Kumpulan Cerita Silat

15/05/2008

Misteri Kapal Layar Pancawarna (30)

Filed under: +Misteri Kapal Layar Pancawarna, Gu Long — ceritasilat @ 10:38 pm

Misteri Kapal Layar Pancawarna (30)
Oleh Gu Long

(Terima kasih kepada Lenghocong)

“Apakah di atas kapal masih ada orang?” tanya Oh-Put-jiu.

“Ada,” sahut Ban-lo-hu-jin, “tapi sudah dibunuh Ka-sing Tai-su.”

Oh-Put-jiu menghela napas panjang, bila ia menoleh ke sana, dilihatnya Ka-sing Tai-su sudah bersimpuh dan semadi setenang batu.

Jiwanya masih hidup, tapi hatinya sudah mati.

Kini ia sadar bahwa dirinya takkan mungkin mencapai taraf paling top sebagai jago silat kelas wahid.

Oh-Put-jiu menghela napas pula, “Ban-lo-hu-jin, tolong kau memapahnya.”

“Memapahnya?” pekik Ban-lo-hu-jin, “kau akan membawanya pulang?”

“Apa pun yang sudah ia lakukan, jelek-jelek dia seorang ahli silat yang kenamaan, mana boleh kita meninggalkan dia seorang diri di sini.”

Cui-Thian-ki tertawa, “Kalau setiap orang pantas dibunuh, mana ada belas kasihan di dunia ini.”

“Ya, benar.” ucap Oh-Put-jiu tertawa.

Ka-sing Tai-su seperti orang linglung, beku perasaan, begitu Ban-lo-hu-jin memapahnya, dia berdiri, Ban-lo-hu-jin menyeretnya, kakinya pun melangkah perlahan.

Dari dalam kabin Oh-Put-jiu mengeluarkan belasan jilid buku yang bersampul sutera kuning dengan layar pancawarna ia membungkusnya dengan rapi dan teliti, sikapnya dan gerak geriknya tampak hikmat dan hormat.

Cui-Thian-ki juga kelihatan hormat dan segan terhadap buku-buku itu.

Itulah buah karya Ci-ih-hou selama hidupnya intisari segenap kungfu yang ada di jagat raya ini, pusaka yang tiada taranya dunia. Walau tidak berani memandang atau melirik sekali pun, dasar manusia tamak Ban-lo-hu-jin melirik juga setiap kali memperoleh kesempatan.

Hanya Ka-sing Tai-su yang sudah pikun, menoleh atau melirik pun tidak. Agaknya dia tahu dirinya sudah tiada harapan memiliki buku-buku itu, umpama melihatnya juga hanya menambah derita batin belaka.

Begitu Oh-Put-jiu memanggul buntalannya, Ban-lo-hu-jin segera membuka jalan.

Cui-Thian-ki berputar memandang keadaan sekelilingnya, suaranya rawan, “Tujuh tahun tidak pernah meninggalkan tempat ini, hari ini kita harus tinggal pergi, hatiku merasa berat dan terkesan sekali …”

Lalu dengan tertawa manis ia menambahkan, “Sampai sekarang baru aku sadar, tempat ini ternyata begini indah, bila pada suatu hari dapat aku tinggalkan segala keramaian dan bertempat tinggal di sini, kurasa hidupku akan tentram penuh bahagia.”

Oh-Put-jiu menatapnya lekat, senyumannya lembut, “Kalau engkau memang ingin demikian, aku yakin kelak engkau pasti akan datang kemari.”

“Apa…apa benar?” tanya Cui-Thian-ki.

“Pasti benar!” sahut Oh-Put-jiu tegas.

Mereka berpandangan lekat, hati merasa lega dan manis mesra.

Buntalan besar dan berat menindih pundak Oh-Put-jiu, tapi dipanggulnya dengan enteng seperti mengangkat kapas, langkahnya lebar dan mantap.

Ban-lo-hu-jin ingin lekas pulang, maka langkahnya pun tidak lambat.

Hanya beberapa kejap saja mereka sudah tiba di pantai.

Mentari memancarkan cahayanya yang benderang, hangat dan damai, selepas mata memandang, cuaca cerah, langit membiru dan menjadi satu garis dengan laut. Terasa oleh Oh-Put-jiu dada lapang, hati longgar, rasa pengap, sebal dan kesepian selama tujuh tahun sirna ditiup angin laut menguap oleh sinar matahari.

Tapi di mana ada kapal?

Ombak laut berdebur membuih putih di pantai suasana lengang, tiada bayangan kapal di pantai.

“Mana kapalnya?” tanya Oh-Put-jiu berpaling ke arah Ban-lo-hu-jin.

Wajah Ban-lo-hu-jin tampak pucat pias, kaki tangan dingin gemetar, suaranya juga serak gemetar, “Jelas … tadinya ada di … di sini …”

“Kalau benar ada di sini, kenapa tidak kelihatan?” tanya Cui-Thian-ki.

“Aneh … aneh ….” beruntun ia mengucap aneh belasan kali, kepalanya juga bergeleng-geleng mirip orang ling-lung.

“Mungkin hanyut dibawa ombak,” ujar Oh-Put-jiu.

“Tidak mungkin, tidak mungkin, jelas … kapal itu sudah … ” Ban-lo-hu-jin gelagapan.

“Kalau bukan hanyut dibawa gelombang, tentu berlayar dibawa orang,” demikian tukas Cui-Thian-ki.

“Tidak mungkin, tidak mungkin!” ucap Ban-lo-hu-jin pula, “Jelas Kong-sun-Ang dan Bwe-Kiam sudah mati.”

Cui-Thian-ki membanting kaki dengan gugup, “Ini tidak mungkin, itu juga tidak mungkin. Tapi kapal itu hilang, lalu apa yang terjadi? Memangnya kapal itu dibawa setan?”

Mengucur keringat dingin Ban-lo-hu-jin mulutnya bergumam, “Aneh …sungguh aneh …”

“Kedua orang itu tidak mati!” mendadak Ka-sing Tai-su yang dianggap ling-lung berseru.

“Dari mana kau tahu?” tanya Cui-Thian-ki. “Aku yang merobohkan mereka, kenapa aku tak tahu?” dingin suara Ka-sing Tai-su.

“Tapi jelas aku lihat ” Ban-lo-hu-jin masih membantah.

“Kalau aku turun tangan, memangnya tidak pakai perhitungan,” jengek Ka-sing Tai-su.

Tiada orang mendebatnya lagi. Seorang kalau meyakinkan kungfu setaraf Ka-sing Tai-su, setiap gerak kaki tangannya tentu diperhitungkan secara cermat.

Mendadak Ban-lo-hu-jin mendeprok di pasir, teriaknya dengan mendekap muka, “Celaka, habislah harapan kita ….Tentu kedua orang itulah yang mencuri kapal itu.”

Ka-sing Tai-su mendongak sambil tergelak, “Bagus, bagus! Kebetulan malah kalau kapal itu dibawa mereka. Kita tidak usah pulang, hahaha! Oh-Put-jiu, wahai Oh-Put-jiu, derita dan gemblenganmu selama tujuh tahun ini, akhirnya sia-sia belaka.”

Latihan tujuh tahun ibarat air mengalir dan tidak pernah kembali lagi. Bayangan hidup bahagia juga tinggal kenangan harapan belaka, pukulan yang berat ini siapa pun sukar menelannya begitu saja.

Tapi Oh-Put-jiu dan Cui-Thian-ki hanya saling pandang sekejap, lalu sama-sama tertawa.

“Di pulau ini tidak kekurangan kayu, bukan?” ucap Cui-Thian-ki.

“Untuk membuat seratus kapal juga tidak kekurangan,” Oh-Put-jiu tertawa.

“Dengan kayu yang ada di sini, kita akan bisa kembali dengan selamat.”

******

Dengan kain layar yang dianyam dengan kulit pohon dicampur sejenis getah pohon yang ada di pulau itu, mereka membuat tambang yang amat kuat. Dengan kekuatan Oh-Put-jiu yang mengerahkan setaker tenaganya juga tidak mampu menariknya putus.

Pepohonan yang tumbuh di pulau itu ternyata besar lagi tinggi.

Dengan tambang besar-besar dan kuat itu, dengan dahan pohon besar mereka membuat rakit raksasa. Rakit tidak segesit dan sekencang kapal, namun rakit yang mereka buat pasti kuat menahan gelombang laut yang paling dahsyat sekali pun.

Apa lagi empat orang yang mengendalikan rakit besar ini adalah tokoh silat yang berkepandaian tinggi siapa pun tak takut dan gentar menghadap ombak besar.

Dua puluh tiga hari kemudian, rakit besar itu telah rampung mereka kerjakan.

Dengan riang Cui-Thian-ki menegakkan cagak panjang lalu mengerek layar pancawarna di tengah rakit.

Layar pancawarna akhirnya berkembang pula di tengah laut.

Mereka berlayar dengan leluasa angin kebetulan bertiup ke arah barat daya. Satu jam kemudian bayangan pulau itu sudah tidak kelihatan. Siang hari mereka dapat melihat hembusan angin dan menentukan arah. Malamnya mereka melihat bintang-bintang yang bertebaran di langit.

Tanpa terasa fajar menyingsing lagi.

Cui-Thian-ki yang tidur pulas semalam suntuk, tampak segar dan cantik.

Oh-Put-jiu berkata perlahan, “Kalau tiada hujan badai, tiga hari lagi kita akan dapat mencapai daratan.”

“Berdoalah supaya tiada hujan badai, sudah tujuh tahun Yang Maha Kuasa menyiksa kita di pulau itu, kini tiba saatnya kita diberi berkah dan taufiknya.”

Dengan tertawa Ban-lo-hu-jin menimbrung “Betul, dari pengalamanku selama ini, beberapa hari ini takkan ada hujan, apalagi badai, semua ini adalah rejeki besar buat nona Cui dan Oh-tai-hiap,

“Pandai juga kamu mengumpak,” ujar Cui-Thian-ki dengan tertawa.

Oh-Put-jiu memandang jauh ke ufuk langit, suaranya kelam, “Tujuh tahun …entah bagaimana keadaan mereka?”

“Buat apa banyak pikir, tidak lama lagi bakal bertemu mereka.”

Oh-Put-jiu tertawa lebar, “Aku sudah menunggu tujuh tahun, entah kenapa, beberapa hari ini rasanya tidak sabar lagi menunggu, entah bagaimana dengan Bok-toa-ko, Kim-ji-ko …Ai, kurasa sekarang mereka sudah kenamaan.”

Cui-Thian-ki tertawa, “Dengan bekal kepandaian mereka, tidak sukar mengangkat nama.”

“Ya, memang demikian … ” ucap Oh-Put-Jiu, Ban-lo-hu-jin, bagaimana kabar mereka belakangan ini?”

“Aku …aku kurang jelas,” sahut Ban-lo-hu-jin gelagapan.

“Entah berapa kali kau tanyakan hal ini. Berapa kali pula dia memberi jawaban yang sama. Sekarang apa pula yang ingin kau tanyakan?” Cui-Thian-ki tertawa geli.

“Aku merasa kuatir … juga tidak percaya. Dalam kalangan kang-ouw Ban-lo-hu-jin banyak kenalan, serba tahu lagi, mana mungkin tidak jelas kabar tentang mereka?”

“Meski serba tahu juga ada yang tidak diketahuinya,” demikian debat Cui-Thian-ki.

“Ya, ya, memang demikian,” timbrung Ban-lo-hu-jin dengan menyengir.

Sesaat kemudian Oh-Put-jiu berkata pula “Entah bagaimana Po-ji, bocah itu tentu sudah dewasa, bocah itu pintar lagi cerdik, aku yakin dia juga sudah terkenal, hanya sukar aku bayangkan bagaimana keadaan sekarang?”

“Hal ini juga sudah kau tanya …”

“Aku tahu entah berapa kali aku tanyakan hal ini, tapi setiap kali aku terbayang kenakalan kebinalannya, selalu timbul keinginan bertanya lagi.”

Cui-Thian-ki diam sejenak, lalu berkata “Engkau terkenang pada mereka, entah mereka mengenangkan dirimu tidak.”

“Tentu mengenangku …umpama tidak, apa salahnya aku mengenang mereka.”

“Tapi kalau orang tidak memikirkan diri aku pun tidak akan memikirkan mereka.”

“Nah, di sinilah letak perbedaanmu denganku kau ….”

Ka-sing Tai-su yang sejak mendarat hanya tepekur seperti orang linglung mendadak bergelak tawa, tertawa panjang mirip orang kesurupan, suaranya aneh dan menakutkan.

“He, kenapa kau tertawa?” tegur Cui-Thian-ki.

“Mendengar kalian mengigau, aku menjadi geli.”

“Omong kosong, memangnya kamu sudah gila …”

“Kalian tak usah mengharapkan bertemu dengan sanak kadang lagi, jangan harap kalian bisa kembali ke daratan.”

“Apa …apa katamu?” hardik Ban-lo-hu-jin panik.

“Rakit ini akan segera tenggelam,” Ka-sing Tai-su menyeringai.

Cui-Thian-ki berjingkrak gusar, “kau …kentut apa?”

Ka-sing Tai-su menyeringai pula, “Tali-tali yang mengikat rakit ini akan putus semuanya.”

Tanpa berjanji Cui-Thian-ki, Oh-Put-jiu dan Ban-lo-hu-jin semua memeriksa tali tambang yang mengikat balok-balok raksasa itu, kenyataan memang tambang ikatannya sebagian besar sudah banyak yang putus, bahwa rakit itu masih utuh dan terapung karena ombak laut cukup tenang, namun siapa pun maklum sisa ikatan tambang yang masih ada takkan kuat menahan, damparan ombak lebih lama lagi, dalam jangka setengah jam, rakit itu pasti berantakan.

Betapapun tenang sikap Oh-Put-jiu, kini menunjuk rasa gugup juga, bentaknya dengan bengis, “Kenapa jadi begini?”

Melotot mata Ka-sing Tai-su, “Kenapa jadi begini? Sudah tentu aku penyebabnya!”

“Gila kau !” bentak Cui-Thian-ki sambil menjambretnya, “memangnya kamu tidak ingin hidup.”

“Ya, aku memang tidak ingin hidup.”

Ban-lo-hu-jin gugup, “Apa kau takut aku tidak memberi racun padamu, aku hanya menipumu, manisan itu tidak beracun,” demikian teriak Ban-lo-hu-jin panik.

“Beracun atau tidak, sekarang tidak menjadi soal,” jengek Ka-sing Tai-su.

“Lha, kenapa …kenapa kamu berbuat demikian?” desak Ban-lo-hu-jin.

Mencorong bola mata Ka-sing Tai-su, tanpa berkedip ia mengawasi buntalan besar berisi buku-buku peninggalan Ci-ih-hou, dengan tegas ia berkata, “Aku tidak berhasil mendapatkan buku itu, biarlah buku-buku itu menemaniku tenggelam di dasar laut.”

“kau …sudah gila …” gemetar suara dan tubuh Ban-lo-hu-jin.

“Kalian tidak usah gugup,” demikian bentak Oh-Put-jiu, “tenang dulu dan cari akal …”

Ka-sing terbahak, “Oh-Put-jiu, wahai Oh-Put-jiu, apa gunanya tenang? Apa pula manfaatnya kungfu yang berhasil kau pelajari dari Pit-kip peninggalan Ci-ih-hou? Lebih tepat kau ikut ke dasar laut saja.”

Mendadak ia melompat dan menubruk ke arah Oh-Put-jiu.

Sebat sekali tangan Oh-Put-jiu menampar, sementara tangan yang lain memapak kedua sikutnya.

Tapi kedua tangan Ka-sing Tai-su tahu-tahu melingkar hendak memeluk pinggang Oh-Put-jiu.

Secepat kilat Oh-Put-jiu ganti serangan, jarinya menggores miring ke urat nadi tangan Ka-sing Tai-su.

Hanya sekejap kedua orang ini sudah serang menyerang delapan jurus, setiap jurus dilancarkan secepat kilat, setiap jurus lihai, ganas lagi mematikan permainan mereka merupakan pertandingan tingkat tinggi.

Berdebar-debar jantung Cui-Thian-ki dan Ban-lo-hu-jin menyaksikan pertarungan sengit ini seolah-olah mereka lupa bahwa nasib sendiri tergantung dari kalah menang pertarungan kedua orang ini.

Kenyataan Oh-Put-jiu tidak mampu melukai atau menundukkan Ka-sing Tai-su, Ka-sing Tai-su juga tidak mampu merobohkan Oh-Put-jiu.

Sekonyong-konyong gelombang besar mendampar tiba, di tengah suara gemuruh rakit besar itu pecah berantakan.

“Oh-Put-jiu …” pekik Cui-Thian-ki. Tapi belum habis ia bicara, tubuhnya sudah ditelan ombak.

Sayup-sayup telinganya masih menangkap teriakan keras, “Cui-Thian-ki”

Tapi teriakan mereka ditelan suara ombak yang gemuruh, berpadu dengan gelak tawa Ka-sing Tai-su yang puas dan menggila.

Cui-Thian-ki meronta dan berenang ke arah datangnya suara, namun sukar menentukan dari arah mana suara tadi datangnya.

Untung dia mahir berenang, setelah didampar tiga kali gelombang berantai, dengan menarik napas ia terapung ke permukaan air.

Tampak kayu terapung, tali dan layar serta makanan yang mereka bawa, namun tidak kelihatan bayangan orang.

Entah kenapa mendadak Cui-Thian-ki merasa sedih, air mata pun berlinang.

Bukan Ka-sing Tai-su atau Ban-lo-hu-jin yang ia perhatikan, ia boleh tidak peduli mati-hidup kedua orang ini, demikian pula keselamatan awak sendiri tidak terpikir olehnya, ia hanya menguatirkan keselamatan Oh-Put-jiu.

Dalam kesukaran orang baru sadar bahwa diri nya lebih memperhatikan orang lain dibanding menguatirkan diri sendiri, hal ini belum pernah terpikir dan tidak pernah dialaminya, dulu ia tidak percaya, tapi sekarang ia maklum.

Kebetulan tak jauh di sampingnya terapung sebatang balok, lekas ia meraihnya, lalu berteriak, “Oh-Put-jiu …Oh-Put-jiu …di mana kau ….”

Suaranya bergema di tengah deburan ombak, ombak seperti mengiringi isak tangisnya.

Pandangannya makin buram, entah karena air atau air mata yang berkaca-kaca di pelupuk matanya. Cui-Thian-ki terus berteriak-teriak hingga suara serak dan lemah, akhirnya ia tidak melihat apa-apa lagi.

Dalam keadaan sadar tidak sadar, Cui-Thian-ki terombang-ambing dimainkan ombak, entah berapa lama kemudian, mendadak terasa ada jari-jari tangan yang mengelus rambutnya, suara rendah berkata lembut di tepi telinganya, “Sadar ….bangun …aku ada di sini ….”

Cui-Thian-ki tersentak sadar dari pingsannya Oh-Put-jiu memang berada di sampingnya.

Sukar melukiskan bagaimana gejolak perasaannya waktu itu, tak peduli segalanya ia berjingkrak serta memeluk Oh-Put-jiu dengan erat, mulutnya mengigau, “Jangan kau tinggalkan aku …selama hidup ini jangan kau tinggalkan diriku …”

Oh-Put jiu merasa air meleleh ke dalam mulutnya, air asin, entah air mata atau air laut? Dia tidak bicara, tidak perlu bicara lagi.

Cinta memang indah, asmara adalah manis kenyataan itu justru pahit dan getir, namun buahnya pasti manis.

Mereka melupakan tangan yang makin linu, tidak sadar bahwa tubuh telah mengejang dan kaku, mereka masih berada di tengah amukan gelombang.

Untuk sementara mereka dapat mempertahankan hidup dengan memeluk sebatang balok, namun berapa lama mereka kuat bertahan?

Sinar mata hari yang semula indah, kini berubah menjadi ganas, saking panas kepala terasa pening, mata silau dan mulut kering, bibir pun pecah.

“Bagaimana Ban-lo-hu-jin?” tanya Cui-Thian-ki.

“Entahlah,” sahut Oh-Put-jiu.

“Ka-sing?…”

Oh-Put-jiu geleng kepala.

“Mungkin hanya kita yang masih hidup.”

“Ya, berkat lindungan Thian.”

“Sehari kita masih hidup, kita harus berusaha pulang.”

“Ya, kita pasti dapat pulang.”

“Tidak lama lagi engkau akan bertemu dengan orang-orang yang kau rindukan, seperti Bok-put-kut, Kim Put-wi, Kong-sun put-ti dan Pui-Po-giok betul tidak?”

“Demikian pula guruku dan ibumu …”

Tidak lama lagi kita akan minum air jernih, air manis, air yang lebih manis dibandingkan laut yang asin getir …tidur di ranjang ya empuk dan nyaman, makan buah-buahan ya segar ….benar tidak?”

“kau ingin makan apa, dengan mudah dapat kau peroleh.”

Cui-Thian-ki tertawa manis, “Aku ingin makan anggur, nanas dan semangka, semangka yang besar dan manis ….”

Sampai di sini mendadak ia sesengukan malah, menangis dengan sedih, “Kenapa aku harus menipu diri sendiri, kau tahu aku juga tahu terapung di tengah lautan, dengan hanya memeluk sebatang kayu, mana mungkin bisa pulang, siapa pun tak mungkin kita jumpai,”

Oh-Put-jiu juga merasa rawan, dengan pilu ia mengelus rambutnya, mulutnya mendesis perlahan “Jangan menangis … jangan menangis …”

Kecuali menghibur dengan dua patah kata itu, Oh-Put-jiu tak bisa bicara lebih banyak lagi. Dia maklum dalam keadaan seperti ini, hanya keajaiban yang bisa menolong mereka, lalu berapa lama mereka bisa bertahan?

Entah berapa lama Cui-Thian-ki sesengukan, air mata juga sudah kering, “Tahukah kau , sejak aku dilahirkan hingga sebesar ini, aku selalu tertawa belum pernah menangis, aku sering melihat orang menangis, aku tidak tahu bagaimana rasanya menangis, tapi hari ini, aku …sudah dua kali menangis.”

“kau …aku …” kering tenggorokan Oh-Put-jiu.

“Sebetulnya aku tidak boleh menangis, pantasnya aku tertawa …engkau ada di sampingku, apa pula yang harus aku sesalkan? Apa pula yang aku dambakan? …”

Dia benar-benar tertawa, tapi tawanya jauh lebih menyedihkan dari pada menangis.

Dengan serak Oh-Put-jiu berteriak, “Tak nyana … terhadapku kau bisa … ”

“Aku sendiri juga heran, kenapa aku jatuh hati terhadapmu …apa memang jodoh? Benar tidak? Kalau bukan karena mengalami musibah mana mungkin aku berada di sampingmu?”

“Derita dan musibah? …berbagai kesukaran itu …lalu aku harus berterima kasih atau membencinya?”

“Aku harus berterima kasih, kalau tidak demikian, mungkin selama hidup aku takkan tahu bahwa aku juga punya perasaan, punya cinta murni, mati pun aku puas dan rela.”

Betulkah ia rela mati?

******

Bila mentari terbenam, bintang-bintang pun bertaburan di langit.

Setelah bintang-bintang lenyap dari pandangan, fajar pun menyingsing.

Pagi lalu malam pun tiba, mereka tidak tahu sudah berapa lama terombang ambing dimainkan ombak. Namun mereka sadar semangat mereka pun makin luluh, ketahanan fisik mereka makin lemah, mulut kering bibir pecah, lidah kelu tak bisa bicara lagi.

Tapi dalam keadaan seperti itu, mereka memang tidak perlu banyak bicara. Hati mereka telah bersatu padu, perasaan mereka sudah manunggal.

Dengan tenang mereka menanti ajal, mati tanpa menyesal. Umpama menyesal, namun apa yang dapat mereka lakukan? Apa boleh buat.

Entah berapa lama lagi, Cui-Thian-ki membuka mata dan menatap Oh-Put-jiu, katanya lirih, “Kekasihku …selamat tinggal!”

“Apa katamu?” teriak Oh-Put-jiu kaget.

“Aku tak tahan lagi …aku …aku akan, berangkat dulu.”

“kau …jangan …tidak boleh ….”

“Bertahan lebih lama juga hanya menambah derita …biarlah aku berangkat lebih dulu, apa kau rela aku menderita lebih lama?”

“Tapi kau …aku …” mulut Oh-Put-jiu tidak bisa bicara, tapi kedua tangannya masih memegangnya erat-erat.

Rawan suara Cui-Thian-ki, “Biarlah aku berangkat, aku mohon padamu, lepaskan aku ….”

Oh-Put-jiu menggigit bibir, “Kalau ingin berangkat, marilah kita berangkat bersama.”

“Tidak boleh, jangan … engkau masih ada kesempatan.”

“Kalau kau pergi, masih ada kesempatan apa pula bagiku? Apa engkau tidak tahu, selama beberapa tahun ini berlandaskan apa aku bertahan. Kalau bisa mati bersamamu, aku sudah merasa puas, kau …”

Mendadak ia terbelalak dan berteriak, “Hei engkau tidak perlu mati, aku pun tidak akan mati! Coba lihat, apa itu?”

Di bawah mega, di tengah laut yang biru tampak bayangan sebuah layar.

Bisa mati bersama orang yang dicintai memang kejadian yang membahagiakan, tapi dapat bertahan hidup dengan orang yang dicintai jelas lebih baik dari pada mati bersama.

Dengan sisa tenaga yang ada Oh-Put-jiu dan Cui-Thian-ki berlomba menggerakkan sebelah tangannya, balok besar itu bergerak lambat ke arah yang dituju, entah dari mana datangnya tenaga, namun usaha mereka tidak sia-sia, kapal itu makin dekat.

Oh-Put-jiu segera tarik suara, “He, kalian yang ada di atas kapal, arahkan kapal ke sini tolonglah jiwa kami.”

Tiada reaksi dari atas kapal.

Oh-Put-jiu berteriak lagi, “He, kalian yang ada di atas perahu, dengar suaraku tidak?”

Kapal itu seperti terombang-ambing di laut diam di tempatnya, tidak mendekat juga tidak menjauh, walau layarnya berkembang, tapi tidak kelihatan bayangan kelasi yang memegang kemudi.

“Kelihatannya kapal itu tidak ada orangnya?” demikian desis Cui-Thian-ki.

“Aneh, betul-betul aneh.” gumam Oh-Put-jiu.

“Mungkin kapal itu telah disapu habis oleh kawanan perompak, penghuni kapal juga dibunuh semua.”

“Apa pun yang terjadi, kita harus berusaha naik ke kapal itu.”

Dalam keadaan biasa, naik ke atas kapal bukan kerja yang sukar bagi mereka, tapi betapa susah Cui-Thian-ki dan Oh-Put-jiu berusaha, setelah menghabiskan sisa tenaga baru mereka berhasil naik ke atas kapal, napas pun sudah ngos-ngosan.

Berada di atas kapal, mereka tidak perlu kuatir menghadapi kematian makin jauh dari bayangan mereka.

Namun mereka belum merasa senang, belum lega.

“Memang tidak ada orang di kapal ini.”

“Ehm, kalau ada orang, tentu sudah keluar sejak tadi.”

“Umpama benar kapal ini sudah disikat habis oleh kawanan perompak, semoga mereka masih menaruh belas kasihan.”

“Benar, rangsum yang ada di kapal ini tidak disikat seluruhnya.”

“Duduklah di sini, aku …”

“Biar aku temani kamu memeriksa keadaan.”

Mereka adalah orang orang yang cerdas cukup sepatah kata diucapkan, satu sama lain sudah maklum. Mereka berpandangan sambil tertawa lalu bergandeng tangan dan berdiri.

Sambil berpelukan dan saling rangkul mereka masuk ke kabin, baru beberapa langkah, mereka lantas berhenti dan menjerit kaget.

Tak jauh di depan mereka, dalam kabin yang setengah gelap ini menggeletak sesosok mayat manusia.

Mayat ini menggeletak tak jauh dari mulut kabin, pakaian yang melekat di tubuhnya sudah compang camping, demikian pula rambut awut-awutan dan kotor, jelas kelihatan waktu hidupnya telah bergelut sekian lama di lautan.

Tidak kelihatan luka di tubuh mayat ini, hanya di tengah alis terdapat sebuah luka berdarah.

Bergetar tubuh Cui-Thian-ki melihat luka di tengah alis mayat ini, “Perhatikan …luka penyebab kematiannya …”

Air muka Oh-Put-jiu juga berubah “Pek-ih-jin …”

“Ya, pasti…dia, kecuali Pek-ih-jin, sukar ku bayangkan tokoh silat mana yang dapat membunuh orang secara bersih dan sederhana, lalu siapakah korbannya ini?”

“Pek-ih-jin takkan turun tangan terhadap kaum keroco. Orang ini tentu amat terkenal.”

“Coba aku bersihkan noda darah di wajahnya.”

“Tidak usah kau bersihkan,” kata Oh-Put-jiu setelah memperhatikan sesaat, “aku sudah tahu siapa dia.”

Cui-Thian-ki berpaling kebetulan dilihatnya sebilah senjata aneh melengkung panjang menggeletak tak jauh di belakang pintu, senjata berbentuk aneh ini berkilauan. Golok yang satu ini berbeda dengan golok umumnya yang ada di Tiong-goan.

“Thian-to Bwe-Kiam?” desis Cui-Thian-ki sambil menutup mulut dengan jari-jari tangannya.

“Aku tidak pernah melihat Bwe-Kiam, juga tidak pernah melihat gegamannya itu, tapi dapat ku pastikan bahwa orang ini memang benar Thian-to Bwe-Kiam adanya.”

“Mereka memang tidak mati seperti yang dikatakan Ka-sing Tai-su, jadi kapal ini adalah kapal yang digunakan Ban-lo-hu-jin dan terdampar di pulau kita itu. Setelah mereka siuman diam diam berlayar lagi ke lautan, dan secara kebetulan bertemu dengan Pek-ih-jin.”

“Kalau Bwe-Kiam ada di sini, Kong-sun Ang tentu juga di sini.”

“Kong-sun Ang pasti juga menjadi korban.”

“Dalam peristiwa ini ada sesuatu yang aneh.”

“Ya, memang agak aneh …umpama betul mereka bertemu Pek-ih-jin tahu mereka berada di kapal ini, bagaimana mungkin meluruk ke kapal ini dan menamatkan jiwa mereka?”

Melintasi mayat Bwe-Kiam, mereka masuk lebih jauh ke bagian dalam, di sana mereka memang menemukan sesosok mayat orang lagi.

Mayat itu tengkurap, mukanya mencium papan geladak, kedua tangannya terulur ke depan, jari-jari tangan bagai cakar seperti hendak mencengkeram papan geladak. Sebelum ajal kelihatannya dia meronta dan merangkak ke depan.

“Kong-sun Ang memang ada di sini.”

“Dia pun terhitung …”

Belum habis Cui-Thian-ki bicara, mayat itu mendadak bergerak dan mengeluarkan rintihan.

Cui-Thian-ki dan Oh-Put-jiu berjingkat mundur, lain terdengar mayat itu mengigau dengan suara kurang jelas, “Aku …bukan … Kong-sun Ang …”

Cui-Thian-ki memeluk kencang lengan Oh-Put-jiu, “Siapa kau ?”

Mayat itu tidak bisa menjawab, sambil merintih dia megap-megap, “Air …air …air …”

Mendengar kata ‘air’, Oh-Put-jiu dan Cui-Thian-ki juga lantas merasa tenggorokan sendiri kering dan tak mampu bersuara lagi.

“Air …” serak suara Cui-Thian-ki, “di mana ada air?”

Jari mayat itu bergerak perlahan menuding ke bawah papan.

Tanpa berjanji Cui-Thian-ki dan Oh-Put-jiu memburu ke tempat yang ditunjuk. “Blang” papan dipukulnya pecah, bergegas mereka menyingkirkan selembar papan, di bagian bawah memang terdapat beberapa gentong air dan beberapa poci yang terbuat dari tembaga.

Dua tangan terulur masuk bersama, masing-masing menjinjing sebuah poci. Oh-Put-jiu angkat poci ke mulut Cui-Thian-ki, Cui-Thian-ki juga angkat poci di tangannya ke mulut Oh-Put jiu.

Tapi sekilas mereka melirik mayat itu, lalu menyerahkan poci itu padanya.

Air merupakan sumber hidup. Begitu air masuk mulut, mayat yang sudah sekarat, sudah empas-empis menunggu ajal itu mendadak memperoleh tunjangan hidup, dengan kencang ia pegang poci, seperti tidak mau melepaskan lagi.

Air itu pula membuat bola mata Cui-Thian-ki kembali menjadi bening dan jeli, mirip sekuntum bunga yang hampir layu, begitu memperoleh siraman air lantas pulih kembali kesegarannya.
 
Mayat itu kini sudah membalik badan dan roboh telentang, menghamburkan napasnya yang berat dengan rasa puas, bagian tengah alisnya juga bolong oleh tusukan senjata tajam, mungkin lukanya tidak dalam sehingga jiwanya masih berkepanjangan meski keadaannya sudah sekarat.

Oh-Put-jiu menghabiskan isi air dalam poci itu hingga tetes terakhir, dengan menghela napas panjang ia bertanya, “Siapakah engkau sebenarnya?”

Mayat itu membuka mulut, “Aku …aku Thian-to Bwe-Kiam.”

“Hah …jadi yang mati itu Kong-sun Ang?”

“Em …siapa kalian?” tanya Bwe-Kiam.

“Cai-he Oh-Put-jiu,” Oh-Put-jiu mendahului bicara, “Cai-he adalah …”

Belum habis ia bicara, mendadak Bwe-Kiam membuka mata teriaknya terbelalak, “Oh-Put-jiu? Jadi engkau ini Su-siok Pui-Po-giok?”

Oh-Put-jiu tertawa lebar, “Agaknya nama Po-ji sudah terkenal.”

Dilihatnya Bwe-Kiam menutup lagi matanya dan bergumam, “Syukur …syukur …sebelum ajal aku bisa bertemu denganmu …”

Oh-Put-jiu heran, “Ada urusan apa yang ingin aku sampaikan padaku?”

“Ada ….ada banyak ….”

“Bicaralah perlahan, jangan tergesa-gesa, waktu masih panjang …”

“Waktuku sudah tidak banyak lagi. Setelah minum air, nyawanya takkan lama lagi, paling hanya …”

“Wah, kenapa aku lupakan hal ini,” seru Oh-Put-jiu sambil membanting kaki, “orang yang terluka parah dilarang minum air dingin. kau tahu pantangan ini, kenapa …ingin …ingin minum …”

Bwe-Kiam tertawa getir, tertawa yang kaku, “Dapat minum seteguk air, mati pun legalah.”

Cui-Thian-ki tertawa pedih, suara pun rawan, “Aku dapat membayangkan perasaanmu, ada kalanya setetes air memang jauh lebih berharga dari nyawa orang engkau ….lekaslah bicara.”

“kau kenal Pek Sam-khong? … ”

Bahwa Bwe-Kiam yang sekarat mendadak menyinggung nama “Pek Sam-khong”, sudah tentu Oh-Put-jiu berjingkrak kaget, “Sudah tentu kenal seorang murid masa tidak kenal gurunya.”

“Bagus, bagus …gurumu belum mati…” lemah suara Bwe-Kiam.

“Aku tahu.”

“kaum persilatan yang tahu bahwa beliau masih hidup, semua menyangka beliau mengasingkan diri di taman keluarga Kim dan tidak mau menerima tamu, di luar tahu orang banyak bahwa dia sudah keluar dari tempat itu dengan menyamar, di kalangan kang-ouw tidak sedikit pekerjaan yang telah beliau bereskan. Yang membongkar tempat penyimpanan bahan peledak yang disembunyikan Hwe-mo-sin dalam pertemuan besar di puncak Thian-san tempo hari bukan lain adalah beliau.”

Kejut-kejut girang hati Oh-Put jiu, “Pertemuan besar di Thian-san apa? Bahan peledak apa pula?”

“Setelah pulang ke Tiong-toh, tidak sukar kau cari tahu tentang peristiwa itu.”

“Agaknya kau pernah bertemu dengan beliau?”

“Kalau aku tidak pernah bertemu dengan beliau, saat ini diriku takkan berada di sini.”

“Lho, kenapa?”

“Dalam usia setengah baya baru aku hijrah ke Tang-ing dan belajar kungfu. Sebelum aku ke Tang-ing, dahulu aku adalah sahabat karibnya, maka pertemuan yang tak terduga itu merupakan kesempatan yang tak boleh di sia-sia kan. Beliau membocorkan rahasia penting kepadaku.”

Oh-Put-jiu heran, tanyanya gugup, “Rahasia apa?”

“Rahasia Pek-ih-jin.”

“Apa yang beliau katakan?”

“Sejak kekalahannya di bawah pedang Pek-ih-jin, dan satu-satunya tokoh persilatan Tiong-goan yang selamat di bawah pedang musuh, beliau lalu mendalami dan berusaha memecahkan asal mula atau sumber permainan pedang Pek-ih-jin. Agaknya Tuhan mengabulkan jerih payahnya, selama beberapa tahun ini, akhirnya dia berhasil menciptakan kungfu yang khas untuk mematahkan permainan ilmu pedang Pek-ih-jin. Akan tetapi beliau merasa hutang budi karena Pek-ih-jin tidak membunuhnya, maka beliau tidak mau membocorkan ilmu ciptaannya itu kepada orang kedua.”

“Tapi ….kenapa beliau menceritakan hal ini kepadamu?”

“Karena waktu aku bertemu dengan beliau kebetulan beliau akan berangkat menunaikan suatu tugas, tepatnya menempuh mara bahaya, kepergiannya itu entah selamat atau bakal mati, dia sendiri tidak dapat meramalkannya. Dan demi cucu satu-satunya, yaitu Pui-Po-giok, dia mau menceritakan tentang rahasia itu kepadaku.”

“Demi Po-ji? …”

“Karena sekarang Pui-Po-giok sudah diakui secara aklamasi oleh seluruh lapisan kaum persilatan sebagai lawan yang akan menandingi Pek ih-jin.

“Kalau demikian, kenapa beliau justru bicara dengan Cian-pwe …”

Setelah menarik napas Bwe-Kiam menukas, “Kalau dia menyampaikan rahasia ini langsung kepada Pui-Po-giok, bukankah berarti dia mengingkari budi kebaikan Pek-ih-jin yang tidak membunuhnya? Tapi aku …dengan Pek-ih-jin, aku juga kenalan lama, sahabat baik, dia membicarakan rahasia ini kepadaku dengan maksud supaya aku menuju ke Tang-ing, membujuk dan mencegah Pek-ih-jin. Kalau Pek-ih-jin tahu ada seseorang tokoh Bu-lim di Tiong-toh yang dapat mematahkan kungfunya, mungkin dia akan membatalkan niatnya untuk meluruk kembali ke Tiong-toh, dengan demikian bukan saja jiwa Po-giok dapat diselamatkan, kaum persilatan juga terhindar dari bencana besar.”

“Tapi …Cian-pwe, engkau ….”

“Setelah mengemban pesannya, aku bergegas menuju ke timur dan naik kapal, tak nyana di kapal ini orang salah paham terhadapku, hal itu jelas tak mungkin aku bicarakan dengan orang lain terpaksa aku …terpaksa …”

“Demi menunaikan tugas, mati secara ksatria Cian-pwe adalah seorang eng-hiong (ksatria).”

“Eng-hiong?” Bwe-Kiam tertawa getir, “Berapa harganya eng-hiong? Memangnya kenapa kalau eng-hiong? Pada saat bertempur dengan sengit, hujan badai pun melanda, lalu bertemu dengan makhluk aneh yang mirip binatang liar itu.”

Oh-Put-jiu menyengir getir, “Makhluk adalah Ka-sing Tai-su.”

“O, Ka-sing Tai-su? …” ucap Bwe Ki perlahan.”Walau aku jatuh semaput oleh pukulannya, tapi tidak terluka apa-apa, begitu siuman bersama Kong-sun Ang kami berlayar lagi menuju ke Tang-ing.”

“Lalu Kong-sun Ang …”

“Supaya dia tidak merintangi usahaku ke Tang-ing, apa boleh buat, secara samar-samar aku jelaskan sedikit duduk persoalannya padanya di luar dugaan dia malah mendukung gagasanku dan membantu aku sekuat tenaga. Di luar perhitungan kami, sebelum sampai di Tang-ing, di tengah laut kami bertemu dengan Pek-ih-jin”

“Dari mana Cian-pwe tahu orang di atas kapal itu adalah Pek-ih-jin?”

“Yang berani naik sampan melawan hujan badai di tengah laut, kecuali Pek-ih-jin tiada orang kedua di dunia ini.”

“Ya, benar,” ucap Oh-Put-jiu menghela napas.

“Aku undang dia ke atas kapal lalu dengan ramah dan sopan aku jelaskan kepadanya bahwa telah tercipta kungfu untuk mematahkan ilmu pedangnya di Tiong-goan, aku minta dia langsung pulang ke Tang-ing.”

“Dan …apa yang dia katakan?”

“Sepatah kata pun dia tidak bicara, hanya menyeringai padaku.”

“Dapat aku bayangkan betapa sikap dinginnya.”

Keringat membasahi selebar muka Bwe-Kiam, dengan napas sedikit memburu ia meneruskan, “Sikap dinginnya itu memaksa aku menyerang dia sebetulnya aku tidak perlu takut, siapa tahu … meski Pek-Sam-khong berhasil menciptakan kungfu untuk mematahkan permainan pedangnya, tapi selama beberapa tahun ini, Pek-ih-jin juga sudah memperdalam ilmu pedangnya, titik kelemahan ilmu pedangnya sudah disempurnakan. Ai betapa hebat dan lihai permainan ilmu pedang orang ini, sampai detik ini betul-betul tiada bandingan, permainan ilmu pedangnya rapat dan ketat sudah tiada titik kelemahan lagi.”

Oh-Put-jiu menunduk kepala, diam sejenak lalu bergumam, “Setelah Cian-pwe dikalahkan, sudah tentu Kong-sun Ang juga tidak diberi ampun.”

“Kematianku tidak perlu dibuat sayang, hanya sayang kaum Bu-lim di Tiong-goan …”

“Apa betul tiada tokoh silat di Tiong-goan yang mampu menandinginya?”

“Sampai detik ini, sukar aku temukan orang yang dapat menandinginya?”

“Bagaimana dengan Pui …Pui ….”

Bwe-Kiam menghela napas “Kungfu Pui-po-giok memang sudah mencapai Taraf yang sempurna, namun sayang latihannya kurang matang, sempurna tapi tidak mantap, jelas tak mungkin dibandingkan dengan ilmu pedang Pek-ih-jin yang sudah tergembleng.”

Sampai di sini, setiap kali mengucap sepatah kata, keadaan Bwe-Kiam seperti menguras tenaga, setiap kata dibarengi getaran keras sekujur badan nya.

Cui-Thian-ki bergidik gemetar, mulut pun bungkam.

Suara Pek-ih-jin yang dingin kaku itu seperti mendengung di telinganya. “Tujuh tahun lagi aku akan datang pula …dengan darah akan kucuci kekalahanku hari ini.”

Terbayang dalam benaknya mayat yang bergelimpangan, tidak sedikit tokoh Bu-lim yang gugur demi membela nama baik kaum Bu-lim di Tiong-goan, darah mengalir bagai air sungai.

Dada Bwe-Kiam turun naik, napasnya makin berat. Setelah bicara panjang lebar, kekuatan hidupnya sudah tersisa tidak banyak lagi.

Oh-Put-jiu bergumam sendiri, “Tapi kungfu ciptaan suhu itu betapapun masih berguna, kenyataan Cian-pwe tidak seketika mati oleh tusukan pedangnya yang lihai.”

“Ya …memang demikian.”

“Sudikah Cian-pwe menjelaskan cara mematahkan ilmu pedang Pek-ih-jin itu?”

“Sudah tentu boleh … hanya saja …aku …”

Betapa luas makna ilmu silat ciptaan Pek-Sam-khong yang khas untuk mematahkan ilmu pedang Pek-ih-jin, tak mungkin dijelaskan hanya dengan beberapa patah kata saja, apalagi keadaan Bwe-Kiam sekarang meski mengerahkan seluruh sisa tenaganya juga tidak mampu menjelaskan secara tuntas.

Sudah tentu Oh-Put-jiu juga tahu tentang kelemahan orang, setelah diam sejenak, ia berkata hambar, “Coba Cian-pwe jelaskan saja ke mana tujuan Suhu, soal kungfu ciptaannya kelak akan aku tanya langsung kepada beliau.”

“Semoga dia juga …juga belum mati, dia … dia pergi ke …Pek-cui-kiong!”

“Ke Pek-cui-kiong?” teriak Oh-Put-jiu.

Berubah juga air muka Cui-Thian-ki, suaranya gemetar, “Kenapa …beliau pergi ke Pek-cui-kiong?”

“Karena …hanya karena …”

Karena apa Bwe-Kiam tidak dapat menjelaskan lagi.

Tabir malam menyelimuti lautan luas.

Tiada lampu, Cui-Thian-ki dan Oh-Put-jiu duduk diam di tengah kegelapan, kapal didiamkan terombang-ambing dimainkan ombak.

Entah sudah berapa lama mereka duduk.

Mendadak Oh-Put-jiu bergumam sendiri, “Karena apa? Apakah Bwe-Kiam ingin bilang ‘karena cucunya’? Bukan mustahil Po-ji juga sudah pergi ke Pek-Cui-kiong? Malah terkurung dan menghadapi bahaya di sana, maka beliau menyusul ke sana untuk menolongnya.”

Cui-Thian-ki bungkam, tidak bicara. Apa pula yang bisa dia katakan?

Oh-Put jiu bergumam pula, “Semoga dia belum mati …Bwe-Kiam bilang ‘semoga’, itu berarti bahwa beliau mengalami banyak mara bahaya, kalau demikian …bukankah Po-ji lebih ….”

“Jangan kau katakan lagi,” tiba-tiba Cui-Thian-ki menukas dengan serak.

“Baik, aku tidak bicara lagi.”

“Ada kalanya tanpa kau bicarakan, aku pun tahu apa maksud hatimu.”

“kau …kau katakan isi hatiku?” Oh-put-jiu tertawa getir.

Dalam kegelapan susah Put-jiu melihat mimik wajahnya, yang terlihat hanya sepasang bola mata yang berkelap-kelip, sepasang mata yang berkaca-kaca dengan air mata.

Cui-Thian-ki berkata pula, “jangan kuatir, walau aku …aku baik terhadapmu, tapi kalau gurumu mengalami sesuatu di Pek-Cui-kiong, tentu kau tak mau melihatku lagi selamanya dan aku ….aku pun tidak akan menyalahkanmu.”

Oh-Put-jiu tertunduk, lama sekali baru bersuara sedih, “Terima kasih.”

Ia menunduk karena tidak ingin Cui-Thian-ki melihat air mata menetes dari kedua matanya, namun betapa pilu nada terima kasih yang diucapkan itu, siapa pun yang mendengar akan dapat meresapinya. Terima kasih atas pengertian dan maaf mu, demi diriku kau ikut menderita dan harus menahan diri, walau hatiku juga hancur lebur.

Begitulah mereka duduk dalam kapal yang gelap.

Entah beberapa kejap kemudian, mendadak Oh-Put-jiu lompat berdiri, memburu ke sana, memegang kemudi.

Di langit tiada bintang, tiada rembulan.

Arah angin di siang hari tidak menentu, malam ini bintang juga tidak kelihatan.

Kapal laju tanpa tujuan, mereka kehilangan arah tersesat.

Sehari, dua hari …kapal itu berlayar tanpa arah tertentu, bergerak mengikuti gelombang.

Di atas kapal masih tersedia sisa air minum, tapi tidak ada makanan. Rangsum sudah dibongkar seluruhnya ke darat oleh Ka-sing Tai-su, rangsum yang sebenarnya dipersembahkan untuk mereka. Kini pada saat mereka memerlukan rangsum mereka tak bisa makan lagi. Nasib terkadang juga mempermainkan umat manusia, nasib itu memang aneh, kadang kala tidak kenal kasihan, dan kejam.

Lambat-laun mereka merasakan bahwa kelaparan adalah penderitaan yang paling menakutkan. Mereka belum kering karena dahaga, walau kelaparan dapat merengut nyawa manusia, tapi dahaga dapat membuat orang gila.

Mereka juga sadar betapa luas lautan itu, luasnya jauh di luar dugaan, di luar kenyataan yang pernah mereka bayangkan. Selama beberapa hari ini, bukan saja mereka tidak melihat daratan, sebuah kapal atau perahu pun tidak terlihat.

Agaknya kapal ini sudah terbawa arus ke lautan bebas jauh meninggalkan jalur pelayaran.

Entah sejak kapan, mereka duduk saling berpelukan, walau kematian itu menakutkan, tapi ada satu manfaatnya, yaitu dapat memperpendek jarak antara manusia dengan manusia.

Sering terjadi lantaran “asing” manusia menjadi renggang, hubungan satu dengan yang lain makin jauh, tapi mati justru memperdekat hubungan mereka.

Tapi mereka hanya dapat saling berpelukan, sudah tak punya tenaga untuk bicara.

Lambat laun “kelaparan” itu memusnahkan lagi makna “hidup” mereka, kini bukan hanya kondisi fisik mereka makin lemah, otak pun sudah tidak bekerja normal.

Tekad untuk berjuang mempertahankan hidup sudah padam, keberanian untuk meronta melawan elmaut juga tiada lagi.

Ketika mentari bercahaya dengan hembusan angin yang kencang, sebetulnya mereka sudah dapat menentukan arah pelayaran, tapi Oh-Put-jiu sudah tidak mampu berdiri, apalagi memegang kemudi, umpama ada keinginan berdiri tenaga tiada lagi.

Mereka ingin tidur. Mereka tahu begitu tertidur, mereka tidak akan bisa bangun lagi. Tapi dalam kondisi mereka siapa pun tak kuasa menahan rasa kantuk, keinginan tidur tak bisa ditahan lagi, mereka pun tidak ingin melawan rasa kantuk.

Dengan lemah Oh-Put-jiu menggenggam tangan Cui-Thian-ki, “kau tidak perlu kuatir …”

“Ya … tiada orang di dunia ini dapat memisahkan kita.”

“Tiada orang … tiada persoalan apa pun …”

Cui-Thian-ki rebah dalam pelukan Oh-Put-jiu, dengan lirih dan lemah ia mendendangkan lagu nina bobo. Di tengah lagu nan lirih itu mereka menunggu ajal.

Sekonyong-konyong, “ser, ser, ser,” berkumandang tiga kali suara lirih. Tiga batang panah besi meluncur ke dalam kabin dan “crap” menancap di dinding papan.

Bidikan panah ini keras lagi kuat, batang panah yang hitam dihiasi bulu burung yang merah. Waktu melesat di udara mengeluarkan suara lengking tajam, suara yang mengerikan, seperti ingin mencabik sukma.

Tapi Oh-Put-jiu hanya membuka sedikit matanya, “Kawanan perompak datang … ”

“Apa perompak?” desis Cui-Thian-ki lemah.

Mendadak mereka bergelak tawa geli, “Bila naik ke kapal ini, mereka pasti kecewa.”

Walau bergelak tawa, tapi suara tawa mereka amat lemah lirih seperti suara bisik-bisik.

Mendadak berkumandang teriakan lantang di di luar kabin, “Malang melintang di lautan, tiada tandingan di seluruh jagat!”

Seorang lagi juga membentak, “Yang menyerah hidup, yang melawan mampus!”

Di tengah bentakan gaduh dan ramai, menyusul suara kelotekan besi dan jangkar yang bertali panjang dilemparkan ke kapal ini dari kapal sebelah.

Kapal perompak itu tidak begitu besar, hanya satu setengah kali lebih besar dibanding kapal ini membentang layar hitam gelap.

Kawanan perompak mengenakan pakaian serba baru dengan corak dan warna yang berbeda beda tapi menyolok. Kaos selempang yang terbuat dari kulit ikan hiu, kebanyakan telanjang dada memperlihatkan benjolan daging berotot yang mengkilap di bawah sinar mentari perawakan mereka yang gede, kekar dan keras, bentuknya mirip robot besi.

Sambil berteriak-teriak mereka mengacung dan mengobat-abitkan berbagai macam senjata yang panjang melengkung dengan bentuk aneka ragam, menerjang masuk seperti gerombolan binatang liar yang kelaparan.

Tapi Oh-Put-jiu dan Cui-Thian-ki anggap tidak mendengar, tidak melihat, mata pun malas dibuka untuk melihat mereka.

Mendapatkan kapal kosong yang sudah bobrok, dengan keadaan yang porak poranda, menemukan sepasang laki perempuan yang sekarat dan empas-empis menunggu ajal. Keruan kawanan perampok itu berdiri melongo.

Beberapa di antaranya menggerutu dan mengumpat, ada juga yang belum putus-asa, geledah sana periksa sini, mencari barang-barang yang dianggap masih berharga untuk dimiliki. Dua orang menghampiri Oh-Put-jiu dan Cui-Thian-ki, berjongkok dan memeriksa dengan seksama. Seorang berkata dengan menyengir “Ajaib, kedua orang ini belum mati.”

“Entah dari mana kedua orang ini,” kata seorang lain, “Coba periksa, pakaian yang melekat di badan mereka hampir mirip pakaian orang-orang yang datang dari negeri asing.”

Orang ketiga mendekat sambil cengar-cengir, “Tapi cewek ini kelihatan yahut, asal diberi makan dua-tiga hari lalu didandani, aku tanggung dia akan segar-bugar lagi menjadi cewek yang ayu jelita, hihi ….” di tengah gelak tawanya, orang banyak pun merubung maju.

Mereka tidak tahu bila nona jelita ini diberi makan dan minum, dua-tiga hari lagi, maka jiwa mereka yang bakal terancam bahaya.

Sudah tentu Oh-Put-jiu dan Cui-Thian-ki mandeh ditonton dan dicemoohkan, mereka malas membuka mata dan bicara, apalagi bergerak.

Mendadak seorang berbicara dengan nada tinggi dari kapal perompak, “Hehe, anak-anakku yang bagus, kenapa tidak lekas bawa kemari apa yang kalian temukan? Barang-barang bagus harus kalian serahkan dulu kepadaku untuk diperiksa.”

Suara itu berkumandang dari kejauhan, namun suaranya jernih lagi nyaring, Oh-Put-jiu dan Cui-Thian-ki yang setengah sadar seperti kenal suara itu, namun mereka malas mencari tahu siapa sebenarnya orang yang bersuara itu.

Kawanan perompak itu menggerundel itu tidak sedikit yang meludah dan mengumpat, seorang yang dekat Oh-Put-jiu memaki perlahan, “Tua bangka ini ternyata sok bertingkah dan main perintah.”

“Salah kita kenapa tidak mampu melawan dan mengusirnya,” seorang menanggapi.

“Ya, tahu begini biar dia tenggelam saja di laut, kenapa kita menolongnya malah,” orang ketiga menggerutu.

Sambil mengumpat beberapa orang itu mulai mengangkat tubuh Oh-Put-jiu dan Cui-Thian-ki.

Keadaan Oh-Put-jiu dan Cui-Thian-ki memang lemah lagi lunglai, waktu diangkat keadaan mereka mirip setumpuk daging yang tidak bertulang.

Dalam keadaan setengah sadar mereka diangkat ke kapal perampok, seketika hidung mereka mengendus bau tembakau , bau arak dan keringat laki-laki yang busuk.

“Hanya” suara nyaring melengking tadi mendadak menjerit kaget dan senang, “kiranya kalian …Hehe, dunia rasanya sebesar daun kelor, di mana saja kita selalu bertemu lagi.”

Akhirnya Oh-Put-jiu dan Cui-Thian-ki membuka segaris matanya. Mereka melihat Ban-lo-hu-jin berdiri di depannya, pantas mereka merasa kenal suaranya.

Di atas kapal perampok ini, berbagai macam barang yang aneh-aneh bertumpuk dan berserakan daging panggang, arak berguci-guci, berbagai jenis pakaian, tumpukan emas perak dan perhiasan mutu manikam, semua ditaruh sembarangan tanpa diatur atau disusun dengan baik, kapal perampok ini mirip toko kelontong yang tidak keruan keadaannya.

Di tengah ruang terdapat sebuah meja, di atas meja berserakan mangkuk piring yang berisi berbagai jenis makanan, berbagai jenis arak, mirip restoran yang berantakan.

Ban-lo-hu-jin berdiri di belakang meja yang mirip restoran berantakan ini, kedua tangannya berlepotan minyak, demikian pula mulutnya, agaknya sejak berada di kapal perampok ini, dia terus makan dan makan tanpa berhenti.

Oh-Put-jiu menyengir kecut, “Ternyata …ternyata kamu berada di sini.”

“Tidak kau duga bukan? Nenek ini memang berejeki besar, panjang umur, betul tidak?”

Kawanan perompak itu berpandangan, “Hei ternyata mereka sudah kenal”.

Diam-diam mereka mengeluh, melayani nenek yang satu ini saja sudah kewalahan dan bertobat, kini ditambah dua orang lagi, harapan untuk mengusir nenek keparat ini jelas sia-sia belaka, maka beramai-ramai mereka sama mengundurkan diri.

Pada saat kawanan perompak itu mundur satu per satu, Cui-Thian-ki merapatkan tubuhnya dalam pelukan Oh-Put-jiu, dengan pilu ia berkata lirih, “Kali ini nasib kita akan lebih celaka ….”

“Ya, segalanya akan berakhir di sini …”

“Nenek keparat itu pasti tidak akan memberi kelonggaran padamu.”

“Ya, mungkin.”

Dengan erat mereka berpegangan, mereka maklum untuk terakhir kali ini mereka dapat saling genggam. Mereka lebih rela jatuh ke sarang serigala dan dimangsa oleh binatang liar dan buas daripada jatuh di tangan Ban-lo-hu-jin.

Kawanan perompak itu sudah hampir pergi seluruhnya, di luar dugaan Ban-lo-hu-jin mendadak tertawa besar, serunya melengking, “He, kenapa kalian menyingkir malah?” Kalian tidak mau memanfaatkan hasil buruan ini?”

Kawanan perompak itu kaget dan bingung, “Tapi …mereka …”

Ban-lo-hu-jin terkial-kial, “Mereka memang temanku, tapi nenek ini kenal budi dan tahu cara membalasnya, kalian sudah menerima diriku di kapal ini, adalah pantas kalau aku ikut memikirkan kepentingan kalian. Nah, begini saja, yang lelaki jelas tidak berguna bagi kalian, taruh saja di sini akan aku bereskan dia, sedang yang perempuan, aku tidak membutuhkannya.”

Kawanan perompak itu terbelalak girang dan saling pandang.

Ban-lo-hu-jin tambah geli, “Anak-anak bodoh tunggu apa lagi, ayolah gotong ikan duyung ini … He, kalian harus tahu dan waspada, cewek ayu ini juga seekor macan betina, perlu aku peringatkan kepada kalian, jangan memberi makan apa pun padanya, kalau dia makan kenyang dan tenaganya pulih, maka kalian jangan harap bisa selamat di tangannya, … haha, meski keadaannya lemas lunglai, kalian kan bisa mengajaknya tidur”

Serasa beku sekujur badan Oh-Put-jiu hujan marah juga tidak bisa lagi, terpaksa ia hanya mengawasi saja dengan cemas kawanan perompak itu menggotong Cui-Thian-ki pergi.

Cui-Thian-ki lemas lunglai, tidak bisa berbuat apa-apa jangankan meronta, menjerit atau memaki juga tidak bisa. Maka ia hanya mengawasi Oh-Put-jiu saja.

Mereka saling tatap, berpandang-pandangan, mereka tahu inilah pandangan terakhir, pandangan perpisahan.

Ban-lo-hu-jin menutup rapat daun pintu, katanya tertawa, “Kawanan kura-kura itu tentu mengira aku ini tua-tua keladi sudah tua masih naksir anak muda …”

Sembari bicara tangannya mencomot sebuah paha ayam sengaja dipamerkan sambil melirik ke arah Oh-Put-jiu, hidungnya mengendus-endus, tertawa yang dibuat-buat tampak mirip badut,

“Sebaiknya apa yang harus kau lakukan menurut seleraku? Coba terka?”

Oh-Put-jiu memejamkan mata, tidak memedulikan ocehannya.

“Kenapa pejam mata? Takut melihat hidangan sedap ini? Padahal apa sih salahnya melihatnya? Hidangan ini semua akan kuberikan padamu.”

Oh-Put-jiu mengertak gigi, meronta-ronta, bertahan sabar, tapi tak kuat menahan keinginan, matanya akhirnya terbuka, paha ayam itu ternyata berada di depan hidungnya.

Bau lezat menusuk hidung Oh-Put-jiu, saking tak tahan badannya sampai gemetar.

“Coba cium, apakah paha ayam ini harum?”

Bibir Oh-Put-jiu bergetar, gigi berkeretukan, sekuat tenaga ia mengertak gigi, namun perutnya sudah tak kuat menahan lapar, dengan gemetar tangannya terangkat hendak meraih paha ayam itu, tapi Ban-lo-hu-jin mendadak menarik tangannya.

“Ingin makan ya?” goda Ban-lo-hu-jin dengan tertawa lebar, “mudah saja, asal kamu berjanji dan melulusi psrmintaanku, paha ayam ini segera kuberikan padamu.”

“Soal …soal apa?” tanya Oh-Put-jiu sambil mengerahkan tenaga.

“Aku hanya minta kau beber rahasia pit-kip peninggalan Ci-ih-hou padaku.”

“Tidak …tidak akan kukatakan.” teriak Oh-Put-jiu. Tapi pikirannya tenggelam dalam tenggorokan.

“Tidak mau bicara? aku tidak akan memaksamu, tapi paha ayam ini, ehm …betapa lezatnya paha ayam ini ….”

Tangan yang memegang paha ayam bergerak pergi datang di depan mata Oh-Put-jiu.

Oh-Put -jiu bergulingan di lantai, sekuat sisa tenaganya ia memukul dada sendiri.

“Anak bodoh, buat apa menyiksa diri sendiri hanya bicara …ai, sedap benar paha ayam ini, kalau tidak percaya, boleh coba mencicipinya.”

Lalu disobeknya secomot daging ayam dan dilempar ke lantai.

Tubuh Oh-Put-jiu sudah meringkel dan masih gemetar.

Rasa benci merasuk hatinya, benci terhadap diri sendiri, kenapa dalam keadaan seperti ini, dirinya menjadi begini lemah. Tapi benci tinggal benci, dia tidak bisa berbuat apa-apa. Oh-Put-jiu cukup sadar sebagai manusia biasa, dirinya tak kuat menahan lapar, lapar merupakan iblis yang paling menakutkan di dunia ini.

Dia terus meronta, bertahan dan berjuang menanggulangi kelaparan, berusaha melupakan dan tidak melihat atau mencium bau daging ayam itu. Orang yang tidak pernah gila karena kelaparan takkan bisa membayangkan betapa gigih perjuangan seorang yang memerangi rasa kelaparan.

Mukanya basah oleh keringat dingin, bibirnya juga berdarah karena tergigit pecah.

“Anak bagus, makanlah tidak usah sungkan!”

Seperti anjing kelaparan akhirnya Oh-Put-jiu menggelinding ke sana, dengan rakus ia melalap daging ayam di lantai itu.

Mendingan dia tidak menelan daging ayam itu, begitu daging ayam itu masuk mulut, betapa lezat dan sedap rasanya, menjadikan rangsangan yang tidak bisa dibendung lagi, kini bukan hanya badan saja yang bergetar, sukma juga seperti akan terbang ke awang-awang.

“Karena lapar dia tersiksa, api iblis seperti menyayat tubuhnya, penderitaan ini bukan lagi penderitaan fisik, penderitaan ini sudah merasuk sukma dan jiwanya.

“Nah, anak bagus, katakan saja,” demikian ragu Ban-lo-hu-jin dengan lembut, “isi buku itu sudah apal di luar kepalamu, betapa mudah membacanya, kan lebih enak daripada kelaparan begini …”

Oh-Put-jiu meringkel lagi, kepala terbenam di tengah kedua lututnya. Tapi rayuan Ban-lo-hu-jin seperti mengandung hipnotis, meski menutup kuping suaranya masih terdengar jelas.

“Kamu hanya membacanya di luar kepala, paha ayam ini akan menjadi milikmu, demikian pula daging sapi, panggang babi dan sate kambing ini semua kuberikan padamu. Hah, bakpao ini besar lagi masih hangat …”

“Tutup bacotmu! ….Kumohon tutup mulutmu!”

Pekik suara Oh-Put-jiu yang mengerikan mirip raungan binatang buas yang terluka dan kehabisan tenaga, siapa pun yang mendengar suaranya akan hancur hatinya, tapi Ban-lo-hu-jin masih tenang dan berseri tawa, seperti tidak mendengar juga tidak melihat.

Dengan kalem ia malah berkata, “Nah, daging babi ini dipanggang dengan saos, rasanya empuk dan wangi sate kambing ini kalau dimakan bersama bakpao, tanggung lidahmu akan menari ….”

“Baiklah ….akan …akan aku bacakan,” Oh-Put-jiu tidak tahan lagi, suaranya serak.

Ban-lo-hu-jin terbeliak senang “Benar kau mau membacakan?”

Oh-Put-jiu memukul dada dan membenturkan kepala di lantai, dengan serak ia meratap, “Ya, akan aku bacakan ….aku bukan manusia ….akan aku bacakan …”

Dalam pada itu kawanan perompak itu telah menggotong Cui-Thian-ki ke buritan, lalu membaringkannya di tempat yang teraling oleh hembusan angin, gelak tawa kasar orang banyak seperti gemuruh ombak.

Tampil seorang laki-laki bermuka burik, dengan sebuah anting-anting gelang menghias kuping kirinya, golok pendek melengkung terselip di pinggang, sikapnya kelihatan rakus dan liar, sambil menyeringai lebar ia berkata, “Siapa duga nenek reyot itu masih berselera besar, yang ditaksir adalah anak muda yang lemah, untuk apa dia menyekap diri dalam kabin kalau tidak main cinta.”

Seorang lagi berperawakan gede luar biasa, namun kepalanya justru kecil sekali. Badan yang gede bak raksasa itu dibungkus pakaian ketat yang menyolok warnanya, sementara kepalanya yang kecil dibungkus ikat kepala warna merah, suaranya serak dan rendah, “Justru tua bangka itu sudah lamur matanya, bukan pilih satu di antara kita, dia justru pilih kera berkepala besar yang kurus lagi kering, mana kuat bocah itu dipermainkan olehnya.”

Seorang lagi bergelak tawa, “Nah, dalam hal ini agaknya kamu bukan ahli. Justru karena usianya sudah lanjut, maka dia tidak berani mengajak kita main, bila main denganmu umpamanya, mungkin tulang belulangnya akan terlepas semua.”

Kepala kecil itu menjengek, “kau tahu apa, kau tahu kentut perempuan makin tua makin berpengalaman dan lebih ….”

Kawanan tertawa geli, “Kalau benar demikian kenapa tidak kamu saja yang mengajaknya main?”

“Cuh,” kepala kecil meludah, “Ikan cucut macamku ini, umpama delapan tahun tidak menyentuh wanita juga tidak akan pilih perempuan reyot seperti itu, coba bayangkan tubuhnya yang kate gembrot …cuh jijik!”

Tiba-tiba bola matanya mengerling lalu bergelak tawa, “Apalagi di sini ada cewek secantik ini, kalau kalian mengaku saudara baikku, berilah kesempatan, biar ikan cucut mencicipinya lebih dulu, bagaimana?”

“Wah, mana bisa, cewek ini tidak kuat,” seru si muka burik.

“Betul, berikan saja padaku, aku paling kecil juga paling sopan,” seorang lain menyeletuk.

Tiba-tiba seorang membentak dingin, “Kalian minggir semua.”

Orang ini berpakaian serba hitam, sepatu kulit hitam ikat kepala hitam, celana hitam, sabuk hitam, mukanya yang benjol-benjol penuh daging juga hitam, legam, mata kanannya tertutup kain hitam, kiranya si mata tunggal.

Meski hanya mata tunggal, tapi mata kirinya bercahaya, lebih terang dari dua biji mata orang lain, lebih buas, garang dan menakutkan.

Melihat kedatangannya, kawanan perompak itu mundur semua.

Ikan cucut segera tampil ke depan sambil unjuk tawa mengumpak, “Kalau Liong-lo-toa ada selera, sudah tentu Liong lo-toa diberi prioritas.”

“Tidak mau,” bentak Tok-gan-liong (si naga mata tunggal).

Ikan cucut menyengir “Kalau Liong-lo-toa tidak mau, biar aku ….”

“Pergilah ke dapur, ambil nasi dan lauk-pauknya,” bentak Tok-gan-liong kasar.

Ikan cucut melengong, “Tapi ….kita tidak boleh memberinya makan.”

“Siapa bilang tidak boleh?” bentak Tok-gan-liong beringas.

“Nenek ….nenek tua ….”

“kau tunduk padaku atau mendengar perintah?”

Ikan cucut bungkam, sekilas ia melirik ke arah Cui-Thian-ki, setelah menelan air liur ia berkata lagi dengan mengeraskan kepala, “Tapi ….kalau cewek ini punya tenaga, kita mungkin tak mampu mengusiknya lagi.”

“Memangnya siapa bilang kita akan mengusiknya?” damprat Tok-gan-liong.

Keruan kawanan perompak kaget mendengar pernyataan Tok-gan-liong. Cui-Thian-ki yang lunglai dan hampir pingsan pun tersentak kaget dan terbuka matanya.

Tampak kawanan perompak itu terbeliak bingung dan saling pandang, mimik mereka mirip kera makan terasi, penasaran juga kecewa. Ikan cucut agaknya paling berani di antara mereka, “Tapi …Liong-lo-toa, daging empuk yang sudah di depan mulut, kenapa tidak kita …”

“Maksudmu kau ingin mencicipi kemontokan tubuhnya?” tukas Tok-gan-liong mendelik.

Ikan cucut menyengir malu, “Lo-toa, kasihanilah saudara-saudaramu, sudah tujuh delapan bulan kita berlayar, tidak pernah mendarat, selama itu kapan kita melihat perempuan, apalagi mengajaknya tidur, aku yakin kau sendiri juga ketagihan …”

Belum habis ikan cucut bicara Tok-gan-liong sudah melayangkan telapak tangannya, ikan cucut tergampar mencelat beberapa meter jauhnya.

Dengan mata tunggalnya yang garang Tok-gan-liong menyapu pandang anak buahnya, “Siapa lagi yang ingin bicara?”

Kawanan perompak yang liar lagi buas dan berotot itu, ternyata mirip tikus berhadapan dengan kucing di depan Tok-gan-liong, mereka tunduk dan bungkam, tiada satu pun berani bercuit lagi.

“Siapa di antara kalian yang mau ke dapur mengambilkan makanan?” kata Tok-gan-liong pula.

Seperti berlomba, beberapa di antara anak buahnya berlari ke dapur, hanya sekejap mereka sudah kembali membawa nasi, ikan, daging, semangkuk kuah dan dua buah bakpao.

Tok-gan-liong tertawa dingin, “Lahirnya kalian kelihatan tunduk dan patuh padaku, tapi kutahu hati kalian masih penasaran dan bertanya Liong-lo-toa bukan sanak kadang cewek ini, kenapa menampilkan diri menolongnya?”

Dalam hati kawanan perompak itu mengiakan tapi mulut mereka bilang tidak.

“Benar tidak?” bentak Tok-gan-liong gusar.

Terpaksa anak buahnya mengiakan bersama dengan menunduk.

“Kalau kalian anggap Liong-lo-toa tidak tahu aturan, sok kuasa dan setenang-benang, maka kalian salah. Bahwa aku menolong nona ini, sudah tentu ada sebab dan alasannya.”

Sebelum orang bertanya ia sudah melanjutkan “Ingin aku tanya kalian, nenek keparat itu menggemaskan.”

“Kalau kita bawa nenek keparat itu pulang ke daratan, apa ada muka kita menghadap atasan? Umpama pemimpin kita tidak menyalahkan dan tidak menghukum kita tapi kejadian yang memalukan ini, kalau sampai tersiar luar apakah kapal kita masih dapat berlayar di lautan?”

Pidato Tok-gan-liong seperti mengorek isi hati mereka, semua mendesis geram dan mengertak gigi penuh kebencian, “Ya, tua bangka itu …”

“Kecuali memaki di belakangnya, apa yang bisa kalian lakukan?” jengek Tok-gan-liong.

Kawanan perompak saling pandang, semua lesu “Berkelahi kita buka tandingannya, adu mulut juga kalah.”

“Makanya, kalau kita kewalahan menghadapinya, kan pantas kalau kita cari bantuan orang,” seru Tok-gan-liong berapi-api.

“Mencari bantuan? Mencari siapa? Di tengah laut begini siapa dapat kita mintai bantuan?” kawanan perompak itu kehabisan akal.

Tok-gan-liong menuding Cui-Thian-ki, suaranya tegas, “Kita minta bantuan nona ini.”

“Dia? …Minta bantuannya? …” gempar kawanan perampok itu.

Leave a Comment »

No comments yet.

RSS feed for comments on this post. TrackBack URI

Leave a comment

Blog at WordPress.com.