Kumpulan Cerita Silat

20/02/2008

Pendekar Empat Alis

Filed under: Gu Long, Pendekar Empat Alis — ceritasilat @ 11:46 pm

Pendekar Empat Alis
Buku 04: Rumah Judi Pancing Perak
Bab 05. Makan Nasi Lunak
Oleh Gu Long

(Terima kasih kepada Edisaputra)

Dugaannya memang tidak salah. Nona yang dibawa datang oleh pelayan memang betul si dia.

“Inilah nona Ting, Ting-hiang-ih. dan inilah Liok-kongcu, silakan kalian bersahabat,” ucap si pelayan dengan senyuman penuh arti. Lalu dia mengeluyur keluar sambil merapatkan pintu kamar.
Ting-hiang-ih atau nona Bunga Cengkeh berdiri dengan menunduk dan sedang memainkan ujung bajunya dengan tangannya yang putih halus, diam saja dengan malu-malu kucing.

Siau-hong juga tidak bersuara, ia ingin tahu sesungguhnya sandiwara apa yang akan dimainkan perempuan muda ini Dan harapannya ternyata lantas terpenuhi dengan cepat.

Di bawah cahaya lampu yang cukup terang itu, tanpa bicara si cantik terus menarik tali ikat pinggang dengan dua jarinya.

Sekali tarik dengan perlahan, tali lantai terlepas dan bajunya pun terbuka. Kontan dada yang putih halus dan dua puting yang kecil kemerah-merahan seketika terpampang di depan mata Liok Siau-hong.

Busyet!!!!

Siau-hong terkejut. Sungguh tak terduga olehnya bahwa baju si dia hanya diikat dengan seutas tali kain saja, lebih-lebih tak terduga olehnya bahwa di balik bajunya sama sekali tidak terdapat lagi sehelai benang pun.

Menanggalkan baju semacam ini sungguh jauh lebih mudah daripada membuka kain popok anak bayi.
Gayanya yang malu-malu kucing tadi kini mendadak berubah menjadi seperti orok yang baru lahir, kecuali kulit badan sendiri, hampir tiada terdapat sesuatu apa pun di atas badannya.

“Apakah urusan lain juga kau lakukan secara cepat dan tegas begini?” kata Siau-hong dengan gegetun.

Ting-hiang-ih menggeleng. “Tidak, pada waktu main kucing-kucingan, aku suka berputar kayun.” Dia tersenyum, ia pandang Siau-hong dengan sorot matanya yang bening dan bersih. “Tapi kan bukan maksudmu mendatangkan diriku untuk bermain kucing-kucingan denganmu?”

“Ya, bukan,” jawab Siau-hong.

“Jika kau tahu untuk apa kudatang kemari, aku pun tahu apa kehendakmu, lalu untuk apa kita
mesti berputar-putar dan main kucing-kucingan?” ujar Ting-hiang-ih dengan suara lembut.

Senyumnya bertambah menggiurkan, makin memikat, namun bagian tubuhnya yang paling memikat jelas bukan senyumnya melainkan bagian tempat yang seharusnya tidak boleh dipandang kaum lelaki, tapi justru ingin dipandangnya.

Dan Liok Siau-hong adalah seorang lelaki. Tiba-tiba ia merasa denyut jantung sendiri bertambah keras, napas pun tambah memburu, mulut terasa kering.

Agaknya Ting-hiang-ih dapat melihat semua perubahan pada diri Siau-hong ini dan dengan sendirinya juga perubahan lain yang lebih gawat lagi.

Perlahan ia mendekat, dengan cepat mendadak ia menyusup ke dalam selimut Siau-hong, cara memberosotnya ke dalam selimut sungguh serupa seekor ikan yang meluncur ke dalam air. Gesit, licin, dan wajar.

Namun tubuh si dia tidak serupa ikan. Ikan macam apa pun tidak nanti selicin, sehalus, dan sehangat tubuhnya.

Siau-hong menghela napas. Diam-diam ia memaki dirinya sendiri. Setiap saat bila dia merasa dirinya sukar menahan sesuatu yang memikat, lebih dulu dia suka memaki dirinya sendiri. Habis itu dia siap menerima hal yang memikat itu.

Tangannya sudah mulai beraksi

“‘Serr … serr … serr … ” mendadak berbagai macam senjata rahasia menyambar masuk melalui jendela, ada pisau, ada panah, ada piau, semuanya menyambar ke tubuh mereka dengan cepat lagi keras.

Air muka Ting hiang-ih berubah pucat, segera ia hendak menjerit.

Tapi sebelum dia bersuara, berbagai macam senjata rahasia itu sama patah menjadi dua.

Karena tidak sempat menjerit, mulut Ting-hiang-ih jadi menganga kesima. Mendadak terdengar pula suara “blang” yang keras, pintu kamar didobrak orang, ada seorang menerjang masuk dengan golok terhunus.

Orang ini berpakaian ringkas dan bersikap buas, gerakannya juga sangat tangkas, jelas seorang jagoan yang tidak lemah.

Siapa tahu, baru saja orang itu menerjang masuk, sekonyong-konyong melompat balik lagi keluar, serupa ada sebuah tangan yang tidak kelihatan mendadak menarik kuduknya.

Menyusul terdengar “blang” pula. Daun jendela juga didobrak orang, seorang meraung dan menerjang masuk dengan memutar sepasang golok, tapi sambil meraung pula ia terus melayang keluar jendela di sebelah lain, lalu “bruk”, terbanting keras di lantrai batu di luar.
Ting-hiang-ih sampai melenggong, sungguh tak diketahuinya sesungguhnya apa yang terjadi.

Pada saat itu juga, kembali seorang menerjang masuk, langsung menyerbu ke tempat tidur, goloknya yang tebal terangkat tinggi, sambil mendelik pada Liok Siau-hong dia berteriak, “‘Aku mampuskan kau.”

Hanya sekian kata saja yang sempat diucapkan, belum lagi goloknya dibacokkan, dia sendiri malah roboh lebih dulu. Badannya berkerut, mukanya tampak hitam, seperti kesurupan setan, mendadak ia melonjak-lonjak keluar.

Terjadi hujan senjata rahasia di dalam kamar, beberapa lelaki menerjang masuk keluar, semua itu seolah-olah tidak dilihat Liok Siau-hong. Ia masih berbaring adem ayem di tempat tidur tanpa bergerak sedikit pun.

Angin meniup, daun pintu yang didobrak terpentang tadi telah merapat kembali sendiri, daun jendela yang terbuka juga tertutup lagi.

Liok Siau-hong tetap tenang saja, seperti sudah tahu persis biarpun langit akan ambruk juga ada orang yang akan menyanggah baginya.

Ting-hiang-ih memandangnya dengan terkesiap, perlahan ia menjulurkan tangannya untuk meraba dahi Siau-hong, lalu meraba pula jantungnya.

Siau-hong tertawa, “Aku tidak sampai mati ketakutan!”

“Apakah kau pun waras?” tanya Ting-hiang ih.

“Waras, tidak ada penyakit apa pun!” jawab Siau-hong.

Ting-hiang-ih menghela napas, “Ai, jika begitu leluhurmu tentu banyak berbuat hal-hal yang mulia, makanya segala mara bahaya yang menimpamu segera sirna dan berubah menjadi selamat. Kemana pun kau pergi selalu dilindungi setan dan malaikat!”

“Memang betul, sembilan langit sepuluh bumi, para jin dan malaikat selalu melindungi diriku secara diam-diam,” kata Siau-hong.

“Jika benar malaikat selalu melindungimu, maka aku pun tidak perlu takut lagi, marilah kita ….” dan tangan Ting-hiang-ih pun mulai beraksi.

“He, setelah kejadian tadi. masakah, masih ada hasratmu untuk …” Siau-hong memandangnya dengan tercengang.

Tapi Ting-hiang-ih hanya tersenyum genit, dia menjawabnya dengan gerakan nyata.

Pada saat itulah lampu mendadak padam, keadaan menjadi gelap gulita.

Di dalam kamar yang gelap gulita, segala apa tentu dapat terjadi.

Siau-hong bukan nabi, juga si dia. Maka apa yang mereka lakukan tidak perlu dijelaskan lagi.
Pada waktu Siau-hong mendusin, dirasakannya di atas bantal masih ada sisa bau harum, namun si dia sudah tidak kelihatan lagi.

Siau-hong terbelalak memandang langit-langit kamar dengan kesima, sampai sekian lamanya barulah ia bergumam, “Dia menguntitku sepanjang jalan, memangnya cuma ingin…”

Dia tidak mau memikirkannya lagi, sudah sejak lama ia telah bersumpah takkan sok anggap dirinya paling romantis, paling disukai orang perempuan.

Sementara itu sang surya sudah terbit, cuaca cerah. Dalam keadaan cuaca cerah biasanya hati Siau-hong juga sangat riang. Akan tetapi begitu dia membuka daun jendela, segera dilihatnya lima hal yang membuatnya tidak gembira. Sebab yang dilihatnya adalah lima buah peti mati.
Lima buah peti mati digotong oleh sepuluh orang, melintasi halaman di luar terus menuju keluar hotel.

Yang berbaring di dalam peti mati tentunya kelima orang lelaki yang menunggang kuda tinggi besar dan ikut menguntit di belakangnya itu.

Sesungguhnya siapakah mereka? Mengapa mereka membuntuti dia dan ingin membunuhnya? Semua ini tidak dimengerti oleh Liok Siau-hong.

Ia cuma tahu kelima orang ini pasti mati di tangan ketiga ‘Pak guru’ yang tampak berdiri di serambi seberang sana.

Ia pun tahu sesungguhnya yang dibelanya bukanlah dia. Hanya saja dia diperlukan mencari kembali batu kemala mestika milik Makau itu.

“Jika ada orang di dunia ini yang dapat menemukan kembali Lo-sat-pai itu bagi kalian, maka orang itu ialah Liok Siau-hong!” demikian pernah si Jenggot Biru berkata kepada mereka.

Ketiga ‘Pak guru’ yang berdiri di seberang sana juga sedang mengawasi dia. Semuanya memandangnya dengan sinar mata yang tajam seakan-akan sedang memperingatkan Liok Siau-hong, “Apabila Lo-sat-pai tidak dapat kau temukan kembali, setiap saat juga kami dapat membinasakan dirimu”

Siau-hong merapatkan jendelanya, habis itu baru diketahuinya senjata rahasia yang rontok di lantai kamar semalam sudah menghilang, yang terletak di situ hanya beberapa biji batu kerikil saja.

Dalam pada itu Ting-hiang-ih muncul lagi. Dia datang dengan membawa semangkuk kuah yang masih mengepulkan asap panas. Melihat Liok Siau-hong seketika wajahnya menampilkan senyuman manis, ucapnya dengan suara lembut, “Sudah kuduga engkau pasti telah mendusin, maka sengaja kuolah semangkuk kuah ayam. Lekas kau minum mumpung masih panas.”

Siau-hong tidak memberi reaksi apa-apa.

Sampai sekian lamanya Ting-hiang-ih menatapnya, katanya pula dengan tertawa, “Tampaknya engkau terkejut melihat diriku, apakah kau anggap seharusnya aku sudah pergi dari sini?”

Siau-hong tidak menyangkal.

Ting-hiang-ih lantas berduduk, senyumnya tambah manis, ditatapnya Siau-hong, katanya, “Akan tetapi aku tidak ingin pergi, lalu bagaimana menurut pendapatmu?”

Senyumnya tampak sangat aneh, sangat misterius.

Tiba-tiba Siau-hong teringat pada sementara urusan yang kalau sudah selesai diharuskan membayar. Dalam hal yang sama, setelah selesai tugas si perempuan juga berhak menunggu pembayaran dari orang lain.

Sudah dua hari Ting-hiang-ih menguntit Siau-hong. bisa jadi lantaran sebelumnya sudah diketahuinya tangan Siau-hong sangat terbuka, berani bayar banyak, maka dia sengaja hendak ‘menggorok’ sakunya.

Diam-diam Siau-hong bersyukur dirinya tidak lagi sok mengira si dia tergila gila padanya, merasa puas atas jalan pikiran sendiri yang telah bertambah malang.

Seorang kalau merasa puas terhadap dirinya sendiri, biasanya akan lebih bermurah hati kepada orang lain, apalagi Liok Siau-hong memang bukan seorang yang pelit.

Dia merasa dalam sakunya masih ada beberapa lembar Gin-bio yang terdiri dari ribuan tahil perak, waktu ia merabanya baru diketahuinya cuma tinggal dua lembar saja. Tapi dilolosnya juga sehelai dan disodorkan kepada Ting-hiang-ih.

Si nona memandang Ginbio itu sekejap, dipandangnya pula Liok Siau-hong, lalu bertanya. “Kau berikan padaku?”

Siau-hong mengangguk, dan Ting-hiang-ih tertawa, tertawa yang aneh.

“Memangnya kurang banyak?” Siau-hong merasa sangsi, segera dikeluarkan pula sehelai Ginbio yang lain.

Kedua lembar Ginbio ini merupakan seluruh kekayaannya sekarang, bila dihabiskan, lalu bagaimana selanjutnya, hakikatnya tidak sempat diperkirakannya.

Kembali Ting-hiang-ih memandang Ginbio baru ini dan memandang Siau-hong pula, mendadak ia pun mengeluarkan segebung Ginbio, nilai nominal setiap lembarnya rata-rata juga seribu tahil perak, sedikitnya ada 40 atau 50 lembar.

“Maksudmu hendak kau berikan padaku?” tanya Siau-hong.

“Ya, untukmu semuanya!” kata si nona.

Siau-hong jadi melengak, mimik mukanya serupa orang yang lagi menguap ngantuk dan mendadak sebuah apel jatuh dari udara dan masuk ke mulutnya.

Selama hidupnya entah betapa banyak kejadian berbahaya dan misterius yang dialaminya, tapi belum penuh terkejut seperti sekarang ini.

Tiba-tiba Ting-hiang-ih bertanya, “Eh apakah kau tahu arti istilah ‘makan nasi lunak?” Siau-hong menggeleng.

“Perempuan yang mencari uang dengan cara demikian biasanya disebut sundel!”

“Dan lelaki yang mencari uang dengar cara ini disebut ‘makan nasi lunak’, begitu bukan?”‘ tukas Siau-hong.

“Hah. memang kutahu engkau ini orang pintar, diberitahu satu segera mengerti dua,” ujar Ting-hiang-ih dengan tertawa.

“Muka Siau-hong ternyata bisa merah juga, merah jengah, dan setengah menyengir seperti monyet makan terasi.

Ting-hiang-ih memandangnya dengan tertawa, “Meski wajahku tidak cantik, tapi tidak pernah kutombaki anak muda cakap yang meniduri diriku.”

Muka Siau-hong bertambah merah, nyengirnya bertambah lebar.

“Apalagi, biarpun kau pandang diriku sebagai pelacur, kutahu engkau pasti bukan lelaki yang suka ‘makan nasi lunak.”

Siau-hong menghela napas, dalam hati seperti sangat berterima kasih.

‘”Kelima laksa tahil perak ini bukan pemberianku sendiri,” kata si nona pula.

“Habis siapa yang memberinya padaku?” tanya Siau-hong cepat.

“Piauciku!” jawab Ting-hiang-ih,

Heran sekali Siau-hong. ia merasa tidak kenal Piauci atau kakak misan si nona, mengapa orang memberi sejumlah uang itu kepadanya.

“Siapa Piaucimu?” tanya Siau-hong.

“Piauciku ialah bininya si Jenggot Biru, adik perempuan Pui Giok-hui!”

“Pui Giok-hiang maksudmu?” Siau-hong menegas. “Ya, dia mempunyai suatu nama lain, yakni Hiang-hiang!” si nona menambahkan dengan tertawa. Siau-hong jadi melenggong,

“Piauci tahu hidupmu sangat royal, dia khawatir engkau kehabisan sangu di tengah jalan, khawatir pula tidurmu kurang nyenyak, maka … maka …..” dia menggigil bibir dan melirik Siau-hong.

Sekejap, lalu menyambung, “Maka dia menyuruh kutemani dirimu”

Tiba-tiba Siau-hong mendengus, “Hm, apa tidak lebih tepat dikatakan dia menyuruhmu mengawasi diriku?”

Ting-hiang-ih menghela napas, ucapnya, “Memang sudah kuduga engkau pasti akan salah paham padanya, meski lahirnya Piauci kelihatan dingin, padahal dia sebenarnya seorang yang simpatik, lebih-lebih terhadapmu…”

“Bagaimana terhadapku?” potong Siau-hong.

Kembali Ting-hiang-ih tertawa, sangat misterius tertawanya, “Kalian pernah berduaan setengah malaman di dalam sebuah kereta yang gelap, cara bagaimana dia terhadapmu tentu kau tahu sendiri, masakah perlu tanya padaku?”

Masam muka Siau-hong dan tertawa dingin, tapi entah mengapa, dalam hati terasa manis juga, terasa senang.

Rasa manis demikian biasanya sudah cukup membuat lelaki rela memasukkan lehernya ke jiratan yang dipasang orang. Sebab itulah pada waktu Siau-hong meninggalkan Thian-hok-keh-can, pada sakunya juga telah bertambah dengan lima helai Ginbio ribuan tahil perak. Penguntit di belakangnya sebaliknya berkurang enam orang. Yang lima sudah masuk peti mati, yang satu masuk ke dalam pelukannya.

Meski kedua hal ini bukan hasil perbuatannya yang sengaja, tapi ia pun tidak berdaya untuk menghindarinya. Serupa kebanyakan orang di dunia ini, urusan yang sekiranya menguntungkannya, biasanya dia tidak suka berusaha menghindarinya. Apalagi setelah Siau-hong mengetahui sembilan orang penguntitnya kini tinggal tiga orang saja, dengan sendirinya perasaannya terasa sangat lega.

Leave a Comment »

No comments yet.

RSS feed for comments on this post. TrackBack URI

Leave a comment

Create a free website or blog at WordPress.com.