jariku berjumlah ganjil.”

Tanpa pikir lagi Jing-bau-khek menjawab, “Benar. Silakan Taysu main dulu.”

Nyata sebagai tokoh dari Su-ok yang berjuluk “orang jahat nomor satu di dunia,” perbuatan kejam dan ganas apa di dunia ini yang tidak pernah dilakukannya atau dilihatnya, maka terhadap kejadian memotong satu jari kaki yang sepele itu, tentu saja tidak terpikir olehnya. Cuma bila mengingat bahwa melulu untuk rebut hak main dulu dalam catur, Hwesio tua ini rela memotong jari kaki sendiri, maka dapat dipastikan bahwa tujuan padri ini harus menangkan percaturan itu, dan bila dirinya kalah, bukan mustahil syarat yang akan dikemukakan padri itu tentu pelik luar biasa.

Maka terdengarlah Ui-bi-ceng berkata, “Terima kasih atas kesudianmu mengalah.”

Segera ia ulur jarinya dan menekan kedua ujung peta catur masing-masing satu kali. Karena tekanan jari itu, di atas batu lantas melekuk dua lubang hingga mirip dua biji catur hitam.

Segera Jing-bau-khek angkat tongkatnya juga dan menggores dua lingkaran kecil pada kedua ujung lain peta catur itu. Lingkaran kecil yang melekuk itu pun mirip dua biji catur putih.

Cara pembukaan main catur dengan menaruh dua biji catur di kedua ujung itu adalah lazim dilakukan dalam permainan catur kuno yang mirip permainan dam zaman sekarang.

Begitulah, maka secara bergiliran kedua orang itu saling menaruh biji caturnya masing-masing dengan tekanan tenaga jari dan goresan tongkat. Mula-mula cara menaruh mereka sangat cepat, tapi lambat laun menjadi perlahan. Sedikit pun Ui-bi-ceng tidak berani ayal, ia tetap menguasai permainan berkat hak bermain dahulu tadi yang ditukarnya dengan memotong jari kaki itu.

Sampai belasan biji catur sudah dijalankan, pertarungan ternyata bertambah sengit dan pertahanan masing-masing pun semakin kuat, tapi tenaga yang dikeluarkan kedua orang pun semakin besar. Di samping memusatkan pikiran untuk menangkan permainan catur itu, di lain pihak harus mengerahkan tenaga untuk menekan atau menggores batu sekuatnya. Maka makin lama makin lambatlah permainan mereka itu.

Di antara keenam murid yang ikut datang bersama Ui-bi-ceng itu, murid ketiga, Boh-tin Hwesio juga seorang penggemar catur. Ia menjadi sangat kagum dan gegetun demi tampak ilmu permainan catur gurunya dengan Jing-bau-khek yang hebat itu. Ketika tiba langkah ke-24, mendadak Jing-bau-khek melakukan serangan aneh hingga kedudukan masing-masing segera berubah banyak, kalau Ui-bi-ceng tidak segera balas dengan langkah yang tepat, pasti pertahanannya akan bobol.

Tampak Ui-bi-ceng berpikir agak lama, agaknya seketika masih belum mendapat cara yang baik untuk balas serangan lawan itu. Tiba-tiba terdengar dari dalam rumah batu itu ada orang berkata, “Balas gempur sayap kanan, tetap menguasai permainan!”

Kiranya sejak kecil Toan Ki juga mahir main catur. Kini melihat permainan kedua orang itu, ia menjadi bersemangat dan ikut-ikutan bicara.

Penonton memang lebih jelas daripada yang main. Demikian orang bilang. Apalagi kepandaian catur Toan Ki memang lebih tinggi daripada Ui-bi-ceng, ditambah sudah mengikuti dari samping sejak tadi, ia menjadi lebih terang di mana letak kunci permainannya.

Maka terdengar Ui-bi-ceng berkata dengan tertawa, “Memang sudah kupikir begitu, cuma masih ragu-ragu, tapi dengan ucapanmu, aku menjadi mantap sekarang.”

Segera ia taruh bijinya di sayap kanan yang dimaksud itu.

“Penonton yang tidak bicara adalah Cin-kun-cu (jantan tulen), orang yang ambil keputusan sendiri adalah Tay-tiang-hu (laki-laki sejati),” demikian Jing-bau-khek menyindir.

“Kau kurung aku di sini, sejak kapan engkau adalah Cin-kun-cu?” segera Toan Ki berteriak.

“Dan aku adalah Thayhwesio dan bukan Tay-tiang-hu,” sahut Ui-bi-ceng tertawa.

“Huh, tidak malu!” jengek Jing-bau-khek. Segera ia pun taruh bijinya dengan menggores satu lingkaran kecil lagi.

Tapi lewat beberapa langkah lagi, kembali Ui-bi-ceng menghadapi serangan bahaya. Boh-tin Hwesio menjadi khawatir karena melihat gurunya tak berdaya memecahkannya, sedangkan Toan Ki juga diam saja. Segera ia mendekati pintu batu itu dan tanya dengan perlahan, “Toan-kongcu, langkah ini bagaimana harus menjalankannya?”

“Jalan yang baik sih sudah kupikirkan,” demikian sahut Toan Ki. “Cuma jalan ini seluruhnya meliputi tujuh langkah, kalau kukatakan begini saja hingga didengar musuh, tentu akan gagal juga rencanaku, makanya aku diam saja tidak bersuara.”

Segera Boh-tin ulur telapak tangan kanan ke dalam rumah itu melalui celah-celah batu, bisiknya, “Silakan tulis di sini.”

Toan Ki pikir bagus juga akal ini, segera ia gunakan jarinya menulis ketujuh langkah catur yang diciptakan itu di telapak tangan Boh-tin.

Boh-tin pikir sejenak, ia pikir langkah catur yang ditulis anak muda itu memang sangat tinggi, cepat ia kembali ke belakang sang guru dan menulis juga di punggung Suhunya dengan jari. Karena jubahnya sangat longgar hingga tangannya tertutup semua, maka Jing-bau-khek tidak tahu apa yang dilakukan orang.

Sesudah mendapat petunjuk itu, Ui-bi-ceng menjalankannya satu langkah.

“Hm, langkah ini adalah ajaran orang lain, agaknya kepandaian catur Taysu masih belum mencapai tingkatan ini,” jengek Jing-bau-khek.

Tapi dengan tertawa Ui-bi-ceng menjawab lagi, “Permainan catur memang harus mengadu kecerdasan. Yang pintar pura-pura bodoh, mahir juga berlagak tak bisa. Kalau tingkatan permainanku diketahui Sicu, lalu buat apa pertandingan ini diadakan?”

“Huh, main licik, main sulap di bawah lengan baju,” sindir Jing-bau-khek pula. Rupanya ia pun menduga Boh-tin yang mondar-mandir dan memegang punggung gurunya itu pasti sedang main gila. Cuma dia sedang mencurahkan perhatiannya di atas papan catur, terpaksa ia tak bisa mengurus apa yang terjadi di samping.

Untuk selanjutnya Ui-bi-ceng lantas menjalankan enam langkah menurut saran Toan Ki itu tanpa banyak pikir, ia mengerahkan sepenuh tenaga jarinya untuk menekan enam biji catur itu di atas batu hingga lekuknya lebih dalam serta lebih bulat.

Melihat enam langkah itu makin lama makin kuat, Jing-bau-khek rada terdesak, terpaksa ia harus peras otak memikirkan langkah-langkah perlawanan, kini terpaksa ia mesti bertahan saja sekuatnya, lingkaran yang digores di atas batu dengan tongkat bambu itu tidak sedalam tadi lagi.

Di luar dugaan, ketika mesti menjalankan langkah keenam sesudah giliran Ui-bi-ceng, mendadak ia berpikir lama, habis itu, tiba-tiba ia jalankan bijinya pada suatu tempat yang tak tersangka-sangka dan sama sekali di luar taksiran Toan Ki.

Keruan Ui-bi-ceng melongo, pikirnya, “Pemikiran ketujuh langkah Toan-kongcu ini sangat teliti dan bagus, tampaknya aku sudah mulai mendesaknya, tapi dengan perubahan yang mendadak dan hebat ini, rasanya langkahku yang ketujuh ini tak bisa dijalankan lagi dan bukankah akan sia-sia saja serangan-serangan tadi?”

Harus diketahui bahwa dalam hal kepandaian main catur memang Jing-bau-khek lebih mahir daripada Ui-bi-ceng atau si Padri Beralis Kuning, maka begitu ia melihat gelagat jelek, segera ia mengadakan perubahan siasat, ternyata ia tidak mau masuk perangkap yang diatur Toan Ki itu. Keruan yang kelabakan adalah Ui-bi-ceng.

Melihat perubahan di luar dugaan itu, pula tampak gurunya berpikir sampai lama masih belum mendapatkan akal yang sempurna, segera Boh-tin mendekati rumah batu pula, dengan perlahan ia uraikan keadaan percaturan itu kepada Toan Ki serta meminta petunjuknya.

Toan Ki pikir sejenak, segera ia pun mendapat akal lain, ia minta Boh-tin ulur tangannya agar bisa ditulis lagi petunjuk di atas telapak tangan.

Boh-tin menurut dan ulurkan tangannya ke dalam rumah batu itu. Tapi baru saja Toan Ki mencorat-coret beberapa kali di telapak tangan orang, sekonyong-konyong antero badannya terasa berguncang, dari perutnya mendadak terasa ada hawa panas menerjang ke atas hingga seketika mulutnya terasa kering, matanya berkunang-kunang. Tanpa pikir lagi tangannya mencengkeram sekenanya hingga tangan Boh-tin tadi dipegangnya erat-erat.

Tentu saja Boh-tin kaget ketika mendadak tangannya digenggam Toan Ki dengan kencang, ia menjadi lebih kaget lagi ketika merasa hawa murni dalam badan sendiri terus-menerus mengalir keluar karena disedot melalui telapak tangan yang digenggam orang itu. Saking kejutnya terus saja ia berteriak, “Hei, Toan-kongcu, apa yang kau lakukan ini?”

Perlu diketahui, setiap orang yang berlatih ilmu silat yang mengutamakan Lwekang, maka hawa murni dalam tubuh sangat besar sangkut-pautnya dengan jiwanya, semakin kuat hawa murninya, semakin tinggi pula ilmu Lwekangnya. Dan bila hawa murni itu hilang, sekalipun orangnya tidak mati, tentu juga seluruh ilmu silatnya akan kandas dan mirip orang cacat selama hidup.

Boh-tin Hwesio sendiri sudah berumur lebih 40 tahun, tapi ia tidak pernah kawin, masih berbadan jejaka, selama berpuluh tahun ia giat berlatih Lwekang, maka hawa murni dalam tubuhnya boleh dikatakan kuat luar biasa. Akan tetapi begitu telapak tangannya menempel tangan Toan Ki, seketika hawa murni dalam tubuhnya seakan-akan air bah yang bobol tanggulnya terus mengalir keluar tanpa bisa dicegah sama sekali.

Ia membentak berulang-ulang untuk tanya, namun saat itu keadaan Toan Ki sudah tak sadarkan diri. Maksud Boh-tin hendak melepaskan tangannya, tapi aneh bin ajaib, kedua tangan itu seperti lengket menjadi satu, betapa pun sukar dipisahkan lagi, dan hawa murni dalam tubuh Boh-tin tetap mengalir keluar tak mau berhenti.

Kiranya “Bong-koh-cu-hap” atau katak merah bersuara kerbau yang dimakan oleh Toan Ki itu mempunyai semacam khasiat aneh pembawaan yang bisa mengisap ular beracun dan serangga berbisa lain. Binatang aneh itu berasal dari perkawinan campuran dari bermacam-macam ular berbisa hingga beberapa keturunan.

Leave a Comment »

No comments yet.

RSS feed for comments on this post. TrackBack URI

Leave a comment

Create a free website or blog at WordPress.com.