Kumpulan Cerita Silat

14/12/2007

Ilmu Ulat Sutera (04)

Filed under: Ilmu Ulat Sutera — Tags: — ceritasilat @ 12:10 am

Ilmu Ulat Sutera (04)
Oleh Huang Ying

Rona wajah Tok-ku Bu-ti semakin merah, sedangkan wajah Ci Siong tojin semakin pucat ibarat selembar kertas. Lengan baju kedua orang itu telah basah oleh keringat. Gerakan tubuh keduanya sudah berhenti.

Meskipun wajah Ci Siong tojin pucat pasi, tapi tampaknya tidak mendapatkan luka apa-apa. Malah napas Tok-ku Bu-ti agak memburu. “Ci Siong, apakah pertarungan ini perlu dilanjutkan?” tanyanya.

“Tidak usah. Kalah ya kalah, menang ya menang,” sahut Ci Siong tojin dengan nada dingin.

Tok-ku Bu-ti menganggukkan kepalanya, “Baik.” Dia berjalan menuju gunung-gunungan tadi dan mencabut pedang Ci Siong tojin yang menancap di sana “Pedangmu ….”

Ci Siong tojin mengulurkan tangan menerima pedangnya. “To heng, harap hati-hati,” kata Tok-ku Bu-ti sambil melambaikan tangannya

Ci Siong tojin tidak menyahut. Dia memasukkan pedang ke dalam sarungnya lalu membalikkan tubuh menuruni gunung. Tubuhnya tetap tegak seperti semula.

Tok-ku Bu-ti memandangi Ci Siong tojin. Matanya tidak berkedip. Langkah kakinya agak lamban. Dia mengambil kembali tongkat kepala naganya lalu berdiri terpaku. Angin gunung bertiup semakin kencang, sinar matahari semakin terik.

*****

Di luar Lan-tian-bun. Di sana duduk menunggu Bok Ciok dan Ti Ciok. Juga ada beberapa anggota Bu-ti-bun seperti Kongsun Hong, Hu-hoat (bagian hukum), Cian-bin-hud (Budha seribu wajah), Han-ciang Tiau-siu (pemancing dari telaga Han-ciang) dan beberapa murid lainnya. Para murid Bu-ti-bun mengenakan pakaian serba hitam. Mereka berdiri tegak tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Mereka pasti sudah terlatih baik. Namun dari mimik wajah mereka tetap terlihat kepanikan dan kegugupan yang disembunyikan.

Awan berarak, kabut melayang. Mereka sama sekali tidak dapat melihat jalannya pertarungan hidup mati antara Ci Siong tojin dan Tok-ku Bu-ti. Hanya suara dentingan senjata dan teriakan yang terdengar sayup-sayup.

Sekarang suara-suara itu sudah lenyap. Sinar mata mereka semua terpusat pada jalan setapak di atas gunung tersebut. Waktu berlalu perlahan. Akhirnya mereka melihat bayangan seseorang menuruni gunung. Ci Siong tojin dari Bu-tong-pai!

Wajah Bok Ciok dan Ti Ciok berseri-seri seketika, sedangkan wajah para murid Bu-ti-bun berubah menjadi kelam. Alis Kongsun Hong bertaut erat, wajah Han-ciang Tiau-siu berubah seputih kertas. Hanya Cian-bin-hud seorang yang paling tenang.

Kongsun Hong yang melihat kedatangan Ci Siong tojin segera menggertakkan giginya. Hampir saja dia melabrak tosu tua itu kalau tidak dihalangi oleh Cian-bin-hud. Kongsun Hong menolehkan wajahnya kepada laki-laki itu. Cian-bin-hud hanya menggelengkan kepalanya, mimik wajahnya masih tenang.

Ci Siong tojin langsung menghampiri Bok Ciok dan Ti Ciok. Keduanya bagai baru tersadar dari mimpi buruk. Mereka segera bangkit menyambutnya.

“Suhu …!”

“Jalan!” Ci Siong hanya menyahut sepatah kata. Langkah kakinya tidak berhenti. Dia tergesa-gesa menuruni setengah undakan tangga batu sebanyak enam ribu tujuh ratus buah tadi.

Wajah Bok Ciok dan Ti Ciok menyorotkan sinar kebingungan. Namun mereka tidak berani bertanya apa-apa. Mereka melangkah mengiringi belakang Ci Siong tojin.

*****

Setelah menuruni undakan tangga tersebut, Bok Ciok memalingkan wajahnya. Lan-tian-bun seperti istana di langit yang dikelilingi awan putih. Bok Ciok tidak dapat menahan keinginan tahunya lagi. Baru saja ingin membuka mulut, dari atas gunung berkumandang suara yang menggelegar, “Ci Siong …!” Suara Tok-ku Bu-ti, “Aku memberimu waktu dua tahun. Apabila dalam waktu dua tahun tidak ada murid Bu-tong yang sanggup mengalahkan aku, maka dua tahun kemudian aku sendiri yang akan menuju Bu-tong-san dan membasmi Bu-tong-pai!”

Suara itu ibarat gendang yang bertalu-talu. Kumandang dan gemanya memenuhi seluruh Giok-hong-teng bahkan hutan di bawah sana. Mendengar ucapan itu, wajah Bok Ciok dan Ti Ciok segera berubah hebat. Ci Siong tojin memegangi dadanya sendiri, “oakkk!”, segumpal darah kental muntah dari mulutnya.

Batu-batu tangga tersebut merah oleh darah yang dimuntahkan tadi. Wajah Ci Siong tojin bahkan lebih pucat daripada selembar kertas. Bok Ciok dan Ti Ciok segera menghampiri dan memapahnya.

“Suhu …!”

“Jalan ….” suara Ci Siong demikian lemah.

Suara teriakan gembira berkumandang dari atas sana, gemuruhnya bagai petir yang menyambar di siang hari.

“Wie-tian-wei-toa, Ju-jit-fang-tiong (hanya langit yang paling besar, ibarat mentari bercahaya di tengah hari)!” Teriakan itu merupakan semboyan Bu-ti-bun. Mereka berulang-ulang menyerukan kata yang sama.

*****

Suara teriakan bergema sejauh puluhan li. Diiringi suara teriakan itu, Tok-ku Bu-ti mengendarai kuda menuju kantor pusat. Dia sudah berganti pakaian. Di tengah dadanya tersulam matahari berwarna merah keemasan. Dengan bangga dan angkuh dia melewati ruangan besar dan duduk di atas sebuah kursi yang tinggi yang ditutupi sehelai kulit harimau. Di sebelahnya terdapat sebuah lukisan yang bergambarkan seekor naga yang sedang mengamuk ketika badai menyerang.

Di tengah-tengah ruangan terhampar sebuah permadani berwarna merah yang memanjang sampai depan pintu. Di sebelah kiri dan kanan masing-masing terdapat dua buah kursi yang diduduki oleh empat orang Hu-hoat. Di belakang mereka berdiri tiga dan empat, tujuh orang tongcu dari berbagai bagian.

Di bawah Buncu dari Bu-ti-bun, terdapat empat orang Hu-hoat yang semuanya terdiri dari jago-jago kelas satu. Cian-bin-hud mempunyai keahlian dalam mengubah wajah. Dengan sebuah ruyung dia pernah menggetarkan lima propinsi di daerah utara. Kiu-bwe-hu (musang berekor sembilan) memang sesuai dengan namanya, orangnya licik dan otaknya penuh akal busuk. Dia adalah seorang Im-yang-jin (banci). Ban-tok-siang-ong (dewa selaksa racun) merupakan seorang ahli dalam bidang racun. Han-ciang Tiau-siu selalu menggunakan pancingan sebagai senjatanya. Sekali terkait, dia mampu melempar orang tersebut sejauh tiga depa dan tidak jarang membentur benda yang keras sehingga kepala lawannya hancur berantakan.

Keempat orang ini mempunyai keahlian masing-masing. Susah mengatakan siapa yang paling unggul di antara mereka. Namun yang pasti tidak mudah mengajak mereka bekerja sama, apa lagi bersedia menunduk dan menjadi Hu-hoat Bu-ti-bun. Dari hal ini saja, dapat dibayangkan besarnya pengaruh Tok-ku Bu-ti.

Selain empat orang Hu-hoat tadi, masih ada bagian luar dan dalam. Bagian luar terdiri dari Tancu (kepala cabang), Hiongcu (penasihat). Di mana-mana memang terdapat kantor cabang mereka. Pokoknya di dalam dunia kangouw, tidak ada perguruan atau pun partai lain yang dapat menandingi banyaknya anggota Bu-ti-bun. Apa lagi sekarang, dia bagaikan harimau tumbuh sayap. Wie-tian-wei-toa, Ju-jit-fang-tiong!

*****

Tok-ku Bu-ti duduk di atas kursi kebesaran. Tangannya mengibas satu kali. Suara seruan yang berkumandang dari dalam dan luar ruangan terhenti seketika. Salah satu dari Tongcu bagian luar segera menghadap.

“Lapor Buncu, hamba sudah menyuruh orang mengawasi perjalanan. Ci Siong tojin bertiga,” katanya.

“Seluruh jagoan yang berada di bawah ruangan bagianku, sudah siap bergerak. Begitu ada perintah, mereka akan segera turun tangan membunuh Ci Siong tojin dan kedua muridnya,” sambung Kongsun Hong.

Tok-ku Bu-ti hanya mendehem.

“Kek-tong-tongcu!” panggilnya.

“Hamba di sini.”

“Sebarkan Hiat-ciu-leng (panji tangan berdarah). Katakan pada seluruh anak murid Bu-ti-bun agar tidak boleh ada yang mengganggu perjalanan Ci Siong tojin dan kedua muridnya. Siapa yang melanggar akan mendapat hukuman berat,” katanya.

“Baik,” sahut Kek-tong Tong-cu. Meskipun demikian dalam hatinya merasa penasaran.

Bukan hanya dia saja, yang lainnya juga menampilkan wajah kebingungan. Kongsun Hong segera menghampiri ….

“Suhu ….”

“Aku tidak akan mengambil kesempatan orang sedang terluka,” kata Tok-ku Bu-ti.

“Buncu benar-benar berjiwa besar dan berhati lapang,” tukas Han-ciang Tiau-siu.

“Kalau tidak, bagaimana bisa disebut Bu-lim-pocu?” kata Ban-tok-siang-ong.

Tok-ku Bu-ti tertawa lebar mendengar pertanyaan anak buahnya.

“Lagi pula, dalam dua tahun ini aku berniat mengunci diri berlatih ilmu. Dalam waktu itu, tidak boleh ada murid Bu-ti-bun yang menerbitkan masalah,” katanya.

Seluruh murid dan anggota Bu-ti-bun segera mengiakan. Tok-ku Bu-ti masih tertawa lebar.

“Kalian boleh keluar. Masalah lainnya akan kita bahas kembali malam nanti,” katanya. Suara dan senyum Tok-ku Bu-ti tiba-tiba menjadi demikian datar. Siapa pun tidak dapat menduga apa yang direncanakannya dalam hati.

Namun para muridnya dapat menduga bahwa sekarang Buncu mereka ingin menyendiri. Semuanya mengundurkan diri kecuali Kongsun Hong. Dia berjalan ke samping Tok-ku Bu-ti. “Suhu …. Kau orang tua sering memuji tecu di depan saudara lainnya. Tecu merasa malu sekali. Sebetulnya banyak urusan yang tecu tidak pahami,” katanya.

Sinar mata Tok-ku Bu-ti beralih ke arah muridnya.

“Suhu tidak memujimu secara percuma. Paling tidak kau dapat mendengar nada suhu yang mengucapkan semuanya dengan terpaksa.”

“Tecu bersedia mendengarkan dengan seksama,” sahut Kongsun Hong.

“Dengan menggunakan Mit-kip-mo-kang aku berhasil melukai usus besar Ci Siong. Apabila dia berhasil menemukan obat mujarab, maka tidak akan sampai cacat. Sungguh bukan akhir yang gemilang dari suatu pertarungan. Oleh karena itu, aku sengaja menunjukkan rasa gembira. Sebenarnya aku juga mendapatkan sedikit luka dalam akibat pertarungan ini,” kata Tok-ku Bu-ti dengan suara berat.

Kongsun Hong terkejut mendengar keterangan itu.

“Suhu … kau ….”

“Tidak apa-apa. Asal beristirahat kurang lebih setengah atau satu bulan, pasti akan pulih kembali.”

“Si hidung kerbau (olok-olok jaman dulu untuk para pertapa) Ci Siong itu ….”

“Ilmunya sangat tinggi, pasti di luar dugaan kalian,” kata Tok-ku Bu-ti.

“Justru sekarang dia sedang mengalami luka parah, mengapa kita tidak mengejarnya ke Bu-tong-san dan membasmi partai itu sampai habis? Bukankah dengan demikian kita tidak meninggalkan bibit penyakit di kemudian hari?” sahut Kongsun Hong memberi saran.

“Suhu mempunyai perjanjian dengan Ci Siong tojin untuk bertarung setiap sepuluh tahun sekali. Selama tiga puluh tahun ini, aku sudah meraih tiga kali kemenangan. Dan aku tidak pernah bermaksud mengejarnya sampai ke Bu-tong-san dan membunuh mereka. Tahukah kau apa sebabnya?” tanya Tok-ku Bu-ti.

“Maafkan tecu yang bodoh.”

“Karena di atas Bu tong san masih ada seorang Yan Cong-tian. ”

“Yan Cong-tian? Dia ….”

“Dia adalah suheng dari Ci Siong tojin. Dua puluh tahun yang lalu sudah diakui sebagai jago nomor satu dari Bu-tong-pai. Sepengetahuanku, selama ini dia selalu bersembunyi di belakang Bu-tong-san dan berlatih keras untuk berhasil mempelajari Tian-can-kiat (perubahan ulat sutera),” kata Tok-ku Bu-ti.

“Tian-can-kiat?”

“Kalau kau tidak pelupa, tentu kau ingat apa yang pernah aku ceritakan. Beberapa generasi pendahulu Bu-ti-bun, justru selalu dikalahkan oleh Tian-can-sin-kang (tenaga sakti ulat sutera) dari Bu-tong-pai.”

Kongsun Hong menganggukkan kepalanya beberapa kali mendengar penjelasan itu. “Kalau begitu, Ci Siong ….”

“Tampaknya dia tidak berhasil mempelajari ilmu itu. Ilmu Tian-can-sin-kang merupakan suatu ilmu yang sangat tinggi. Tidak sembarang orang dapat menguasainya. Yan Cong-tian sudah berlatih keras selama dua puluh tahun, namun juga belum berhasil menguasai seluruhnya. Apalagi Ci Siong tojin.”

“Seandainya Yan Cong-tian masih ada di dunia ini, tampaknya usaha kita untuk menguasai bu-lim sulit menjadi kenyataan,” sahut Kongsun Hong.

“Itu hanya urusan dalam waktu dua tahun ini,” kata Tok-ku Bu-ti.

Tampaknya Kongsun Hong belum mengerti juga. Tok-ku Bu-ti terpaksa menjelaskan sekali lagi.

“Dua tahun kemudian, aku yakin Mit-kip-mo-kang yang aku pelajari akan mencapai tingkat sembilan. Dengan demikian aku berhasil mencapai rekor di mana para ketua pendahulu dari Bu-ti-bun belum pernah berhasil melakukannya. Pada waktu itu, Yan Cong-tian juga tidak akan luput dari kematian!” Begitu perkataannya selesai. Tok-ku Bu-ti menggebrak meja kecil di sampingnya.

“Brak!”, meja itu hancur menjadi keping-keping kecil.

Kongsun Hong seperti ingin mengucapkan sesuatu, namun Tok-ku Bu-ti sudah menukasnya, “Oh ya … dari lima orang tongcu bagian dalam, tadi aku hanya melihat empat orang. Ke mana perginya Tongcu dari Gin-hong-tong (ruangan merak perak)”

Kongsun Hong tampaknya serba salah.

“Dia ….”

“Masih marah?”

Kongsun Hong menganggukkan kepalanya. Tok-ku Bu-ti tertawa terbahak-bahak.

*****

Pintu tertutup rapat. Di atasnya terdapat lukisan seekor merak perak. Di bawah sinar matahari, lukisan itu tampak berkilau.

Baru saja tangan Tok-ku Bu-ti mendorong pintu tersebut, sebatang golok menyambut kedatangannya. Untung saja mata laki-laki itu sangat awas, tangannya pun sangat cekatan. Belum sempat mata menangkapnya dengan jelas, golok itu sudah tergenggam di tangannya.

“Sungguh-sungguh gerakan golok terbang yang sangat cepat!” Tok-ku Bu-ti tertawa lebar sambil melangkah ke dalam.

Di dalam ruangan hanya terdapat seorang gadis. Wajahnya cantik penampilannya gagah. Kesan yang ditampilkannya dingin dan angkuh. Kedua tangannya menimang-nimang tiga bilah golok terbang. Matanya menatap tajam ke arah Tok-ku Bu-ti. Bibirnya mencibir. Dia diam seribu bahasa.

Tok-ku Bu-ti terus menghampiri gadis itu.

“Hari ini seluruh anggota Bu-ti-bun mengucapkan selamat kepadaku. Mengapa hanya engkau, Tongcu dari Gin-hong-tong yang tidak hadir?” tanyanya tersenyum.

Gadis itu masih tidak menyahut.

“Kau masih marah kepada Tia (ayah)?” tanya Tok-ku Bu-ti kembali.

Gadis itu memang putri tunggal Tok-ku Bu-ti yang bernama Tok-ku Hong.

“Mana aku berani?” tangannya tetap memainkan ketiga bilah golok terbang tersebut. “Pertarungan toh sudah lewat. Siapa yang masih memikirkan urusan ini?”

Tok-ku Bu-ti memperhatikan putrinya dengan seksama. Akhirnya dia menarik napas panjang. “Tia tidak mengajakmu justru karena tidak yakin akan meraih kemenangan. Apabila Tia sampai kalah, mungkin akan terjadi sesuatu pada dirimu,” katanya.

Mendengar kata-kata Tok-ku Bu-ti itu rasa amarah dalam hati gadis itu sirna seketika. Dia meletakkan golok terbangnya di atas meja dan menghampiri Tok-ku Bu-ti serta merangkul bahunya mesra.

“Tia, apakah kau tidak mendapatkan luka apa-apa?” tanyanya khawatir.

“Hanya sedikit luka dalam, sama sekali tidak berbahaya,” sahut Tok-ku Bu-ti.

“Benar-benar tidak apa-apa?” tanya Tok-ku Hong.

“Apakah Tia pernah membohongimu?”

“Baiklah kalau begitu ….” tiba-tiba dia menarik lengan Tok-ku Bu-ti mengajaknya ke kursi tamu yang ada dalam ruangan tersebut. “Tia, duduklah.”

Tok-ku Bu-ti kebingungan.

“Ada apa?” tanyanya.

Tok-ku Hong hanya tersenyum. Dia menepuk kedua tangannya beberapa kali. Empat orang pelayan yang masih muda mengiakan dari luar dan masuk bersamaan. Di tangan mereka masing-masing membawa sebuah baki berisi berbagai hidangan.

Pertama-tama Tok-ku Bu-ti tertegun melihat semuanya, kemudian tertawa lebar. “Anak baik, rupanya kau sudah mempersiapkan segalanya untuk menyambut kepulangan Tia,” katanya dengan nada gembira.

Tok-ku Hong tersenyum-senyum. “Sejak semula aku sudah yakin bahwa Tia pasti tidak akan kalah,” katanya.

Tok-ku Bu-ti tertawa terbahak-bahak sampai sekian lama. Tok-ku Hong menuangkan arak ke dalam cawan dan mengangkat cawannya.

“Tia, cawan yang satu ini untuk merayakan kemenanganmu dan mudah-mudahan Tia dapat menghancurkan Bu-tong-pai,” katanya.

“Baik,” Tok-ku Bu-ti tersenyum. Dia mengeringkan isi cawannya sekaligus. Tiba-tiba sesuatu hal terlintas di benaknya. “Hong-ji (anak Hong), sejak kecil kau hanya merisaukan urusan bu-lim, apakah kau tidak pernah merisaukan hal lainnya?”

“Urusan lainnya? Urusan apa?”

“Umpamanya urusan seumur hidupmu nanti …”

Tok-ku Hong mengatupkan bibirnya erat-erat. Dia tidak menyahut.

“Kau sudah berusia delapan belas tahun, Mana boleh hanya mementingkan latihan ilmu silat saja? Anggota Bu-ti-bun demikian banyak ….”

Tok-ku Hong mencibirkan bibirnya, “Aku akan memandang mereka sebelah mata.” Kemudian tersenyum lembut, “Yang penting ada Tia yang menemani.”

Tok-ku Bu-ti ikut tersenyum. “Sayang sekali, dalam dua tahun ini, Tia tidak mempunyai kesempatan untuk menemanimu,” katanya.

Tok-ku Hong terkejut mendengar pernyataan itu.

“Mengapa?”

“Tia hanya ingin menutup diri selama dua tahun untuk berlatih ilmu.” sahut Tok-ku Bu-ti.

“Kalau begitu ….”

“Maka dari itu, kelak kau tidak boleh terlalu keras kepala.”

“Dengan mengandalkan ilmu yang aku miliki, tidak ada orang yang perlu aku takuti,” sahut Tok-ku Hong angkuh.

“Mulai lagi,” Tok-ku Bu-ti menggeleng-gelengkan kepalanya beberapa kali. Meskipun ilmu silatmu cukup tinggi, tapi pengalamanmu masih cetek. Aku takut kau dapat menimbulkan masalah. Oleh karena itu, aku sengaja meminta Kongsun Hong menjagamu baik-baik.”

Wajah Tok-ku Hong berubah menjadi murung seketika. Tampaknya tidak menaruh kesan baik terhadap Kongsun Hong. Sedangkan Tok-ku Bu-ti sama sekali tidak menyadari hal ini.

*****

Malam belum terlalu larut. Di dalam rumah terlihat penerangan. Baik penunggang maupun kudanya sendiri sudah lelah sekali. Ci Siong tojin, Bok Ciok dan Ti Ciok sampai kembali di rumah sepasang suami istri yang tua renta itu.

Wajah Ci Siong tojin pucat pasi. Dia memang sudah hampir tidak dapat mempertahankan diri. Ti Ciok segera turun dari kudanya.

“Suhu … kita bermalam di rumah ini saja,” katanya menyarankan.

Ci Siong tojin mengangguk lemah. Baru saja Ti Ciok bermaksud mengetuk pintu, terdengar suara, “krek”, pintu tersebut telah dibuka dari dalam. Kakek pemilik rumah itu menyembulkan kepalanya. Melihat kedatangan Ci Siong tojin bertiga, orang tua itu tertegun lalu menyurutkan kepalanya kembali.

Ti Ciok segera maju dan menahannya, “Lopek ini ….”

Kakek itu tampaknya serba salah, tidak tahu harus menyahut apa, malah sang nenek yang akhirnya keluar. Perempuan itu juga tertegun melihat mereka.

“Suhu kami mengalami luka parah, tidak bisa melanjutkan perjalanan, apa lagi malam sudah larut. Oleh karena itu, kami bermaksud merepotkan kalian orang tua barang satu malam saja,” kata Ti Ciok menjelaskan.

“Totiang bertiga, kami adalah orang miskin, tentu kalian memaklumi keadaan kami,” sahut kakek tersebut.

“Bicara sejujurnya saja, kami tidak berani menerima ketiga totiang. Begini saja … kami akan memasakkan sedikit bubur sekadar penangsal perut. Kalian bertiga istirahat dulu sejenak baru melanjutkan perjalanan. bagaimana?” tukas sang nenek.

Ti Ciok tampaknya keberatan, namun Bok Ciok segera menerima usul tersebut.

“Baiklah … kami terpaksa merepotkan kalian orang tua,” katanya.

Kakek pemilik rumah mengerling sekilas ke arah istrinya, kemudian menoleh kembali kepada Ci Siong tojin. Akhirnya dia membuka juga pintu rumah itu. Ti Ciok cepat-cepat memapah turun Ci Siong tojin dari kudanya.

*****

Rumah penduduk itu masih sama seperti sebelumnya, namun perasaan dalam hati sudah berbeda jauh. Sepasang suami istri itu sama sekali tidak tahu siapa adanya Ci Siong tojin dan kedua muridnya itu, mereka langsung menyibukkan diri di dapur.

Ci Siong tojin menyandarkan diri pada sebuah kursi, matanya setengah terpejam. Ti Ciok dan Bok Ciok berdiri di sampingnya. Tiba-tiba Ci Siong tojin membuka matanya.

“Suhu, ada apa?” tanya Bok Ciok panik.

Ci Siong tojin menarik napas dalam-dalam, “Istirahat sebentar tentu akan lebih baik,” sahutnya. Belum lagi suara itu hilang, terdengar dengusan dingin sebanyak dua kali. Asalnya dari dapur. Wajah Ci Siong tojin berubah hebat. Dia langsung berdiri. Ti Ciok segera memapahnya.

“Bok Ciok, kau jaga Suhu … aku akan lihat ke sana,” kata Ti Ciok.

Ci Siong mengajak Bok Ciok menyusul ke belakang.

*****

Bubur sudah meluap, suaranya bergelembung-gelembung. Namun perasaan suami istri itu tidak dapat lagi bersuara. Mereka sudah menjadi orang mati. Darah mengalir deras dari tenggorokan mereka. Persis seperti ayam yang baru disembelih. Di leher mereka ada sebuah lubang yang menganga. Ti Ciok sudah menghunus pedangnya. Dia langsung menerjang ke dalam. Melihat kematian pasangan suami istri tersebut, dia menjadi tertegun.

Ci Siong tojin dan Bok Ciok menyusul. Mata Bok Ciok beredar ke sekitar tempat itu. Tiba-tiba dia menjerit terkesiap.

“Suhu! Lihat!” teriaknya.

Ci Siong mengikuti arah telunjuk muridnya. Di atas tembok di ujung ruangan terpantek sehelai kain lebar seperti bendera. Di tengahnya terdapat sebuah cap bergambar telapak darah.

“Panji telapak darah!” gumam Ci Siong tojin. Tubuhnya langsung bergetar.

“Bukankah ini lambang yang selalu digunakan oleh Bu-ti-bun?” tanya Ti Ciok.

Ci Siong tojin menganggukkan kepalanya. Wajahnya kelam. Tangannya dikepalkan. Kukunya sampai memutih.

*****

Malam hari ….

Pada saat ini usaha Cui-sian-lou (gedung dewa mabuk) paling laris. Suara bising memenuhi seluruh ruangan depan. Tapi ketika Ci Siong tojin dan kedua muridnya melangkah masuk, suara-suara itu surut seketika.

Setiap tamu yang berada di dalam Cui-sian-lou memandang mereka dengan heran. Ti Ciok tidak mempedulikan pandangan mereka. Dia langsung menuju meja kasir. Lao-pan (majikan) pemilik Cui-sian-lou menatapnya dengan curiga.

“Sam-wi, di sana ada tempat duduk yang kosong,” katanya.

“Kami bermaksud menginap,” sahut Ti Ciok.

“Oh … selamat datang!” Lao-pan itu membuka buku catatannya. “Numpang tanya ….”

“Kami dari Bu-tong-pai,” kata Ti Ciok menjelaskan.

Belum lagi kata-katanya selesai, “plak!”, Lao-pan itu cepat-cepat menutup kembali buku catatannya. Wajahnya tampak cemas.

“Tempat kami sudah penuh, harap sam-wi tanya tempat lain saja,” katanya gugup.

Ti Ciok tertawa dingin. “Kami tidak menginap dengan cuma-cuma,” sahutnya kesal.

Lao-pan tersebut memaksakan seulas senyuman di bibirnya. “Tempat kami benar-benar sudah penuh,” katanya.

Baru saja ucapannya selesai, dari luar terdengar suara derap langkah yang bisik. Seorang laki-laki berpakaian hitam mendatangi dengan menunggang seekor kuda. Dia mengeluarkan sehelai kain putih. Kudanya sama sekali tidak berhenti sambil melintas di depan Cui-sian-lou membidikkan panah.

“Crep!”, panah tersebut terikat dengan kain tadi. Meleset tepat ke arah tembok di tengah ruangan. Kain itu langsung terbentang. Di atasnya tertera sebuah telapak darah!

Tamu-tamu di dalam ruangan itu segera menolehkan kepalanya serentak. Wajah mereka segera berubah hebat. Tanpa mengatakan sepatah pun antara satu dan lainnya, beramai-ramai mereka mendorong kursi dan meja secara serabutan dan melarikan diri dari dalam ruangan tersebut. Dalam jangka waktu tidak lama, ruangan itu sudah hampir kosong. Hanya tersisa satu orang yang masih duduk dengan tenang.

Dia adalah seorang pemuda berpakaian mewah. Pasti dari turunan hartawan. Dia hanya meletakkan cawan di atas meja dan menoleh ke arah Ci Siong tojin. Wajahnya tampan sekali. Dalam keadaan kacau balau seperti itu, penampilannya masih tetap demikian tenang dan mantap.

Pemilik Cui-sian-lou saat itu sedang berteriak-teriak dengan panik, “Hei! Kalian belum bayar! Mana boleh pergi begitu saja?”

Dia sama sekali tidak bisa mengadang tamu-tamunya yang melarikan diri kalang kabut. Dia hanya dapat berteriak-teriak sekenanya. Namun apa gunanya? Sama sekali tidak ada yang menghentikan langkah dan mendengar ocehannya. Akhirnya dia menengok ke arah Ci Siong tojin, tapi tidak berani mengatakan apa-apa. Wajahnya kelam.

“Kali ini aku benar-benar disusahkan oleh kalian murid-murid Bu-tong-pai,” gumamnya seorang diri.

Ci Siong tojin tidak tahu harus berbuat apa. Wajah Bok Ciok dan Ti Ciok pucat pasi. Melihat kediaman ketiga orang itu, pemilik tempat itu menjadi agak berani. “Coba kalian lihat … apa yang harus aku lakukan?” teriaknya kesal.

“Cang-lao-pan, buat apa kau demikian panik?” terdengar sebuah suara menyahut dari belakangnya.

Laki-laki itu menolehkan kepalanya. Baru saja dia bermaksud marah-marah, namun ketika melihat bahwa anak muda yang perlente tadi yang mengucapkan kata-kata itu dia mengurungkan niatnya.

“Fu-kongcu, tamu-tamu itu semuanya mearikan diri. Habislah aku berikut modalku sekalian,” katanya sambil tertawa getir.

Anak muda yang dipanggil Fu-kongcu itu tersenyum datar. “Biar aku yang mengganti semua kerugian,” katanya sambil mengeluarkan setumpuk uang perak di atas meja.

Cang-lao-pan menerimanya dengan malu-malu, “Fu-kongcu, mana enak aku menerimanya?”

“Soal kecil, tidak usah dipikirkan,” kata Fu-kongcu sambil mendorong kembali uang perak yang pura-pura ditolak oleh Cang-lao-pan.

Laki-laki itu segera menggenggam uang perak itu erat-erat. Seakan takut kehilangan uang sebanyak itu.

“Tolong kau layani ketiga totiang ini,” kata Fu-kongcu kembali.

Wajahnya segera mengesankan keadaan yang salah tingkah, “Fu-kongcu ….”

“Apakah uangnya masih belum cukup?” tanya Fu-kongcu.

“Bukan ….” mata Cang-lao-pan beralih ke arah gambar telapak tangan yang tertera di atas kain putih, “Pahit getirnya kami yang membuka usaha seperti ini, tentu Fu-kongcu mengerti sendiri.”

Mendengar percakapan mereka, Ci Siong tojin segera menukas, “Maksud baik-kongcu, kami guru dan murid merasa berterima kasih sekali.” Dia menoleh ke arah kedua muridnya, “Ti Ciok, Bok Ciok, mari kita pergi.” katanya.

Ti Ciok dan Bok Ciok memapah Ci Siong tojin dan melangkah pergi.

“Sam-wi totiang, tunggu dulu!” cegah Fu-kongcu sambil mengejar keluar pintu.

Ci Siong tojin menghentikan langkah kakinya. Perlahan dia membalikkan tubuh, “Entah apa maksud-kongcu ….”

“Totiang, aku lihat totiang sedang sakit, lebih baik istirahat di rumahku saja,” kata Fu-kongcu menawarkan jasanya.

Ci Siong tojin tertegun sejenak.

“Fu-kongcu, apakah kau tidak melihat tanda telapak darah itu?” tanya Ti Ciok.

“Aku tahu,” sahut Fu-kongcu sambil menganggukkan kepalanya. “Itu adalah lambang Bu-ti-bun.”

“Apakah kongcu tidak takut terhadap Bu-ti-bun?”

“Almarhum ayahku adalah pejabat tinggi kerajaan. Rumahku tidak jauh dari sini. Keluarga kami cukup berpengaruh. Aku yakin Bu-ti-bun tidak berani bertindak sembrono sampai mendatangi rumah keluarga kami,” katanya.

Ti Ciok dan Bok Ciok menganggukkan kepalanya beberapa kali mendengar keterangan itu. Pantas saja anak muda tersebut demikian tenang meskipun melihat gambar telapak darah.

“Fu-kongcu …” panggil Ci Siong tojin.

“Cayhe bernama Fu Giok-su. Totiang jangan banyak adat. Panggil saja namaku. Cayhe masih belum tahu gelar totiang bertiga,” sahut anak muda tersebut.

“Pinto Ci Siong ….”

“Suhu adalah Ciangbunjin Bu-tong-pai,” tukas Ti Ciok.

Fu Giok-su melongo sejenak. Kemudian wajahnya berseri-seri. “Rupanya tokoh yang selalu disanjung tinggi, Ci Siong tojin adanya. Maafkan kelancangan cayhe yang sudah bersikap kurang sopan,” katanya sambil menjura dalam-dalam.

“Jangan sungkan dan banyak adat,” sahut Ci Siong tojin. Tanpa dapat ditahan lagi orang tua itu terbatuk-batuk.

Fu Giok-su memperhatikan Ci Siong tojin dengan seksama. “Tampaknya penyakit yang diderita totiang tidak ringan. Lebih baik selekasnya memeriksakan diri ke tabib,” katanya menyarankan.

Ci Siong tojin tertawa datar. “Hidup dan mati adalah takdir Thian,” sahutnya sendu.

“Di dekat sini ada seorang tabib sakti bernama Mok Put-ciu ….”

Bok Ciok terpana mendengar perkataannya. “Apakah Mok Put-ciu yang mendapat julukan It-tiap-hue-cun (satu resep kembali hidup)” tanyanya dengan nada gembira.

“Tidak salah. Coba periksakan diri di sana. Pasti dia mempunyai obat mujarab yang akan memulihkan penyakit totiang,” sahut Fu Giok-su.

Ci Siong tojin hanya tertawa getir.

*****

Tempat praktik Mok Put-ciu terletak di sebelah timur kota. Adanya di samping sebuah sungai kecil. Kalau dilihat dari luar, tempat itu sudah agak reyot. Papan mereknya bergelantungan tertiup angin dan tampaknya sebentar lagi copot. Ti Ciok memicingkan matanya melihat keadaan tempat itu. “Rasanya usaha tabib sakti ini kurang laris,” katanya tanpa sadar.

Fu Giok-su tertawa lebar, “Tabib Mok orang yang berhati luhur. Setiap kali mengobati orang miskin, bukan saja tidak menerima bayaran malah memberikan obatnya sekalian dengan percuma. Maka dari itu, mana mungkin dia mempunyai banyak uang untuk memperbaiki rumahnya ini?” sahutnya menjelaskan.

Wajah Ti Ciok merah padam mendengar keterangan itu. Dia segera mengalihkan pokok pembicaraan, “Apakah Fu-kongcu mempunyai hubungan yang baik dengan tabib Mok?”

Fu Giok-su menggelengkan kepalanya, “Sejak kecil aku belajar ilmu silat. Tubuhku menjadi sehat. Tapi para pembantu di rumah sering meminta pertolongan tabib Mok apabila ada keluarga mereka yang sakit.”

“Ternyata Fu-kongcu juga mengerti ilmu silat. Entah aliran partai mana yang dipelajari oleh Fu-kongcu?”

“Aku tidak memilih-milih. Setiap aliran aku pelajari,” sahut Fu Giok-su.

“Mana boleh begitu?” tanya Ti Ciok heran.

“Ilmu silat cayhe diajarkan oleh para pengawal di rumah. Mereka terdiri dari murid berbagai partai di bu-lim.”

“Oh … rupanya begitu.”

Pada saat itu, mereka sudah masuk ke dalam ruangan praktik tabib Mok. Sejak masuk halaman tadi, mereka tidak bertemu dengan satu orang pun. Fu Giok-su merasa heran melihat keadaan itu.

“Menurut para pelayan di rumah, usaha tabib Mok selalu ramai. Mengapa hari ini tidak terlihat seorang pasien pun?” tanyanya dengan mimik curiga.

“Kan tidak tiap hari ada orang sakit. Malah kebetulan, dengan demikian Suhu tak usah menunggu lama-lama,” sahut Ti Ciok.

Ketika Ti Ciok berbicara, kaki mereka sudah melangkah ke dalam sebuah pendopo kecil. Di depannya ada beberapa undakan tangga. Pintu pendopo tersebut setengah terbuka. Ti Ciok mengendus-endus dengan hidungnya. “Hm … bau amis darah …” katanya.

Wajah Fu Giok-su segera berubah. Dia bersama Ti Ciok segera masuk ke dalam. Begitu pintu didorong, Ci Siong tojin ikut masuk sambil dipapah oleh Bok Ciok. Mereka belum pernah menemui masalah dengan indera penciuman. Apa yang diduga oleh Ti Ciok memang benar. Bau amis darah semakin menusuk hidung ketika mereka masuk ke dalam. Di dalam pendopo itu terdapat belasan mayat. Ditilik dari pakaiannya, mereka pasti penduduk desa yang miskin.

Ternyata Mok Put-ciu memang orang yang berhati mulia. Dari para pasien yang mengunjunginya hari ini, dapat dibuktikan bahwa apa yang dikatakan Fu Giok-su memang kenyataan. Tapi dia tidak bisa menolong orang-orang itu lagi. Mereka sudah menjadi orang mati.

Mok Put-ciu sendiri juga sudah menjadi sesosok mayat. Dia telentang di depan sebuah dipan yang pasti biasa digunakan untuk memeriksa pasien. Tangan kanannya masih memijit urat nadi seseorang. Matanya mendelik. Jenggotnya yang putih sudah bersimbah darah. Lehernya hampir putus oleh tebasan pedang. Tangan kirinya bertumpu pada dipan. Dia menggenggam sehelai kain putih yang atasnya terdapat gambar telapak tangan berdarah!

“Telapak tangan darah!” Ti Ciok menggertakkan giginya.

Tampaknya Fu Giok-su terkejut sehingga terpana. Bok Ciok juga termangu-mangu. Melihat begitu banyaknya mayat yang berserakan, wajahnya berubah hebat. Wajah Ci Siong tojin lebih kelam lagi. Napasnya tersengal-sengal Seluruh tubuhnya gemetar.

“Tok … ku Bu-ti … kau benar-benar terlalu menghina!” serunya menahan amarah. Suaranya bergetar. Langkahnya terhuyung-huyung, kemudian segumpal darah kental muncrat dari mulutnya. Matanya berkunang-kunang. Sejenak kemudian tidak ingat apa-apa lagi.

Ti Ciok dan Bok Ciok segera memapahnya, Mereka menjadi kelabakan.

*****

Senja mulai tenggelam. Malam hampir menjelang.

Di dalam gedung keluarga Fu terlihat berbagai penerangan sudah mulai dinyalakan. Cahaya memijar bagai lukisan putih. Beberapa orang pengawal bersama para penjaga mondar-mandir di halaman depan.

Di dalam ruangan yang besar terlihat berbagai macam barang antik yang dipajang. Juga terdapat beberapa lukisan karya pelukis tenar. Permadani yang terhampar tebal dan lembut. Ditilik dari keadaannya, pemilik rumah ini pasti kaya sekali.

Para pengawal dan penjaga tampaknya belum tahu apa yang telah terjadi. Tampang mereka tenang saja, gaya mereka juga amat santai. Sebentar-sebentar mereka saling menyapa satu dan lainnya. Mereka melangkah mondar-mandir dengan dada dibusungkan, seakan bangga sekali dengan kedudukannya.

Mereka mengira tugas mereka hanya menjaga jangan sampai ada maling kecil atau perampok kelas teri masuk ke dalam gedung. Seandainya mereka tahu bahwa yang mereka hadapi kali ini adalah orang-orang dari Bu-ti-bun, pasti penampilan mereka tidak akan demikian tenang dan santai.

Fu Giok-su sendiri tidak mengatakan apa-apa, tampaknya memandang sebelah mata pada ancaman Bu-ti-bun.

*****

Di dalam kamar tamu, Ci Siong tojin masih belum sadar. Ti Ciok dan Bok Ciok menunggu di sampingnya. Hati mereka cemas memikirkan keadaan suhu mereka yang tampak mengalami luka parah.

Kamar tamu itu mewah sekali. Hidangan yang tersedia juga tergolong kelas satu. Namun Ti Ciok dan Bok Ciok sama sekali tidak berselera. Mata mereka sama terpusat pada diri Ci Siong tojin. Fu Giok-su juga mondar-mandir saja di dalam kamar itu. Kecemasan dan ketegangannya sama sekali tidak di bawah Ti Ciok dan Bok Ciok berdua.

Ti Ciok mencoba menyalurkan tenaga dalamnya untuk menyadarkan Ci Siong tojin, tapi tampaknya orang tua itu sama sekali tidak merasakannya. Keringat sebesar kacang kedelai menetes di kening Ti Ciok. Akhirnya dia menghentikan usahanya. Fu Giok-su melihat Ti Ciok menarik napas panjang. Sedangkan wajah Bok Ciok semakin kelam.

“Liongwi juga tidak perlu khawatir. Suhu kalian memiliki tenaga dalam yang sangat tinggi. Asalkan beristirahat di sini beberapa hari, pasti akan pulih kembali,” kata Fu Giok-su menghibur.

“Kami terpaksa merepotkan sicu (saudara),” sahut Bok Ciok.

“Kalian selalu terlalu sungkan,” belum sempat Fu Giok-su melanjutkan kata-katanya, dari depan pintu terdengar kumandang suara, “Hujin (nyonya) datang!”

Fu Giok-su tergesa-gesa membukakan pintu. Seorang wanita setengah baya berwajah anggun diiringi dua orang dayang melangkah ke dalam.

“Ibu …” sapa Fu Giok-su.

Wanita setengah baya itu menatap Fu Giok-su dengan mimik cemas dan tegang. “Giok-su, kau memerintahkan para penjaga dan pengawal mengawasi rumah ini dengan ketat. Sebetulnya apa yang telah terjadi?”

“lbu tidak perlu khawatir. Anak hanya menjaga segala kemungkinan,” sahut Fu Giok-su lirih.

Mata wanita setengah baya tersebut beralih ke Ci Siong tojin dan kedua muridnya, “Ketiga orang ini ….”

“Mereka adalah totiang Bu-tong-pai. Sedangkan ibu tahu sendiri, Bu-tong-pai adalah partai lurus yang selalu membela kebenaran. Mereka adalah orang baik-baik,” sahut Fu Giok-su menjelaskan.

Wanita setengah baya itu berjalan menghampiri tempat di mana Ci Siong tojin sedang terbaring. Dia memperhatikannya dengan seksama. “Apakah Totiang tua ini sedang sakit?” tanyanya.

Ti Ciok dan Bok Ciok segera merangkapkan sepasang tangannya.

“Betul, itulah sebabnya anak memaksa mereka tinggal di sini sementara,” kata Fu Giok-su.

“Giok-su, apakah kau tidak menyuruh pembantu memanggilkan tabib untuk memeriksanya?” tanya wanita itu cemas.

“Penyakitnya cukup parah, tabib biasa mungkin tidak sanggup mengobatinya,” sahut Fu Giok-su pilu.

“Bukankah di daerah sini ada seorang tabib sakti yang bernama It-tiap-hue ….”

“Anak sudah memerintahkan orang kita untuk memanggil tabib Mok itu,” sahut Fu Giok-su menutupi keadaan yang sebenarnya.

“Menolong orang akan mendapatkan pahala besar dari Thian yang kuasa. Giok-su kau harus memperhatikan keselamatan totiang ini baik-baik,” kata wanita setengah baya itu.

“Anak mengerti.”

Ti Ciok dan Bok Ciok segera maju ke depan dan merangkapkan sepasang tangan mereka, “Sicu berbudi besar dan berhati mulia. Kami guru dan murid tidak akan lupa untuk selamanya.”

“Liongwi totiang tidak perlu banyak adat,” Wanita setengah baya itu membalikkan tubuhnya dan memberi perintah, “Giok-su, kau layani ketiga tamu ini baik-baik.”

“Baik,” sahut Fu Giok-su sambil membungkuk hormat.

Wanita setengah baya itu rupanya mempunyai hati yang sangat baik. Dia masih berpesan beberapa kali, baru membalikkan tubuh meninggalkan tempat itu. Kedua dayangnya mengikuti dari belakang. Fu Giok-su mengantarkan sampai di depan pintu.

Dia mengantarkan kepergian ibunya dengan pandangan mata. Baru saja berniat masuk kembali ke kamar, seorang tukang kebun melewati pintu taman dan menerobos masuk dengan tergesa-gesa.

Orang itu berlari dengan napas tersengal-sengal. Dia berhenti di depan Fu Giok-su dengan wajah pucat pasi. “Kongcu…!” panggilnya.

“Bagaimana keadaan di luar?” tanya Fu Giok-su.

“Di luar tidak terlihat tanda-tanda yang mencurigakan. Namun suasana sepertinya sangat mengerikan,” sahut tukang kebun itu.

“Tidak apa-apa. Kau istirahatlah sejenak. Nanti katakan pada Tio-busu (pengawal) untuk berjaga dengan ketat,” kata Fu Giok-su.

“Siaujin (hamba) tahu,” sahut tukang kebun itu sambil membalikkan tubuh dan bersiap-siap meninggalkan tempat tersebut.

“Tunggu dulu!” teriak Fu Giok-su. “Apakah kongcu masih ada perintah lainnya?” tanya tukang kebun itu.

“Apakah tadi ada orang yang berjalan melewatimu?” tanya Fu Giok-su.

“Tidak ada. Pertanyaan kongcu ini ….”

“Lalu dari mana datangnya tanda telapak darah di punggungmu itu?” tanya Fu Giok-su dengan mata mendelik.

“Telapak tangan darah?” tukang kebun itu terkejut sekali. Dia bermaksud menolehkan kepalanya ke belakang untuk melihat. Tentu saja tidak bisa. Tapi Fu Giok-su melihatnya dengan jelas. Di bagian punggung orang itu tertera sebuah telapak tangan darah yang nyata sekali.

Mata Fu Giok-su mengerling sekilas. “Kau jangan panik. Pulanglah ke kamarmu ganti pakaian. Ingat! Jangan katakan pada siapa pun mengenai masalah ini. Apa lagi kepada ketiga orang totiang itu. Suruh para pengawal lebih ketat lagi. Jangan teledor!” perintah Fu Giok-su.

“Siaujin mengerti.”

“Cepat pergi!” Fu Giok-su menolehkan kepalanya. Pintu kamar tamu masih tertutup. Tak ada seorang pun. Cepat-cepat dia menggebah tukang kebun itu sebelum ada orang yang melihatnya.

Tanpa setahunya, percakapan antara dirinya dengan tukang kebun itu telah terdengar oleh Ti Ciok dan Bok Ciok. Mereka saling memandang dengan cemas.

“Suheng … apa yang harus kita lakukan sekarang?” tanya Bok Ciok dengan suara rendah.

Ti Ciok mengerutkan keningnya. “Suhu masih belum sadar juga. Apabila kita menggendongnya, aku takut lukanya akan semakin parah,” sahutnya ragu.

Dia menarik napas panjang. Pada saat itu Fu Giok-su masuk ke dalam kamar. Melihat tampang kedua orang itu, dia cemas sekali. Dikiranya telah terjadi sesuatu pada Ci Siong tojin.

“Liongwi totiang, Suhu kalian ….”

“Suhu masih belum sadar juga.”

“Fu-sicu, kali ini kami telah melibatkan keluarga ….”

“Totiang ….”

“Munculnya telapak tangan darah di punggung anak buah sicu sudah kami ketahui.”

Wajah Fu Giok-su menampilkan kecemasan. “Jangan sampai suhu kalian tahu. Lukanya cukup parah. Jangan sampai terkejut mendengar berita ini,” katanya.

“Tapi ….”

“Sekarang aku akan memerintahkan anak buahku melapor ke kantor gubernur. Aku tidak percaya Bu-ti-bun berani menyerbu rumahku,” kata Fu Giok-su sambil menghambur ke luar dari kamar tersebut.

Mata Bok Ciok memandangi kepergian Fu Giok-su. “Sungguh seorang pemuda berhati luhur,” pujinya.

“Kita harus mengambil keputusan yang bijaksana,” kata Ti Ciok.

“Tunggu sampai Suhu sadar baru kita renungkan masalah ini,” sahut Bok Ciok.

Malam mulai larut. Akhirnya Ci Siong tojin sadar juga. Dia berusaha bangkit, Ti Ciok dan Bok Ciok segera mengulurkan tangan membantu. Ci Siong mengedarkan pandangan ke sekeliling kamar tersebut. “Di mana kita sekarang?” tanyanya dengan suara serak.

“Ini rumah Fu-kongcu. Suhu sedang beristirahat di kamar tamunya,” sahut Ti Ciok.

“Anak muda ini benar-benar berhati tulus,” kata Ci Siong tojin sambil menghela napas.

Ti Ciok tertawa getir, “Seisi rumah ini sangat ramah. Justru demikian maka tecu khawatir ….”

“Apa yang terjadi?” tanya Ci Siong tojin yang segera merasakan nada suara cemas dari Ti Ciok.

“Ti … dak … tidak … apa-apa,” sahut Ti Ciok gugup.

“Bilang!” bentak Ci Siong tojin.

“Telapak tangan darah sudah muncul di rumah ini,” sahut Ti Ciok terpaksa.

Wajah Ci Siong tojin berubah hebat. Dia menggebrak meja di samping tempat tidur, “Hm … Tok-ku Bu-ti …!”

Karena hawa amarah meluap, Ci Siong tojin sampai terbatuk-batuk. Bok Ciok menarik napas panjang. “Suhu, perhatikan kesehatanmu sendiri,” katanya dengan nada pilu.

“Apa yang harus kita lakukan sekarang?” tanya Ti Ciok kebingungan.

“Meninggalkan tempat ini secepatnya!” kata Ci Siong tojin dengan hati mantap.

*****

Para pelayan dan pekerja keluarga Fu sudah menyelesaikan tugas masing-masing. Mereka sedang bersantai mengobrol dengan berkerumun. Tampaknya Fu Giok-su pandai sekali menutupi keadaan yang sebenarnya. Juga hanya dia yang tampak tegang dan cemas.

Meskipun keluarga Fu sangat terhormat dan berada. Rupanya hubungan antara majikan dan bawahan sangat akrab. Suasana di rumah itu hangat sekali. Oleh karena itu, niat untuk meninggalkan keluarga Fu sebelum terjadi sesuatu semakin mantap di hati Ci Siong tojin.

Melihat ketiga orang itu, Fu Giok-su segera menghampiri. “Mengapa locianpwe tidak beristirahat saja. Cayhe sudah memerintahkan pelayan menyiapkan hidangan dan akan diantarkan ke kamar,” katanya.

Ci Siong tojin menggelengkan kepalanya. “Maksud pinto menemui kongcu justru untuk memohon diri,” sahutnya.

Fu Giok-su terpana, ” Oh …?”

Fu-hujin segera bangkit dan berjalan ke arah mereka. “Totiang …. kau sedang sakit. Lebih baik jangan banyak bergerak …” katanya.

Ci Siong tojin merangkapkan sepasang tangannya, “Maksud baik Hujin hanya dapat pinto kenang dalam hati.”

“Locianpwe …”` panggil Fu Giok-su dengan nada cemas.

“Masalah telapak tangan darah, pinto sudah tahu,” kata Ci Siong tojin.

Fu-hujin menoleh kepada putranya dengan mata keheranan. “Telapak tangan darah apa?” tanyanya.

“Ibu, itu hanya mainan orang iseng. Tidak usah dipedulikan” Fu Giok-su memalingkan wajahnya kepada Ci Siong tojin. “Locianpwe tidak usah khawatir ….”

Ci Siong tojin menggelengkan kepalanya. “Hati sicu baik sekali. Pinto justru semakin bertekad untuk meninggalkan rumah ini,” katanya.

“Locianpwe, kau tidak usah mempedulikan orang-orang itu. Kalau mereka berani menyerang rumah ini, maka aku, Fu Giok-su yang pertama-tama akan melawan mereka!” sahut anak muda itu penuh semangat.

Ci Siong tojin memandangnya dengan rasa berterima kasih, “Bagaimana kejinya orang-orang Bu-ti-bun, mungkin sicu masih belum tahu. Tapi pinto mengetahui dengan jelas. Keputusan kami untuk pergi sudah bulat. Sicu jangan menghalangi lagi.”

Fu Giok terdiam mendengar perkataannya. Tiba-tiba terdengar suara “Tang! Tang! Tang!”, tiga kali berturut-turut. Kemudian disusul dengan kumandangnya bentakan, “Dentang kematian telah berbunyi tiga kali, binatang pun tidak akan dibiarkan hidup!”

Wajah Ci Siong tojin berubah hebat. Matanya segera memalingkan ke arah pintu depan. Tampak tiga helai bendera berkibaran di atas tembok. Suara tadi menyeramkan sekali. Seperti ratapan hantu gentayangan. Tiga helai bendera itu memantulkan sinar menakutkan disorot oleh cahaya rembulan.

Sinar lentera yang redup membuat pemandangan semakin mengerikan. Fu-hujin dapat merasakan sesuatu yang tidak beres. Dia segera menarik tangan Fu Giok-su. “Apa artinya semua ini?” tanyanya khawatir.

“Tadi itu merupakan lambang Bu-ti-bun. Mereka sudah siap menyerang gedung ini dan membersihkan seluruh penghuninya dengan darah,” kata Ti Ciok menjawab pertanyaan itu.

Fu-hujin semakin cemas. Wajahnya tegang. “Giok-su … Giok-su … ini … bagaimana baiknya sekarang?” tanyanya panik.

“Kita bisa melarikan diri lewat ruang rahasia!” teriak Fu Giok-su.

“Ruang rahasia?” Ci Siong tojin memandangnya dengan tatapan tidak mengerti.

“Kakek cayhe dulu adalah seorang pengawal istana. Beliau membangun sebuah ruang rahasia untuk melarikan diri di saat genting. Tempat itu menembus sebuah kamar bawah tanah dan kita bisa melarikan diri lewat tempat itu. Ada sebuah jalan yang menembus taman di belakang rumah,” kata Fu Giok-su menjelaskan.

Ci Siong masih merenungkan saran itu. Seorang pengawal menghambur masuk ke dalam ruangan tersebut. “Kongcu, di halaman bermunculan banyak orang berpakaian hitam. Melihat keadaan, kemungkinan kita sudah terkepung rapat,” katanya gugup.

“Kami sudah tahu,” sahut Fu Giok-su dengan wajah kelam.

“Kongcu … kami ….” suara dan tubuh pengawal itu bergetar. Tampangnya sudah tidak segagah semula.

Mereka terdiri dari orang-orang kangouw. Melihat ketiga helai bendera yang berkibar di depan rumah dan mendengar suara ancaman tadi, mereka segera sadar apa yang telah terjadi. Tentu mereka juga mengerti bagaimana kejinya orang-orang Bu-ti-bun.

“Perintahkan yang lain agar jangan keluar. Tutup pintu rapat-rapat. Jangan sampai musuh menerjang ke dalam rumah!” kata Fu Giok-su,

Pengawal itu mengiakan dan mengundurkan diri dengan tergesa-gesa. Pada saat itu, wajah setiap orang yang ada dalam ruangan itu berubah tegang.

“Cep! Cep! Cep!”, terdengar desingan sebanyak tiga kali. Lentera yang tergantung di luar rumah pecah seketika. Api memercik bagai petasan yang disulut.

Ci Siong tojin menarik napas panjang. “Sudah terlambat,” dia mengeluh.

“Kalau begitu, kita harus segera bergerak menuju ruang rahasia,” kata Fu Giok-su menyarankan.

Ci Siong tojin menggelengkan kepalanya.

“Tidak ada gunanya. Orang-orang Bu-ti-bun sudah mengepung seluruh bangunan ini. Meskipun ada ruang rahasia yang dapat menembus taman belakang, namun kita tetap tidak bisa melepaskan diri dari kejaran orang-orang mereka. Kecuali ….”

“Kecuali apa?”

“Satu-satunya jalan adalah membawa keluargamu melarikan diri lewat ruang rahasia tersebut. Pinto bertiga akan menerjang lewat pintu depan untuk mengalihkan perhatian mereka,” kata Ci Siong tojin.

“Locianpwe ….” tampaknya Fu Giok-su keberatan dengan usul itu.

“Tidak ada pilihan lain lagi,” kata Ci Siong tojin.

“Mana mungkin cayhe membiarkan locianpwe menempuh bahaya ini?”

“Pinto tidak boleh hanya mementingkan diri sendiri. Hidup dan mati adalah takdir. Sama sekali tidak boleh melibatkan kalian sekeluarga,” kata Ci Siong tojin tegas.

“Sebagai Ciangbunjin Bu-tong-pai, Locianpwe ….”

“Jangan banyak bicara!” bentak Ci Siong tojin.

“Giok-su, apakah kita tidak bisa tetap di sini saja?” tukas Fu-hujin dari samping.

“Ibu, lebih baik kita menyembunyikan diri untuk sementara,” sahut Fu Giok-su.

“Kongcu, apa yang harus kita lakukan?” tanya seorang pelayan tua yang sejak tadi berdiam diri.

“Apakah kita perlu menyiapkan bekal?” tanya yang lainnya.

“Tidak perlu, waktu sudah mendesak. Semuanya ikuti aku!” teriak Fu Giok-su mengambil keputusan.

“Ti Ciok, Bok Ciok, mari kita pergi!” perintah Ci Siong tojin.

Ketiga orang itu menghunus pedangnya masing-masing dan menerjang keluar. Melihat keadaan itu, Fu Giok-su panik sekali. Dia berteriak, “Locianpwe …!”

“Tidak ada waktu lagi … kalian segera tinggalkan tempat ini!” bentak Ci Siong tojin. Dia tidak menolehkan kepalanya sama sekali. Langkah kakinya malah dipercepat.

Bok Ciok dan Ti Ciok mengiringi di sampingnya. Mereka tenang sekali. Tidak ada kesan bahwa mereka takut menghadapi kematian. Fu Giok-su terpaku sejenak. Kemudian bergegas mengajak keluarganya meninggalkan tempat itu.

Suara teriakan para pelayan, ratapan tangisan anak-anak berbaur. Suasana semakin tegang dan kacau.

*****

Halaman rumah keluarga Fu sepi sekali. Ternyata tidak terlihat seorang pun di sana. Sinar rembulan menerangi bebatuan jalan yang menghijau. Suasana mencekam.

Dengan pedang di tangan Ci Siong tojin jmenghambur ke arah koridor gedung itu. Wajahnya pucat tersorot cahaya rembulan. Pedangnya digetarkan. “Orang-orang Bu-ti-bun! Keluar kalian semuanya!” bentaknya marah.

Suara langkah-langkah kaki, suara kibasan lengan baju segera memecah keheningan malam. Sejumlah manusia berpakaian hitam bermunculan dari segala penjuru. Tangan mereka menggenggam berbagai macam senjata.

Ci Siong tojin menggetarkan pedang di tangannya. Dia bermaksud menerjang ke arah manusia-manusia berpakaian hitam tersebut. Tiba-tiba rasa sakit menyerang dadanya, terpaksa dia menghentikan langkah kakinya.

Manusia-manusia berpakaian hitam itu segera menyerbu dan mengepung Ci Siong tojin beserta kedua muridnya. Ti Ciok dan Bok Ciok menyilangkan pedangnya. Mereka melindungi Ci Siong tojin. Bok Ciok tidak sungkan lagi, setiap kali bertemu dengan musuh, pedangnya menikam tanpa pikir dua kali. Sedangkan Ti Ciok juga menggerakkan pedangnya secepat kilat. Percikan darah memenuhi pakaian mereka.

Ci Siong tojin berusaha memacu semangatnya. Pedangnya berkelebat menembus tenggorokan salah satu manusia berpakaian hitam. Meskipun lukanya cukup parah, tenaga dalamnya melemah, namun jurus-jurus ampuh masih dikuasainya dengan baik. Pikirannya masih jernih. Sasaran pedangnya selalu ke arah yang mematikan.

“Terjang terus!” teriak Ci Siong tojin dengan suara keras. Pedangnya menusuk lagi dua kali. Dua manusia berpakaian hitam roboh seketika.

Hawa amarah sudah memenuhi hati tosu tua ini. Pedang di tangannya tidak berbelas kasihan lagi. Sedangkan manusia-manusia berpakaian hitam tersebut tampaknya tidak takut menghadapi kematian. Jumlah mereka makin lama makin banyak. Mereka menerjang bagai air bah yang melanda.

Ci Siong tojin mengeluarkan suara teriakan. Pedangnya menyabet seorang manusia berpakaian hitam dan tubuh orang itu langsung terbelah menjadi dua bagian. Dia tidak peduli kakinya menginjak mayat-mayat yang bergelimpangan. Ti Ciok dan Bok Ciok juga turun tangan dengan telengas. Dengan ketat mereka melindungi Ci Siong tojin. Darah segar memercik ke mana-mana. Jalanan berbatu itu telah menjadi merah. Pakaian ketiga orang itu juga penuh bercak-bercak darah.

Manusia-manusia berpakaian hitam itu menyerang seperti kesurupan setan. Hujan darah memenuhi angkasa. Perlahan mereka mulai terpencar dan menjadi tiga kelompok yang masing-masing terkurung oleh musuh. Ti Ciok dan Bok Ciok berusaha mendekati Ci Siong tojin. Namun mereka malah terseret semakin jauh. Bagaimana pun mereka tidak berhasil keluar dari kepungan manusia-manusia berpakaian hitam tersebut.

Bagian perut Ci Siong tojin terasa sakit sekali. Sebisanya dia mempertahankan diri. Gerakan pedangnya mulai lemah. Setiap kali dia menyerang dengan pedangnya, pasti berhasil ditangkis oleh manusia berpakaian hitam itu. Dia tidak sanggup mengerahkan Liong-gi-kiam lagi. Dan rasa sakit semakin menghebat!

Keringat mulai membasahi keningnya. Dia berusaha menghindari setiap serangan manusia berpakaian hitam yang semakin lama semakin banyak itu. Langkah kakinya mulai limbung. Kembali sebuah golok mengancam dadanya. Dengan susah payah dia berhasil menghindar, namun terdesak mundur beberapa langkah lalu muntah darah.

Ci Siong tojin masih berusaha menahan. Golok kedua sudah tiba. Tampaknya kali ini dia tidak akan berhasil menghindar diri lagi.

“Trang!”, sebuah pedang lain menyambut kedatangan golok tersebut. Ci Siong tojin menolehkan kepalanya. Dia melihat Fu Giok-su sudah berdiri di sampingnya dan langsung bergerak ke depan melindunginya.

“Fu-kongcu …!”

“Mereka sudah berhasil meninggalkan tempat ini,” sahut Fu Giok-su sambil menggetarkan pedang di tangannya. Seorang manusia berpakaian hitam tidak berani mengambil risiko. Terpaksa dia mundur untuk melepaskan diri dari sabetan pedang Fu Giok-su. “Mari kita terjang keluar!” ajak pemuda itu.

Darah segar masih mengalir. Gerakan Fu Giok-su sama sekali tidak lambat. Pedangnya selalu mengambil korban. Dua orang lagi roboh terkena sabetan pedangnya. Ti Ciok dan Bok Ciok berhasil juga mendekati Ci Siong tojin. Mereka melindungi Ci Siong tojin.

“Fu-kongcu, kami akan menghalangi musuh. Harap kongcu membawa suhu meninggalkan tempat ini!” teriak Ti Ciok.

“Baik,” sahut Fu Giok-su sambil menyabetkan pedangnya ke depan.

Ti Ciok dan Bok Ciok segera menggantikannya. Mereka membuka jalan bagi Ci Siong tn jin dan Fu Giak Su. Tosu tua itu tampak bimbang. Bok Ciok malah panik melihatnya. “Suhu … cepat lari!” teriaknya.

“Ilmu orang-orang ini tidak seberapa tinggi. Sebentar lagi kami akan menyusul!” kata Ti Ciok.

Akhirnya Ci Siong tojin terpaksa menganggukkan kepalanya. Dia mengikuti Fu Giok-su dari belakang. Manusia-manusia berpakaian hitam itu kembali menerjang. Namun mereka berhasil diadang oleh Bok Ciok dan Ti Ciok. Fu Giok-su juga tidak berpikir panjang lagi. Pedangnya menyabet dari kiri ke kanan. Tujuh orang roboh seketika. Sedangkan dalam keadaan payah, Ci Siong tojin juga sempai melukai dua orang lawan.

Fu Giok-su memalingkan wajahnya ke wajah tosu tua tersebut. “Locianpwe … kita ambil arah timur,” katanya.

“Baik,” sahut Ci Siong tojin. Namun langkah kakinya segera terhenti. Segumpal darah kembali muncrat dari mulutnya.

Fu Giok-su panik melihat keadaannya. Dia segera mengulurkan sebelah tangan dan memapah orang tua itu.

“Tidak usah,” kata Ci Siong tojin berusaha mempertahankan diri.

Fu Giok-su tidak mempedulikan kata-katanya. Pedangnya kembali berkelebat. Tiga manusia berpakaian hitam roboh bermandikan darah. Dengan memapah Ci Siong tojin, dia menerjang dengan nekat. Akhirnya dia berhasil mencapai jalan besar. Mereka membelok di sebuah gang kecil. Tidak ada lagi manusia berpakaian hitam yang menghalangi mereka. Juga tidak terlihat ada yang mengejar. Ci Siong tojin dan Fu Giok-su baru bisa menghela napas lega.

Tiba-tiba terdengar suara jeritan ngeri dari gedung keluarga Fu. Kemudian disusul sekali lagi jeritan yang lainnya. Ci Siong tojin segera mengenali bahwa yang terdengar tadi adalah suara Ti Ciok dan Bok Ciok. Wajahnya berubah hebat, langkah kakinya berhenti seketika.

Fu Giok-su juga merasa curiga. “Locianpwe …. locianpwe!” panggilnya cemas.

“Ti Ciok dan Bok Ciok sudah mengorbankan diri,” sahut Ci Siong tojin dengan nada sedih.

Fu Giok-su terpana mendengar keterangan itu.

“Mungkin pihak lawan sudah mendatangkan jagoannya,” kata Ci Siong tojin kembali. Matanya beralih kepada Fu Giok-su, “Mari pergil”

“Apakah tidak lebih baik kita balik dan lihat …?”

Ci Siong tojin tertawa datar, “Hidup dan mati merupakan takdir. Mungkin sudah merupakan suratan nasibnya bahwa mereka hanya dapat hidup sampai malam ini.”

Fu Giok-su masih bimbang. Ci Siong tojin sudah mempercepat langkahnya.

*****
Apa yang diduga oleh Ci Siong tojin memang tidak salah. Pihak lawan memang telah kedatangan seorang jagonya. Ketika orang yang berilmu tinggi ini datang, Ti Ciok dan Bok Ciok sudah berhasil mendesak manusia-manusia berpakaian hitam dan bersiap-siap menyusul Ci Siong tojin.

“Sute … mari!” teriak Ti Ciok. Namun baru saja kakinya berjalan beberapa langkah, sekelebatan pedang telah menyerangnya.

Pedang itu hitam berkilauan. Kedatangannya tidak sempat mengejutkan, namun kecepatan sungguh mengerikan. Sama sekali tidak terdengar suara kibasan lengan baju. Ketika Ti Ciok menyadari, pedang itu tinggal tiga cun dari tenggorokannya. Ti Ciok terkejut sekali. Dengan panik dia berusaha menghindar, tapi terlambat. Pedang tersebut menembus dari leher sebelah kiri sampai ke leher kanan. Pada saat itulah dia menjerit ngeri. Juga merupakan jeritannya yang terakhir.

Darah berhambur bagai anak panah. Pedang itu sangat tipis. Panjangnya kira-kira satu setengah meter. Memang sebuah pedang yang luar biasa dan lain daripada yang lain. Orang yang menggenggam pedang itu memakai topi pandan berbentuk aneh. Dan dia adalah seorang kidal.

Topi pandan itu menutupi sebagian wajahnya. Begitu pedangnya ditarik kembali, dia langsung menyerang Bok Ciok. Tubuh Ti Ciok ikut tertarik dan berputar satu kali sebelum pedang tersebut benar-benar tercabut semuanya. Dan tatkala tubuhnya terlempar ke tanah, orang itu sudah menyerang Bok Ciok sebanyak dua puluh tiga kali berturut-turut. Bok Ciok sangat terpukul melihat kematian suhengnya. Dia berhasil menghindarkan serangan orang bertopi pandan tersebut. Dengan, kalap dia membunuh setiap manusia berpakaian hitam yang ada di dekatnya.

*****

Usianya memang lebih muda dari Ti Ciok, namun kepandaiannya justru lebih tinggi. Tapi sayangnya dia sudah bertempur cukup lama, tenaganya sudah banyak terkuras. Dia tidak sudi membiarkan nyawanya melayang begitu saja. Seorang manusia berpakaian hitam yang menyerangnya terdesak mundur sejauh tujuh langkah.

“Utang nyawa bayar nyawa!” teriak Bok Ciok kalap. Pedangnya berkelebat, mengejar bayangan manusia hitam tersebut.

Manusia berpakaian hitam itu kembali mundur satu langkah. Sedangkan orang yang memakai topi pandan berbentuk aneh segera mengadang di depannya. Bok Ciok memang sudah marah Sekali. Dia tidak peduli seberapa tinggi ilmu yang dimiliki si topi pandan. Pedangnya memutar segala arah. Orang itu terpaksa mundur beberapa langkah. Bok Ciok tidak memberinya kesempatan. Sekali lagi dia mengayunkan pedangnya. Kali ini dari atas ke bawah. Topi orang itu terbelah menjadi dua bagian. Di situ pula letak kesalahan Bok Ciok. Semestinya dia tidak ambisius melihat wajah orang itu. Karena begitu melihatnya, dia menjadi terpana seketika.

Wajah itu rata semua. Tidak ada alis, mata, hidung maupun mulut. Persis sebuah telur saja. Hati siapa pun akan tercekat melihat pemandangan demikian.

Dan Bok Ciok sendiri seumur hidupnya belum pernah melihat manusia semacam ini. Mulutnya terbuka, matanya membelalak. “Kau ..?” katanya tanpa sadar.

Justru karena perhatiannya terpecah itulah, manusia aneh itu mempunyai kesempatan untuk menikam jantungnya dengan pedang yang panjangnya luar biasa itu. Rasa sakit segera menyerang. Bok Ciok menjerit ngeri. Darah menyembur. Dengan susah payah dia mendekap dada. Kakinya limbung, langkahnya terhuyung-huyung. Akhirnya roboh ke tanah dan mati seketika.

Manusia tanpa wajah itu membalikkan tubuhnya perlahan. Wajahnya yang rata terlihat semakin pucat tersorot cahaya rembulan. Beberapa tetes darah mengucur dari bagian depan kepalanya. Rupanya pedang Bok Ciok sempat melukainya. Namun sayang sekali tidak cukup dalam untuk merenggut jiwanya, Manusia tanpa wajah itu menenangkan dirinya sesaat. Kemudian sepasang kakinya menutul, tubuhnya melesat tinggi dan melayang ke dalam keluarga Fu.

Para manusia berpakaian hitam yang masih tersisa bersorak kesetanan. Mereka ikut menyerbu ke dalam keluarga Fu dan membunuh siapa saja yang ada di dalam rumah.

Leave a Comment »

No comments yet.

RSS feed for comments on this post. TrackBack URI

Leave a comment

Create a free website or blog at WordPress.com.